Dekonstruksi Upacara Agama?
Di masa silam, alur budaya beragama Hindu di Bali bisa dibilang sangat linier. Setiap kelahiran ada pelintangannya. Setiap peristiwa religi selalu ada hari khususnya. Setiap aktivitas sosial selalu ada hari baik, dan sebagainya.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Di dalam musik tidak demikian adanya. Musik memiliki kenyataan, seperti musik masa silam, modern, progresif atau retro. Berbagai genre dan label diusung musik dari seluruh dunia. Memang keberadaan musik ‘baru’ dan ‘lama’ sangat penting bagi sebuah industri musik rekaman. Produk musik hanya bisa dijual sekali ke orang yang sama. Sama halnya dengan produk konsumen, seperti sabun, shampoo, dan makanan siap saji. Pengulangan pembelian hanya akan terjadi apabila ada produk baru, sehingga siklus media promosi musik pun dibentuk untuk terus mempromosikan yang baru dan menggeser yang lama. Pola ini timbul bukan saja di musik, tapi di berbagai industri film, fashion, buku, dan sebagainya.
Saat krama dihadapkan pada pilihan yang nyaris tak dapat dipahami akal, apa yang terjadi pada budaya beragama Hindu di Bali? Misalnya, mana yang harus didahulukan ketika piodalan di pura bertepatan dengan pelaksanaan tugas sebagai abdi negara? Apa yang mesti dilakukan ketika waktu penyelenggaraan upacara agama tidak sinkron dengan waktu cuti sebagai PNS? Mana pilihan yang tepat ketika ingin melaksanakan upacara kremasi tetapi dukungan sosial terbatas? Dalam situasi dilematis demikian, krama Hindu Bali biasanya membuat pilihan. Pertimbangan yang digunakan untuk memilih adalah kepraktisan. Misalnya, kalau dukungan sosial dan waktu terhalang, maka kremasi di krematorium menjadi pilihan. Ketika dana terbatas, maka upacara agama dilaksanakan secara massal. Ketika waktu terbatas, piodalan besar diselingi dengan piodalan kecil.
Ketika siklus budaya beragama terdekonstruksi, pola upacara turut terbongkar. Polanya mengikuti berbagai faktor internal maupun eksternal. Meminjam istilah Derrida, upacara agama Hindu merupakan sistem dari berbagai sistem (a system of systems). Realita tertinggi dari upacara agama terletak pada strukturnya. Struktur upacara agama Hindu di Bali saling berhubungan antara kala-patra-sulinggih-krama yang membentuk keseluruhan makna upacara.
Secara struktural, upacara agama Hindu di Bali sejalan dengan sistem oposisi biner, seperti sekala-niskala, kaja-kelod, vidya-avidya, bhuta-dewa, purusa-pradana, apah-pertiwi, dan sebagainya. Oposisi biner tersebut mirip dengan konsep rwa bhinneda, yaitu makna-bentuk, baik-buruk, nista-utama, dan sebagainya. Dalam oposisi biner, roh diyakini lebih mulia dari badan; rasa dipandang lebih pas dari rasio; purusa diposisikan lebih dominan dari pradana.
Apa efek dari dekonstruksi budaya beragama di atas? Berkat dekonstruksi, rasa sama pentingnya dengan rasio; purusa sama derajatnya dengan pradana dalam fungsinya; upacara nistaning nista sama esensinya dengan utamaning utama; eksklusivitas sama populernya dengan kebersamaan. Dengan dekonstruksi, sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil bergeser menjadi dinamis, plural, relatif dan dinamis. Dengan dekonstruksi, sastra dan upacara agama tidak dipandang lagi sebagai struktur tunggal.
Artinya, sastra agama harus bersumber pada veda, sedangkan upacara agama lebih bertumpu pada budaya. Budaya merupakan arena pertarungan terbuka. Budaya merupakan permainan antara penataan dan pelestarian dengan perkembangan dan perubahan. Jadi, penafsiran terhadap pelaksanaan upacara agama di Bali tidak selalu kongruen dengan sastra agama dalam veda atau kitab suci lainnya.
Dekonstruksi budaya dekat dengan post-modernism. Pendekatan pasca-modernisme sangat pas dengan berbagai pluralitas, seperti: pluralitas budaya, wacana keber-agamaan, penghargaan terhadap perbedaan atau keberterimaan terhadap perubahan. Penghargaan terhadap pluralitas di atas akan membuka jalan pada pemahaman yang relatif sama intra dan antarkrama di gumi Bali ini. 7
1
Komentar