Anak Eks Pejuang Puputan Margarana Menanti Penanganan Dugaan Penyerobotan Lahan di Mengwi
DENPASAR, NusaBali.com – Putra pejuang 'Puputan Margarana', I Gusti Ngurah Eka Wijaya, masih
memperjuangkan tanah peninggalan almarhum orangtuanya, I Gusti Putu Oka, yang kini berdiri lapangan voli dan bangunan rumah di Banjar Ulun Uma, Desa Adat Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Di usia senjanya, 77 tahun, Eka Wijaya masih bersemangat memperjuangkan hak atas tanahnya yang dibuktikan dengan sejumlah dokumen yang dimilikinya.
“Saya memiliki alas hak berupa Pipil, IPEDA (Iuran Pendapatan Daerah), SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), Letter C, dan dokumen pendukung lainnya,” kata Eka Wijaya, Jumat (16/6/2023).
Tepat setahun lalu, 14 Juni 2022, Eka Wijaya melaporkan tiga warga desa adat setempat ke Polda Bali. Dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/306/VI/2022/SPKT/Polda Bali, disebutkan soal penyerobotan tanah yang asal-usulnya diklaim sebagai milik ayahnya, almarhum I Gusti Putu Oka, seorang pejuang ‘Puputan Margarana.’
Adapun tiga terlapor adalah I Ketut Dana, I Made Tony Hermana dan I Putu Namayasa yang dilaporkan atas sangkaan pengambilalihan benda tidak bergerak atau penyerobotan tanah yang diketahui pada pertengahan 2018.
“Saya baru tahu ada yang mensertifikatkan tanah saya saat mengajukan permohonan penerbitan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Badung,” kata Eka Wijaya.
Sementara itu Didik Supriadi, selaku kuasa hukum dari Eka Wijaya ditemui terpisah mengakui jika kasus ini masih bergulir. “Akan ada gelar perkara yang dilakukan Polda Bali. Nanti akan terlihat jelas alur dari persoalan ini,” kata Advokat dan Konsultan Hukum Bali Mode Law Office ini.
Sebelumnya, Bendesa Desa Adat Gulingan Ida Bagus Gangga menampik jika disebut melakukan penyerobotan tanah. Pasalnya, lahan yang disengketakan diklaim sebagai tanah ayahan adat.
Dan kini, tanah yang dimaksud tersebut telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama desa adat. Kemudian, hak pemanfaatannya sudah diserahkan ke delapan krama yang berdomisili dan melakukan kewajiban sebagai krama desa adat.
“Sebanyak 90 persen warga di Desa Adat Gulingan ini menempati tanah ayahan adat. Oleh karena itu, pihak yang menempati tanah adat harus melaksanakan kewajiban sebagai krama desa adat,” tegas Gus Gangga beberapa waktu lalu.
Soal terbitnya SHM inilah yang membuat heran Didik Supriadi. Karena tidak ada peralihan hak atas tanah oleh kliennya. Didik pun mengakui jika sudah meminta klarifikasi dari pihak BPN terkait hal tersebut.
Dengan bantuan Ombudsman RI Perwakilan Bali, lanjut Didik, ternyata sertifikat diterbitkan berdasarkan surat Sporadik (Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah) dan pajak.
Namun jika dilakukan sertifikasi, kata Didik, tidak pernah Eka Wijaya menandatangani selaku penyandang. “Bidang tanah yang disertifikatkan, semuanya berbatasan dengan tanah Pak Eka Wijaya. Lalu siapa yang tanda tangan?,” tanya Didik.
Ia pun menyebut sengkarut dan pembuktian nyata, nantinya akan bisa dilihat dari warkah tanah di BPN Kabupaten Badung. Warkah disebut sebagai dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran bidang tanah tersebut.
“Akan jelas nanti ada tanda tangan siapa di sana. Karena Pak Eka Wijaya tidak pernah tanda tangan,” tegas Didik.
Komentar