Siapa Musuh Kita?
Lubdhānām yascakaha 'satrumurkahānām bodhako ripuhu, Jārastrinam putihi 'satru'scaurānam candranā ripuhu. (Cānakya Niti Sāstra, X.6).
Pengemis adalah musuh bagi orang pelit, orang bijak adalah musuh bagi orang bodoh, istri genit musuh dari para suami, dan bagi pencuri musuhnya adalah bulan (sedikit terang di waktu malam).
LANGSUNG atau tidak, kita banyak memiliki lawan/musuh. Mengapa? Karena kita memiliki nature, sifat, kemampuan, karakter atau keinginan tertentu. Jika bertentangan dengan itu, biasanya kita sering tidak nyaman dan bahkan mereka dirasa mengganggu psikis kita. Psikis kita terasa terganggu dengan keberadaan mereka, sehingga kita berperilaku tidak alami terhadap mereka. Kita menjadi tiba-tiba tidak ramah, berupaya menghindar, tidak simpatik, bereaksi negatif, dan bahkan berupaya menjatuhkan mereka secara moral jika memungkinkan. Kita sering merasa terancam atas keberadaan mereka meskipun mereka sendiri tidak melakukan apa-apa. Hanya keberadaannya saja telah membuat kita tidak nyaman.
Teks di atas telah mengindikasikan itu. Sifat iri (jealousy), merasa direndahkan, minder, dan tidak percaya diri muncul ketika ada orang yang dirasa melebihi kita apakah dalam hal pengetahuan, kekayaan, kecantikan, kedudukan, dan yang lainnya. Itu natural terjadi. Sehingga, kita mestinya tidak terlalu mempersoalkan jika tiba-tiba ada teman yang tiba-tiba menjauh, tidak simpatik lagi, berupaya menghindar, dan mulai melihat kelemahan-kelemahan kita. Atau sebaliknya, kita juga sering (kebanyakan tidak sadar) memusuhi, menjauhi, dan iri pada teman ketika mereka beranjak menjauhi (baca melampaui) standar kita. Saat sama-sama tamat S2 kita bisa berteman baik, tapi ketika kita melihat teman itu tamat S3 sementara kita belum, di dalam hati kita merasa inferior, sehingga mulai menjauhinya. Artinya, menjauhi atau dijauhi teman adalah natural, sebab rasa iri sering muncul tanpa mengirim pesan terlebih dahulu.
Apakah memungkinkan rasa iri, jengkel atau dalam konteks Sutra Patanjali, dvesa (rasa ketidaksukaan) ini bisa dihilangkan? Inilah sesungguhnya inti ajaran Hindu. Pertama, Hindu mengurai fakta bahwa manusia dengan kebodohannya senantiasa tidak nyaman dengan banyak hal dan berujung pada penderitaan. Satu bagiannya adalah masalah suka dan tidak suka. Kita suka saat sesuai dengan diri, sebaliknya tidak suka jika tidak sesuai. Semakin tinggi kita menjadikan diri (atau hal yang diyakini) sebagai standar atas apa yang terjadi, semakin banyak hal yang tidak kita sukai. Makanya, orang begini biasanya suka nyinyir terhadap keadaan karena dirasa tidak ideal. Dasar orang nyinyir adalah raga-dvesa (suka-tidak suka) itu, diakui atau tidak. Alasan orang nyinyir biasanya ‘berupaya membangun atmosfer sekitar menjadi peka dan siap dengan perubahan’. Orang mesti berubah sesuai dengan idenya (atau paling tidak sesuai standar yang dia yakini).
Kedua, Hindu memberikan metode supaya mampu melampaui semua jenis kebodohan tersebut. Mengapa mesti diatasi? Karena inilah yang memunculkan friksi dalam masyarakat, bahkan dalam skala besar menghadirkan permusuhan sebagaimana teks di atas. Demikian pula, orang yang dipenuhi oleh raga-dvesa akan selalu resah (tidak tenang) karena senantiasa memikirkan ketidakidealan di luar sana. Ini membuat orang itu menjadi stres dan bahkan depresi, memiliki penilaian negatif akut terhadap lingkungan sekitar. Jadi, atas dasar itu, metode mengatasi raga-dvesa penting. Dengan metode tersebut, pikiran bisa diarahkan dan kesadaran diperluas, sehingga mampu menerima hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip kita. Perbedaan adalah keindahan, seburuk apapun itu. Prinsip ideal mengalami perpindahan, dari ‘upaya agar lingkungan berubah sesuai persepsi kita’ menjadi ‘kita yang berubah menerima perbedaan yang ada’.
Apakah itu mudah? Tentu tidak. Tingkat kerumitannya sesuai dengan kerumitan pikiran kita. Artinya, semakin kita merasa bahwa orang lainlah yang mesti berubah, metode yang diajarkan teks akan semakin rumit. Mengapa? Karena kita tidak mampu masuk ke dalam gagasan atas metode itu. Metode itu baru bekerja apabila di dalam diri ada kesanggupan untuk membalikkan situasi diri, yakni dari orientasi keluar menjadi ke dalam. Sekali lagi ini tidak gampang, apalagi bagi mereka yang sudah terbiasa memberikan nasihat atau menyebarkan ideologi kepada orang lain. 7
I Gede Suwantana
Bali Vedanta Society
Komentar