3 Bulan Menetap di Rumah Penduduk, Sempat Ditolak Suku Dayak
Setelah berhasil mendekati Suku Dayak di Kecamatan Seismenggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara hingga penduduk setempat mau membangun jamban, Gusti Ayu Putu Candra Dewi juga harus mengajari mereka bagaimana cara mandi yang benar
Gusti Ayu Putu Candra Dewi SFarm Apt, Apoteker Nusantara Sehat Satu-satunya dsal Bali (2-Habis)
GIANYAR, NusaBali
Banyak pengalaman pahit yang dijalani I Gusti Ayu Putu Candra Dewi SFarm Apt, 26, satu-satunya apoteker asal Bali dalam program Nusantara Sehat yang menempatkan tim kesehatan di daerah terpencil periode 2015-2017. Selain faktor alam hingga mengharuskannya kerap bermalam di tengah hutan demi melayani pasien, apoteker asal Banjar Tengkulak Tengah, Desa Kemenuh, Kecamatan Kecamatan Blahbatuh, Gianyar ini juga pernah ditolak Suku Dayak.
Selama 2 tahun menjalani program Nusantara Sehat, Gusti Ayu Puti Candra Dewi bertugas di Kecamatan Seimenggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Dia bertugas sebagai tenaga kesehatan di Puskesmas Seismenggaris bersama 6 tenaga kesehatan lainnya dari provinsi lain. Candra Dewi beberapa kali harus bermalam di tengah hutan hanya demi mengantar obat kepada pasien yang tinggal sangat jauh dari Puskesmas.
“Karena untuk sampai di rumah penduduk, saya harus lewat hutan. Jaraknya cukup jauh, jadi terpaksa kami bermalam di tengah hutan, jika sampai larut malam belum juga tiba di lokasi yang dituju,” kenang Candra Dewi saat ditemui NusaBali di kediamannya di Desa Kemenuh, Blahbatuh, akhir pekan lalu.
Menurut Candra Dewi, dengan kondisi alam yang ekstrem, masyarakat setempat dominan menderita diare, gatal-gatal, infeksi saluran pernafasan akut, batuk, pilek, dan demam. Dalam sehari, bisa datang 10 pasien diare yang harus dirawat inap di Puskesmas, sementara cairan infuse hanya tersedia 20 botol untuk stok 3 bulan. “Di sana pikiran kita terkuras, bagaimana bisa memenuhi obat-obatan untuk pasien. Salah satu caranya, kita harus pinjam obat ke Puskesmas lain,” jelas anak sulung dari tiga bersaudara keluarga pasangan I Gusti Made Sunartha SAg MM (PNS Kementerian Agama RI) dan I Gusti Ayu Made Lasmini SAg (PNS Guru TK Widya Kumala Jati Teges) ini
Bukan hanya serangan diare yang menghantui warga setempat. Menurut Candra Dewi, sebagai kawasan yang mempunyai kekayaan alam berupa batubara, petir selalu hinggap di tanah hampir sepanjang waktu. Setiapkali terjadi petir, pasti ada pasien korban sambaran petir yang dilarikan ke Puskesmas. Sebagai petugas kesehatan, Candra Dewi harus selalu siap menangani mereka.
Candra Dewi punya kenangan khusus yang tak akan pernah terlupakan dari pengalamannya selama 2 tahun bertugas di daerah terpencil. Candra Dewi pernah selama 3 bulan tinggal menetap di rumah penduduk Kampung Dayak, wilayah yang paling jauh dari Puskesmas Seismenggaris. Berbagai kesulitan pun dialami Candra dewi. Salah satrunya, dia sempat ditolak oleh Suku Dayak.
Menurut Candra Dewi, Kampung Dayak menjadi titik serangan diare dan gatal-gatal paling tinggi di kawasan Kecamatan Seismenggaris. Masalahnya, sumber air di Kampung Dayak hanya mengandalkan air sungai untuk mandi, cuci, dan kakus. Sedangkan untuk konsumsi bersumber dari air hujan. “Air sungai yang dipakai mandi, juga dipakai cuci baju dan sikat gigi. Masalahnya, air sungai keruh. Tak heran jika banyak anak-anak yang mengalami gatal-gatal hingga tangannya nggak bisa digerakkan,” cerita Candra Dewi.
