Larang Mendaki Gunung, Koster Rancang Perda
Pemandu Pendakian Direkrut Jadi Tenaga Kontrak
Gubernur Koster menegaskan Perda larangan pendakian ini mendesak karena aktivitas pendakian gunung mengancam taksu (vibrasi) Bali sebagai Pulau Dewata.
DENPASAR, NusaBali
Gubernur Bali Wayan Koster rancang Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan pendakian gunung di Bali. Koster menegaskan Perda ini mendesak karena aktivitas pendakian gunung mengancam taksu (vibrasi) Bali sebagai Pulau Dewata.
Hal itu diungkapkan Koster usai menghadiri sidang paripurna di Gedung DPRD Bali, Niti Mandala Denpasar, Senin (5/6). Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali ini mengatakan aktivitas pendakian gunung yang merupakan simbol kawasan suci lebih banyak rugi ketimbang keuntungan bagi Bali. Pemandu pendakian lokal juga bisa direkrut sebagai tenaga kontrak yang bertugas menjaga gunung dan hutan di wilayahnya.
“Kalau dilihat dari untung dan rugi, lebih banyak ruginya. Jangan korbankan alam Bali dengan berpikiran pragmatis,” ujar politisi asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini. Koster menyebutkan sudah mempertimbangkan dengan matang wacana membentuk Perda larangan mendaki gunung di Bali. “Saya sudah berbicara dengan sulinggih, dengan Majelis Desa Adat dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Kita mendapatkan dukungan penuh. Jadi saya sudah pikirkan secara sekala niskala,” ujar Koster didampingi Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama.
Ditegaskan Koster, kawasan suci di Bali banyak yang dijadikan objek wisata. Padahal para tetua, leluhur orang Bali sangat menjaga Bali dengan berbagai upaya niskala, supaya Bali punya taksu. Kata Koster, karena taksu dan aura sucinya membuat Bali menjadi tenget (sakral, Red). Karena daya tariknya ini membuat Bali diminati untuk dikunjungi wisatawan mancanegara maupun domestik. “Tetapi dibandingkan dengan risikonya, ya lebih besar risikonya, karena kesucian Bali menurun. Kalau aura Bali menurun, orang-orang baik, orang-orang yang berkualitas nggak mau datang ke Bali. Bali tidak hanya punya alam saja tetapi vibrasinya menjadikan orang banyak datang ke Bali. Kalau daya tarik alam, di luar Bali banyak,” tegas mantan Anggota Komisi X DPR RI tiga periode yang membidangi pariwisata ini.
Koster menyebutkan, pendakian gunung di Bali selama ini tidak banyak mendapatkan keuntungan dari sisi ekonomi. Gunung Agung di Kabupaten Karangasem tak lebih dari Rp 100 juta setahun yang masuk ke desa adat. Sementara Gunung Batur di Kabupaten Bangli sampai Rp 1 miliar yang disetorkan ke Kementerian Kehutanan sebagai pendapatan bukan pajak. “Jadi soal Perda ini saya sudah hitung, sudah saya pertimbangkan dengan menggelar rapat bersama sulinggih juga. Kita akan buatkan Perda segera,” tegas Koster.
Koster mengaku sudah konsultasi dengan Kementerian Kehutanan tentang rencana membuat Perda larangan pendakian gunung-gunung di Bali. “Saya sudah surati Menteri Kehutanan untuk Perda Larangan pendakian gunung ini,” ujar Koster. Ketika ditanya awak media akan ada gugatan kalau Perda tentang Larangan Pendakian Gunung di Bali, Koster menjawab dengan nada tak gentar. “Siapa yang gugat? Oh silahkan saja,” ujar Koster.
Sementara sebagai kompensasi kepada tour guide wisata pendakian yang bersiap kehilangan mata pencarian, Gubernur Koster menyiapkan mereka sebagai petugas penjaga gunung. Penghasilan mereka dengan tugas baru akan lebih terjamin karena digaji bulanan dan pasti. Dia pun mengaku telah mengantongi jumlah pemandu wisata Gunung Agung sebanyak 67 orang dan 200 orang di Gunung Batur. “Mereka diangkat sebagai tenaga kontrak malah lebih tinggi pendapatannya, kalau di situ pendapatannya nggak menentu," ujar Gubernur Koster.
Terkait wacana penutupan pendakian ini, guide/pemandu lokal kawasan Gunung Abang, Kecamatan Kintamani, Bangli mengharapkan agar pemerintah memberikan solusi mengingat ada banyak yang menggantungkan kehidupan di sektor tersebut.
Ketua Pokdarwis Abang Erawang, I Nengah Suratnata selaku pengelola pendakian Gunung Abang, Kintamani, Bangli mengatakan Pokdarwis Abang Erawang mempunyai 45 orang pemandu lokal yang selama ini mengandalkan perekonomian dari melayani wisatawan yang melakukan pendakian. Untuk 45 pemandu lokal itu berasal dari tiga desa, yakni Suter, Abang Batudinding dan Abang Songan. "Kami selama ini komitmen menjaga kesucian tempat suci yang telah kami warisi secara turun temurun," jelasnya, Senin kemarin.
