Cinta dan Kesetiaan Ni Pollok Representasi Perempuan Bali
Desa Kelandis dan Penari Legong adalah kisah yang tertuju pada perempuan Bali yaitu Ni Pollok. Kisah yang tertuang dalam novel karya Yati Maryati Wiharja yang berjudul Ni Pollok Model dari Desa Kelandis yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1976 memiliki esensi yang dapat dipetik oleh perempuan Bali.
Ni Pollok terlahir dari keluarga sederhana pada 3 Maret tahun 1917 di sebuah rumah dengan atap alang-alang. Ni Pollok adalah anak terakhir dari pasangan I Jodog dan Ni Cuklik. Sebagai perempuan Bali, Ni Pollok juga aktif dalam melestarikan seni dan budaya yaitu dengan menari. Pollok merupakan seorang penari legong yang sangat cantik dan dikagumi pada masanya. Menari adalah saksi pertemuan dengan belahan jiwanya, Ni Pollok bertemu dengan seorang pelukis terkenal yang menjadikannya model yaitu Tuan Adrien Jean Le Mayeur de Merpres. Laki-laki yang memiliki mata biru, berkulit putih, dan berambut merah yang berasal dari Belgi. Melalui pertemuan inilah kisah cintanya dimulai.
Menjadi model dengan bayaran yang cukup menguntungkan membuat Ni Pollok berhenti menjadi seorang penari. Lantaran Ni Pollok tidak lagi tampil dalam pertunjukkan, melainkan tampil dalam kanvas yang dilukis oleh Tuan Le Mayeur. Lukisan-lukisannya kerap dipamerkan hingga mancanegara. Salah satunya adalah di Singapura. Selama menjadi model, Ni Pollok sering diajarkan menulis, menghitung, belajar bahasa Indonesia, Inggris dan Perancis. Sebab Ni Pollok tidak bersekolah. Bekerja tanpa henti dari pagi hingga sore membuat hubungan mereka menjadi lebih intim. Tuan Le Mayeur lupa akan rencananya yang akan tinggal selama delapan bulan di Bali. Hingga akhirnya selama tiga tahun menjadi model dari Tuan Le Mayeur, mereka berdua pun memutuskan untuk menikah.
Dalam pernikahannya mereka bisa dikatakan keluarga bahagia. Tuan Le Mayeur adalah laki-laki penuh dengan perhatian. Pakaian dan segala jenis kebutuhan Ni Pollok pun dibelikannya di luar negeri melalui perantara temannya. Namun hanya satu hal yang tidak bisa diwujudkan oleh Tuan Le Mayeur kepada Ni Pollok yaitu memiliki seorang anak. Alasan suaminya tidak menginginkan seorang anak karena takut akan tubuh istrinya rusak sebab mengandung. “ Kalau Pollok mengandung, tubuhmu nanti jadi berubah dan jelek. Pollok tidak bisa lagi menjadi model,” (Wiharja, 1976:66)
Ni Pollok hanya bisa mengadu takdirnya melalui doa dalam hatinya. Hanya dijadikan seorang model bukan seorang istri yang memiliki seorang bayi. Prasangka itu membuat hatinya sedih dan tidak bisa berkata apa-apa. Ni Pollok tidak tahu takdirnya akan seperti ini, hanya dianggap sebagai seorang model. Apa pernikahannya hanya sebatas pekerjaan semata?
Anak adalah hal terpenting bagi Ni Pollok. Hanya angan-angan ketika merindukan dinding perutnya ditendang-tendang dengan nakal dan mendengar jeritan pertama yang memanggilnya “Ibu!”. Sebagai perempuan Bali, memiliki seorang anak adalah sebuah bentuk makna cinta sesungguhnya. Anak adalah harta yang tidak ada tandingannya dari hal apapun. Pengorbanan besar dengan tidak memiliki anak sudah ditelan dalam-dalam oleh Ni Pollok. hanya penyerahan atas takdir yang dimilikinya. Apakah dengan melahirkan akan merusak kecantikan seorang perempuan? Tidak! Setiap perempuan memiliki kecantikannya tersendiri. Cantik tidak harus putih, cantik tidak harus memiliki kulit mulus, cantik tidak ada hubungannya dengan mengandung dan melahirkan. Banyak versi cantik menurut perempuan yang ada di dunia. Jangan jadikan alasan bahwa cantik dengan tidak mengandung. Anak adalah anugerah.
Cinta dan ketulusan membuat Ni Pollok melupakan kesedihannya itu. Seperti yang dikatakan Tuan Le Mayeur bahwa hidupnya diabdikan hanya untuk seni. Setiap hari bekerja di bawah teriknya matahari. Tidak ada kata istirahat. Sekadar mendengar jeritan “Ayah” sepertinya tidak terlintas di benak Tuan Le Mayeur. Hanya kanvas dan kuas yang menemaninya. Meskipun begitu, Ni Pollok tetap menerima keputusan yang diambil oleh suaminya. Sebab semua adalah pilihan.
Kesetiaan perempuan dilihat dari buah hati, yaitu anak. Mengapa begitu? Sebab ketika Tuan Le Mayeur kembali pada yang kuasa. Ni Pollok hanya sendiri hidup dengan kesepian, tidak ada yang menemani. Sebab tidak memiliki anak, Ni Pollok melanjutkan hidupnya dengan seorang dokter yang bernama Federico Alliney yang berasal dari Italia. Kenapa Ni Pollok memilih laki-laki asing daripada pribumi? Sebab Ni Pollok takut di madu. Jelas tercatat pada novel ini, bahwa pada zaman itu poligami masih sering dilakukan. Namun sayang, pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Sebab kontrak kerja suaminya telah habis dan harus kembali ke negaranya. Satu tahun cukup memberikan warna pada hidup Ni Pollok. Untuk kedua kalinya dia ditinggalkan pergi. Namun tidak ditinggalkan selamanya seperti Boy (Tuan Le Mayeur). Ni Pollok tidak mau ikut bersama dengan suaminya karena dia tidak mau meninggalkan Bali dan segala kenangan yang telah dilaluinya.
Hidup sendiri dengan penghasilan dari Art-Shop yang di buka pada tahun 1960. Ni Pollok juga menjaga museum yang di dalamnya berisi lukisan-lukisan yang dibuat oleh suaminya. Bangunan yang masih dijaganya dan dirawat oleh Ni Pollok dengan bantuan dana dari pemerintah. Museum ini diberi nama Museum Le Mayeur. Museum ini sering dikunjungi oleh wisatawan hingga saat ini. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Hingga Ni Pollok meninggal pada 27 Juli 1985 di usianya yang ke 68 tahun. Satu harapan Ni Pollok ketika merindukan pertemuan dengan suaminya Federico Alliney “kuibaratkan dengan sapuan pelangi di balik bayangan hujan. Selalu kutatap langit dan Lau Sanur di keluasan yang tanpa batas, oh pelangi yang indah, bilakah engkau akan turun dan membuai kami menjadi menjadi dua bayi kecintaan ayah bunda yang tidak mengenal duka?” (Wiharja, 1976:144)
Penulis : Ni Putu Dina Aprilia Putri
Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar