Pamangku Pura Pengukur-ukuran, Jro Mangku Dewa Made Rauh Meninggal Dunia di Usia 101 Tahun
Puluhan Tahun 'Doakan' Politisi hingga Pejabat yang Mohon Anugerah
Jro Mangku Dewa Made Rauh
Pamangku
Pura Pengukur-ukuran
Meninggal
Banjar Sawagunung
Desa Pejeng Kelod
Kecamatan Tampaksiring
Jro Mangku Dewa Made Rauh telah mengabdikan diri sebagai Pamangku Pura Pengukur-ukuran di Banjar Sawagunung, Pejeng Kelod sejak tahun 1960-an.
GIANYAR, NusaBali
Pamangku Pura Kahyangan Jagat Pengukuran-ukuran Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Jro Mangku Dewa Made Rauh meninggal dunia di usia 101 Tahun. Jro Mangku Dewa Made Rauh menghembuskan napas terakhirnya pada, Selasa (30/6) setelah sempat dilarikan ke Rumah Sakit Sanjiwani Gianyar. Semasa hidup, Jro Mangku Dewa Made Rauh tidak pernah mengeluh sakit.
"Beliau tidak pernah mengalami sakit tertentu. Meninggalnya murni karena usia," ungkap putra Sulung almarhum, Jro Mangku Dewa Gede Suadnyana,65, saat ditemui di rumah duka, Senin (12/6). Jro Mangku Dewa Made Rauh telah mengabdikan diri sebagai Pamangku Pura Pengukur-ukuran sejak tahun 1960-an. Selama puluhan tahun itu, beliau ngayah mengantarkan sembah bakti dari pamedek yang tak sedikit di antaranya adalah pejabat hingga politisi. Termasuk upacara-upacara besar yang digelar di pura ini.
Salah satunya pada peringatan Tumpek Landep bulan April 2022 lalu. Ketika itu Gubernur Bali Wayan Koster melakukan persembahyangan bersama Jana Kerthi memperingati Tumpek Landep. Gubernur Bali Wayan Koster ketika itu hadir bersama Kapolda Bali Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra, Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), Sekda Bali Dewa Made Indra, Bupati Gianyar Made Agus Mahayastra, Ketua DPRD Gianyar Wayan Tagel Winartha dan undangan lainnya.
Foto: Jro Mangku Dewa Gede Suadnyana,65, putra sulung almarhum Jro Mangku Dewa Made Rauh di rumah duka Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Senin (12/6). -NOVI
Kepada Jro Mangku Dewa Suadnyana almarhum hanya berpesan agar ngayah dengan sungguh-sungguh. "Tidak ada pesan khusus, ajik hanya berharap kami tulus ngayah sebaik-baiknya," ungkap pensiunan Polri ini. Almarhum meninggalkan seorang istri, Desak Made Rai, 7 putra putri serta belasan cucu dan cicit.
Upacara Palebon rencananya akan digelar pada Wraspati Wage Tolu, Kamis (22/6) di Setra Adat Sawagunung. Prosesi diawali dengan Nyiramin pada Selasa (20/6) kemudian Ngaskara pada Rabu (21/6). Saat ini jenazah masih dititip di Ruang Jenazah RSUD Sanjiwani Gianyar.
Kahyangan Jagat Pura Pengukuran-ukuran terletak di Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring. Diemong oleh 177 KK dari dua desa adat, yakni Desa Adat Sawagunung dan Gepokan. Bendesa Pura Pengukuran-ukuran, Dewa Gede Raka,69, saat ditemui menjelaskan ada dua prasasti yang menerangkan tentang historis Pura.
Prasasti Ambang Pintu yang sekarang berada di Candi Agung di Utamaning Mandala Pura Pengukuran-ukuran dan Prasasti Kintamani. Disebut Prasasti Ambang Pintu karena kemungkinan dahulu terletak pada sebuah Pintu Gerbang (Pemedal) Pura Pengukur-Ukuran. Prasasti itu tergolong singkat karena terdiri hanya 3 baris namun mengandung suatu keunikan. Pada Prasasti Pengukur-Ukuran dalam menyebutkan angka tahunnya dimulai dengan kalimat ‘Swasti Cri Caka Warsatitanagata wartama’ yang artinya selamat bahagia tahun caka yang lalu yang akan datang dan yang sedang berjalan.
Berdasarkan penanggalan yang terdapat pada Prasasti Pengukur-Ukuran, yaitu ‘Wraspati Wage Pujut, Penanggalan Ping Lima Sasih Kawulu, Tahun 1116 Caka atau sekitar 12 Februari 1194 Masehi’. Berdasarkan Prasasti, bahwasannya Pura ini sebelumnya bernama Pasraman Dharmma Hanyar. Hal ini dapat diketahui dalam kalimat ‘Mpungkwing Dharmma Hanar’ yang artinya Pendetaku di Dharmma Hanyar yang bergelar Maha Rsi Jiwaya.
Pasraman yang dekat dengan aliran Tukad Pakerisan ini dijadikan tempat menempa keempuan.
Kisahnya, pada zaman pemerintahan Prabu Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14 ada keturunan dari Arya Karang Buncing yang bernama Kebo Iwa (Kebo Taruna). Kebo Iwa melamar menjadi patih di kerajaan Bedahulu namun tidak diterima begitu saja tanpa melalui ujian kesaktian terlebih dahulu. Nah, untuk mengukur kesaktiannya inilah, prajurit dan orang-orang yang dianggap sakti di kerajaan Bedahulu termasuk Perdana Menteri Ki Pasung Gerigis yang sangat terkenal kesaktiannya pun dipanggil ikut mengujinya.
Dalam ujian tersebut tidak ada yang mampu mengalahkan Kebo Iwa, bahkan banyak lawannya harus meregang nyawa. Saking banyaknya, jasad para korban sampai tertumpuk seperti gunung. "Cerita ini pula yang diyakini menjadi cikal bakal nama Banjar Sawagunung. Sawa artinya jasad, gunung ya menggunung karena saking banyaknya," jelas Dewa Gede Raka, pensiunan BUMN ini. 7 nvi
1
Komentar