Foto: Suasana di pintu masuk DTW pendakian Gunung Abang, Kecamatan Kintamani, Bangli. -IST
Kemudian, terkait wacana larangan yang dikeluarkan Gubernur Bali, pihaknya bukannya tidak setuju untuk menjaga kesucian kawasan suci, tapi bagaimana pemerintah agar memikirkan juga masyarakat karena sektor pariwisata adalah bagian kesempatan warga lokal mendapat rejeki. "Yang namanya kesucian, kami sebagai pengempon tentu semaksimal mungkin kami jaga," ungkapnya. Menurut Nengah Suratnata, pemerintah tidak harus dengan serta merta melakukan penutupan pendakian.
Namun diharapkan agar pengawasan yang diperketat. Pihaknya berharap Pemerintah bisa memberikan ruang-ruang khusus juga bagi masyarakat yang mata pencarian sebagai pemandu pendakian. "Kami yakini pemerintah telah berkomunikasi dengan tokoh-tokoh. Tempat suci tidak hanya di gunung, tapi di laut dan juga danau. Makanya harus ada ruang-ruang agar mata pencarian masyarakat lokal juga tidak hilang," sambungnya. Disampaikan pula, tingkat kunjungan wisatawan yang melakukan pendakian ke Gunung Abang rata-rata mencapai 50 sampai 75 orang per hari. Bahkan, saat weekend (Sabtu dan Minggu) tingkat kunjungannya sampai ratusan orang.
Wacana pelarangan pendakian 22 gunung di Pulau Dewata juga ditanggapi para penghobi pendaki gunung dan pemandu gunung. Pemandu Pendaki Gunung, Bara Kumbara menyatakan keresahannya jika aturan penutupan pendakian gunung di Bali benar-benar dilakukan. Sebab ia menilai, aturan ini dapat merugikan berbagai pihak yang menggantungkan kehidupan di wilayah pegunungan seperti guide, porter, penyedia jasa jeep, transport, dan warung-warung yang beroperasional di gunung.
“Jika benar diberlakukan, itu sangat disayangkan karena dengan ditutupnya pendakian ke gunung-gunung di Bali, secara tidak langsung mengambil mata pencarian masyarakat di sana. Di sisi lain akan menurunkan jumlah wisatawan yang berkunjung khusus untuk melakukan pendakian atau treking ke Bali,” ujar Bara, Senin kemarin. Bara menjelaskan, jika peraturan ini benar direalisasikan, sebagai pemandu pendakian gunung di Bali, dirinya akan banting setir dan konsen ke trip non pendakian.
“Saya bisa mendapat honor Rp 600 ribu hingga 750 ribu untuk sekali memandu pendaki. Dalam seminggu, bisa dua kali memandu para pendaki ke Gunung Agung dan empat kali memandu para pendaki menjelajah Gunung Batur,” ungkap pria yang juga sebagai operator tour dan Owner Kembara Adventure ini. Tak hanya menjadi pemandu pendaki gunung di Bali saja, kata Bara dirinya juga sebagai guide pendakian gunung di Jawa Timur dan Lombok. Untuk segi larangan dan pantangan para pendaki yang ingin menjelajahi gunung di Bali, sebut Bara para pendaki tidak boleh membawa makanan yang mengandung daging sapi dan tidak dalam masa datang bulan.
Bara juga menjelaskan, jumlah pendaki yang naik Gunung Agung sekitar 400-750 orang per bulan. Namun, jika di Gunung Batur saat seperti musim liburan, jumlah pendaki bisa mencapai puluhan ribu per bulan. Melihat antusiasme masyarakat yang hobi mendaki itu, Bara berharap pemerintah bisa melakukan diskusi bersama dengan masyarakat sekitar dan juga kepada para pengelola basecamp di sekitar gunung tersebut. Tak hanya itu, ia juga berharap Pemerintah bisa mencari solusi yang lebih efektif, sehingga tidak merugikan banyak pihak. Mengingat banyak masyarakat yang menggantungkan kehidupan di kegiatan pendakian.
Senada dengan itu, salah satu penghobi mendaki gunung di Bali, Putu Dian Apriliani ingin peraturan larangan pendakian gunung di Bali tidak diresmikan. “Semoga peraturan ini tidak diresmikan dan para petinggi di Bali bisa mendengar aspirasi dari warga Bali. Jika peraturan ini dikeluarkan, seharusnya pemerintah mencari jalan tengah,” tuturnya.
Dian juga merasa, jika peraturan itu nantinya diberlakukan, otomatis akan merugikan berbagai pihak dan mengurangi wisatawan yang akan ke Bali untuk mendaki. Ia menerangkan, sebaiknya pemerintah tidak langsung membuat larangan tersebut. Melainkan, membuat peraturan yang ketat kepada para pendaki sebelum melakukan aktivitas pendakian.
“Seharusnya ada peraturan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mendaki gunung,” kata mahasiswi akhir di Program Bachelor in International Bussiness, Management and Science University, Malaysia ini. Pendaki gunung lainnya, I Gusti Ngurah Putra Maharditya juga menuturkan hal yang sama. Larangan pendakian gunung di Bali dirasanya kurang tepat. “Aturan itu secara tidak langsung tidak ada lagi yang bisa melestarikan gunung itu. Karena kami para pendaki juga memungut sampah-sampah yang ada di gunung,” ungkap pria asal Dawan, Klungkung ini. Pria yang akrab di sapa Didit ini ingin peraturan tersebut sebaiknya dikaji lebih lanjut dan melakukan antisipasi larangan lainnya. 7 nat, cr78, esa, ol3
1
Komentar