Masihkah Ubud Itu ‘Ubad’?
HAMPIR semua orang membanggakan tanah tumpah darahnya. Mereka senang menceritakan kembali kebaikan-kebaikan dan kehebatan yang dipendam tanah kelahiran.
Orang-orang Desa Marga, Tabanan, pasti bangga karena di sini ada makam pahlawan, tempat heroik Puputan Margarana 1946. Warga Banjar Tainsiat, Denpasar, juga tak kalah bangga, karena tanah kelahiran mereka menjadi saksi Puputan Badung, 1906. Orang-orang dari Desa Kusamba, Klungkung, senantiasa merasa keturunan pemberani, karena di pesisir dusun ini seorang jenderal Belanda, AV Michiels, tewas terbunuh dalam pertempuran.
Kuta, Sanur, Jimbaran, Lovina, tentu membanggakan orang-orang yang berasal dari daerah-daerah itu, karena tanah tumpah darah mereka tercatat sebagai pelopor kepariwisataan Bali. Ubud juga begitu. Ini sesungguhnya sebuah dusun kecil, dulu, yang tenteram dan damai, memikat banyak perhatian orang asing.
Ubud seperti ditakdirkan oleh para dewata sebagai tempat penuh kegemilangan. Alamnya seperti menyimpan tenaga gaib, sehingga 17 November 1961 para sulinggih dan walaka berkumpul di sini melahirkan Piagam Campuhan, dokumen terkenal dan keramat, yang menjadi acuan bagi pemuka Hindu di Bali untuk mengambil keputusan penting menyangkut keagamaan.
Ubud dipilih sebagai tempat paruman (pertemuan besar) untuk menyongsong masa depan, itu bukan tanpa alasan. Ubud memiliki benang merah perkembangan agama Hindu. Adalah Rsi Markandeya peletak dasar kegemilangan Ubud sebagai basis perkembangan agama Hindu, yang melakukan perjalanan suci ke Bali.
Sang Rsi tiba di sebuah tempat nan damai, di lereng sebuah bukit memanjang dari utara ke selatan, diapit dua sungai berliku-liku bak seekor naga: Tukad Wos Timur dan Tukad Wos Barat. Di sebelah utara bukit itu Rsi Markandeya membangun pemukiman yang sekarang bernama Desa Taro. Sebuah dusun yang melahirkan maestro pahat I Cokot.
Kedua Tukad Wos itu bertemu menjadi satu (campuhan), disebut Tukad Campuhan. Di sinilah Rsi Markandeya melakukan tapa-yoga-samadi, merabas hutan, menata irigasi dan sawah. Sebuah pemukiman dan peradaban baru pun terbangun.
Dalam lontar Markandeya Purana, wos atau uos bisa diartikan sebagai usadi. Kata usadi ini bisa dimaknai sebagai usada yang artinya obat. Dalam bahasa Bali kata obat disebut ubad. Dari kata ubad inilah diperkirakan menjadi ubud. Karena itu ubud berarti obat, seperti dikisahkan dalam buku Sang Juara, Sembilan Desa Terpilih di Bali (1995).
Ubud merupakan berkah. Pilihan suci Rsi Markandeya menjadikan Ubud pusat pengembangan agama Hindu adalah wahyu. Hyang Widhi tak pernah berhenti memberkahi desa ini. Sampai sekarang pun rezeki itu melimpah ruah di Ubud. Ia menjadi sebuah magnet dunia, tempat bersenang-senang untuk menemukan kasih sayang, cinta, dan kebahagiaan. Warganya pun sering kelabakan menerima berkah ini, sampai-sampai mereka tak begitu sanggup menata wilayah dengan cermat. Lahan sawah cepat tergerus jadi penginapan, lalu lintas semrawut, toko kesenian, tempat kuliner, berhimpitan. Lukisan, patung, dan makanan berjejalan. Keindahan, kesenian, selera lidah, dan hasrat perut bertumbukan. Ubud overload.
Banyak yang khawatir, Ubud bakal kehilangan daya magis dan taksunya kalau industri wisata tidak cermat ditangani. Tapi, banyak juga yang yakin Ubud akan baik-baik saja, kendati sehari-hari kian hiruk pikuk. Jika ada bule senewen bugil melenggang menerobos pertunjukan legong, itu cuma insiden kecil, bagian dari tingkah polah turis, tak usah dirisaukan benar.
Kalau ditelusuri tentu banyak insiden terjadi di Ubud: di tengah sawah, di vila tepi sungai kecil. Peristiwa-peristiwa itu mengganggu ketenangan, memberi pertanda, betapa pariwisata harus selalu siap menerima kegaduhan. Padahal Ubud bebas dari hingar bingar diskotek, tidak seperti Kuta, apalagi Dalung, Legian, Kerobokan atau Seminyak.
Wisata spiritual di Ubud, yang sangat banyak menyedot perhatian wisatawan penyuka healing tourism, tentu cocok menjadikan Ubud sebagai tempat berobat. Sebuah tempat sempurna untuk meyehatkan raga dan membasuh jiwa. Tapi, ketika semakin banyak wisatawan berulah mencoreng ketenangan, kedamaian, dan nilai-nilai spiritualitas, masihkah Ubud bisa disebut sebagai ubad? 7
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar