Kasus Bullying Kalangan Pelajar Jadi Perhatian Kemendikbud
MANGUPURA, NusaBali - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia menggelar diskusi kelompok penguatan karakter dan ekosistem pendidikan di Hotel Grand Mercure, Kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta pada Kamis (25/5) sore.
Dalam diskusi itu, ada tiga isu besar yang diusung yakni bullying atau perundungan, kekerasan seksual, dan intoleran. Mirisnya, aksi perundungan di kalangan pelajar se-Indonesia masih menyentuh angka 24,4 persen.
Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud Ristek Rusptita Putri Utami, mengatakan sejalan dengan visi misi Presiden RI Joko Widodo, Kemendikbudristek berkomitmen untuk mewujudkan pelajar Pancasila, Maksudnya pelajar yang mempunyai kompetensi global dan berprilaku sesuai dengan Pancasila. “Dengan belajar Pancasila mampu menjawab tantangan global yang luar biasa, namun tetap memperhatikan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, sehingga diharapkan bisa mewujudkan SDM yang unggul dan mampu mewujudkan Indonesia emas 2045,” ujarnya.
Menurutnya, Kemendikbudristek terus melakukan evaluasi dan penilaian (assessment) nasional terkait pendidikan menyeluruh di Indonesia. Dia juga tidak memungkiri kalau assessment nasional ini bukan menjadi rapor yang sifatnya punisment, namun menjadi bahan refleksi bersama dan menjadi basis intervensi, apa yang diperlukan, mulai dari pusat, daerah dan satuan pendidikan. Dengan begitu bisa melihat bagian apa yang perlu ditingkatkan.
“Melalui pusat pendidikan karakter, bertugas untuk mengawal pelajar Pancasila. Selain itu, kita juga mementaskan tiga isu besar yang masih terjadi di kalangan pelajar yaitu bullying atau perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi,” kata Utami.
Dari data yang dimiliki, tiga isu besar yang masih terjadi di dunia pendidikan di Indonesia mulai dari SD hingga SMA/SMK itu tergolong masih tinggi. Mirisnya, untuk kasus bullying/perundungan sebesar 24,4 persen. Kemudian, kekerasan seksual 22,4 persen dan intoleransi sebesar 59 persen. Faktor penyebab masih terjadinya hal itu, kata dia bermacam-macam, termasuk dari literasi atau ketidaktahuan.
“Kerap kali banyak bentuk kekerasan yang terjadi sehari-hari dianggap sesuatu yang normal, padahal sudah masuk kedalam kategori ranah kekerasan. Maka kami gencar melakukan edukasi dan kampanye publik,” tegasnya.
Dia juga tidak memungkiri kalau edukasi dan kampanye ini dilakukan tidak hanya di kalangan pelajar, namun juga pada guru, pemerintah daerah dan orang tua agar memahami bentuk kekerasan. “Kami juga merancang kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan. Memang sebelumnya sudah ada sebagaimana dalam Permen (Peraturan Menteri) 82 Tahun 2015. Namun, kita ingin kebijakan yang lebih impletatif,” imbuhnya. 7 dar
Komentar