Karena kondisi seperti itu, Candra Dewi cs pun berupaya membuat inovasi, sehingga Kampung Dayak diputuskan sebagai Desa Siaga. Nah, ketika bermaksud memberikan penyuluhan soal Desa Siaga itulah, Candra Dewi cs langsung ditolak warga Kampung Dayak. Bahkan, tidak ada satu pun ada warga Kampung Dayak yang mau hadir.
Pasca ditolak, Candra Dewi cs berpikir keras bagaimana caranya agar diterima oleh masyarakat setempat. “Caranya, kita harus mengikuti pola hidup mereka dan menetap di rumah warga Kampung Dayak. Setelah tinggal membaur, barulah warga Kampung Dayak ini bisa terbuka. Ternyata, kita harus ikut makan apa yang mereka santap,” jelas gadis kelahiran Jayapura, 10 November 1991, yang masih melajang di usia 26 tahun ini.
Setelah mulai diterima oleh penduduk setempat, Candra Dewi cs berusaha melakukan pendekatan, supaya mereka mau membangun jamban. “Kita minta anggaran dari desa untuk membuat jamban,” cerita Candra Dewi. Setelah berhasil membangun jamban, Candra Dewi cs juga harus mengajari penduduk Kampung Dayak cara mandi yang benar.
Candra Dewi menyebutkan, cara pembangunan jamban di Kampung Dayak cukup unik, di mana klosetnya dibuat dari ban bekas, sementara tembok pinggirannya menggunakan kayu Ulin. Sedangkan septiktank-nya memakai kayu Ulin pada bagian pinggir lubang.
Selain itu, Candra Dewi cs juga membuatkan saluran pembuangan air limbah (SPAL) untuk setiap rumah penduduk. Semula, penduduk setempat terbiasa membuang air limbah begitu saja di kolong bawah rumah panggungnya. “Kita buatkan SPAL modifikasi. Air dari atas masuk ke pipa, di bawah dibuatkan lobang dan penampungan air. Limbahnya kita campur dengan kaporit, sehingga bisa dipakai untuk menyiram tanaman.”
Menurut Candra Dewi, selama 3 bulan tinggal menetap di rumah penduduk Kampung Dayak, secara perlahan perhatian warga setempat terhadap kesehatan semakin tinggi. Dari segi pendidikan, warga Suku Dayak ini sangat tertinggal, karena rata-rata mereka hanya tamatan SD. Untuk menjangkau sekolah SMP, jaraknya sangat jauh. Parahnya lagi, tidak ada jenjang pendidikan SMA di sana. Makanya, mata pencaharian penduduk setempat hanyalah berburu.
Selain itu, kata Candra Dewi, masalah gizi buruk juga menjadi rahasia umum di Kecamatan Seismenggaris, Nunukan. “Banyak anak usia 1 tahun, beratnya cuma 4 kilogram. Ada anak yang seharusnya sudah bisa jalan, tapi untuk duduk saja susah,” jelasnya. Penyebab dari gizi buruk ini dominan karena orangtua mereka terlalu sibuk bekerja. Bahkan, para ibu tidak sempat menyusui anaknya. “Anak-anak biasa dititipkan di sebuah tempat yang dinamakan Kandang Budak,” ungkap Candra Dewi.
Sesuai namanya, di Kandang Budak ini anak-anak tidak mendapatkan makanan yang layak. Jangankan bergizi, makanan pokok pun sulit didapat. Tak ada susu untuk pengganti ASI. Yang ada hanya air putih dicampur gula. Anak-anak yang dititip, berusia 3 bulan hingga 4 tahun, mereka dicampur jadi satu. Karena orangtuanya bekerja lembur, anak-anak ini kadang baru dijemput ke Kandang Budak saat tengah malam. “Para orangtua ini lembur, bukan demi banyak uang, tapi justru karena diperbudak oleh perusahaan di sana,” ujar Candra Dewi.
Candra Dewi sendiri bertugas di daerah terpencil Kecamatan Seismenggaris selama 2 tahun, sejak 7 Mei 2015 hingga 27 Mei 2017. Sepulang dari penempatan di kawasan terpencil, dia tidak serta merta mendapat status sebagai pegawai negeri sipil (PNS). “Kita hanya punya bukti pengabdian, tidak langsung jadi PNS. Dari pusat kasi dua pilihan: tugas belajar dengan dibiayai pemerintah, ikut kembali program Nusantara Sehat periode II,” papar alumnus Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universiats Udayana (2009-2014) dan Program Profesi Apoteker Universitas Udayana (2014-2015) ini. *nvi
1
Komentar