Desa Adat Didorong Punya Pararem
Periksa Kesehatan Sebelum Pawiwahan
Sejatinya terpenting adalah kesadaran generasi muda Hindu di Bali terkait dampak melahirkan anak yang berisiko stunting.
DENPASAR, NusaBali
Masyarakat adat di Bali punya peran penting dalam mencegah terjadinya pelbagai kasus, termasuk di antaranya stunting (pertumbuhan anak kerdil). Hal itu bisa dilakukan, salah satunya dengan membuat pararem. Aturan adat ini untuk mengatur pemeriksaan kesehatan bagi krama teruna-teruni, sebelum melaksanakan pawiwahan (perkawinan) secara adat dan agama Hindu Bali.
Diharapkan jika terdapat potensi melahirkan anak stunting pada satu pasangan calon pengantin, maka upaya intervensi dengan pendampingan dan pemberian bantuan makanan bergizi dapat mengurangi risiko melahirkan anak stunting. Hal itu
ditegaskan Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet. Dia mengatakan harus ada kesadaran bersama akan bahaya stunting termasuk oleh prajuru dan krama desa adat. Menurutnya, daya saing bangsa di masa mendatang sangat bergantung kesehatan dan kecerdasan warga masyarakat.
"MDA dan desa adat memandang program penurunan stunting bukan sekadar kepentingan pemerintah tapi juga kepentingan desa adat, kepentingan semua krama Bali," ujar Bendesa Agung Bali ini, Kamis (8/6).
Menurut Bendesa Agung Sukahet, program penurunan stunting sejalan dengan tujuan perkawinan dalam agama Hindu untuk menghasilkan keturunan yang suputra, yang akan menjadi kebanggaan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Lebih jauh dia mengungkapkan MDA seluruh Bali telah sepakat menjalin kolaborasi dengan Perwakilan Badan Keluarga dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bali dalam menekan angka stunting di Provinsi Bali hingga nol persen.
Desa adat di Bali, jelasnya, akan ikut melakukan pendataan keluarga yang memiliki anak terindikasi stunting. Selain itu MDA Bali mendorong desa adat untuk membuat pararem yang mengatur kewajiban pemeriksaan kesehatan calon pengantin sebelum mendaftarkan rencana perkawinannya kepada desa adat.
"Mekanismenya kita mewajibkan melalui pararem untuk anak-anak kita para yowana yang akan menikah supaya bisa menyampaikan tiga bulan sebelumnya dan supaya sudah mengantongi surat sehat sebelum menikah," ujar Bendesa Agung.
Dia mengakui hal tersebut merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi perwakinan agama Hindu di Bali. Bagi kebanyakan calon pengantin dan keluarganya, mengumumkan rencana perkawinan jauh-jauh hari sangat dihindari karena akan menyangkut harkat keluarga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan menjelang upacara perkawinan.
Meski demikian, Bendesa Agung berharap antara tradisi dan upaya membangun kesehatan tidak perlu dibenturkan. Jika pasangan calon pengantin tidak bisa melaporkan rencana perkawinan tiga bulan sebelumnya kepada desa adat, maka mereka setidaknya diharapkan melakukan pemeriksaan kesehatan secara mandiri ke fasilitas layanan kesehatan. Sehingga jika hasil pemeriksaan menunjukkan ada kemungkinan melahirkan anak stunting, maka petugas kesehatan akan segera melakukan intervensi.
"Pingit dan kesehatan sebenarnya tidak perlu dibenturkan. Calon pengantin bisa sendiri periksa ke laboratorium. Di situ juga bayarnya murah. Secara teknis informasi itu akan disampaikan ke Satgas sehingga rencana perkawinan tidak jadi konsumsi publik," ucapnya.
Bendesa Agung menegaskan, sejatinya terpenting adalah kesadaran generasi muda Hindu di Bali terkait dampak melahirkan anak yang berisiko stunting. Karena anak dengan stunting akan berpotensi mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal sehingga daya saingnya rendah.7cr78
Komentar