Pertengahan Tahun
Pertengahan tahun sesungguhnya hari yang sangat sibuk, tapi tak kentara.
Aryantha Soethama
Pengarang
Anak-anak sekolah libur, bergembira ria, senang bisa leluasa jalan-jalan di mal, janjian sama teman nonton di bioskop sambil menyeruput minuman berjelly, sembari ngomongin orang sibuk lalu-lalang.
Di antara yang sibuk bersenang-senang itu, banyak juga yang sedang susah. Mereka siswa sekolah menengah, baru tamat, sibuk cari sekolah favorit. Tamat SD sibuk cari SMP, yang tamat SMP celingak-celinguk cari SMA unggulan. Mereka berambisi masuk sekolah menengah yang keren, tapi malas belajar. Sekolahnya hebat, unggul, tapi kemampuan siswanya banyak yang di bawah rata-rata.
Banyak yang kemudian berkomentar, “Gak mugkin sekolah unggul siswanya tidak unggul.” Yang lain menimpali, “Bisalah, kenapa tidak? Sekolah itu memang sengaja dicitrakan hebat, terkenal karena kehebatan beberapa siswanya saja. Jika sebuah sekolah beberapa siswanya menang olimpiade science, mereka beriklan, mencitrakan diri dengan pajang foto. Jadilah mereka tampil di media sebagai sekolah unggul.”
Para orangtua kemudian berhasrat besar menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yan dicitrakan unggul itu. Mereka ingin putra-putri mereka bisa menjadi pemenang olimpiade science. Kalau menang, foto si anak akan nampang di media bersama guru pembimbing dan kepala sekolah, memegang piala, tersenyum manis, riang gembira. Kaum pemenang dilarang cemberut, dan harus selalu tampak bersemangat, agar anak-anak lain meniru keberhasilan itu, meniru ingin nampang di media.
Cobalah telusuri, hampir tidak pernah muncul di media kisah betapa sulit mendidik anak-anak remaja yang nakal, yang gampang terguncang. Para pendidik malu menceritakan anak-anak sekarang susah diurus, lebih banyak yang percaya pada gadget, senang googling dan doyan gosip yang bersumber pada hoax. Jika para guru diberi kesempatan seluas-luasnya menceritakan beban berat mendidik zaman sekarang, pasti berjibun kisah muncul. Kisah-kisah itu bertimbun menjadi curahan hati betapa menjadi guru sekarang sangat tidak gampang. Anak didik era sekarang merasa jauh lebih pintar dibanding sang guru, karena anak-anak itu sangat akrab dengan mesin mencari di internet.
Yang paling sibuk tentu orangtua yang anak-anaknya hendak masuk ke perguruan tinggi. Mereka tahu persis, masa depan hidup anak ditentukan oleh pilihan program studi di perguruan tinggi. Itu sebabnya sebagian besar orangtua menginginkan anak-anak mereka kuliah di fakultas kedokteran. Kalau tamat, mereka jadi dokter, tak bakalan buka butik atau mini market. Pasti bekerja sebagai dokter, berurusan dengan kesehatan orang.
Kalau si anak kuliah di arsitektur, boleh jadi setelah tamat mereka mengurus toko kelontong atau nyambi jual jus buah. Jika si anak kuliah di fakultas pertanian, bisa saja setelah tamat dengan indeks prestasi 3,9 malah jadi pengusaha cetak digital printing. Tidak apa-apa, masih dipandang wajar dan takdir yang harus disyukuri, dari pada menganggur,
Ada tamatan fakultas peternakan jadi wartawan, tamat fakultas ekonomi jurusan akutansi jadi pewarta televisi. Kalau studi di kedokteran pasti jadi dokter dan meniti karier di bidang kedokteran. Pasti malu kalau dokter jualan sayur kendati punya kebun luas berhektare-hektare, berisi cengkih, kopi, pisang, durian, manggis, warisan orangtua. “Kalau akhirnya jadi petani dan pedagang, ngapain kuliah di kedokteran?” kurang lebih begitu pertanyaan oang-orang penuh heran. Padahal si anak ingin kuliah di fakultas pertanian, ingin mengurus kebun, tapi si ayah dan ibu ingin si anak jadi dokter, jadi spesialis, dan ingin punya klinik.
Pertengahan tahun pun menjadi semarak dengan asal-usul ke mana seseorang hendak melangkah menentukan masa depan. Benar juga pendapat orang-orang, pertengahan tahun adalah penentuan nasib bagi anak muda. Pertengahan tahun menjadi saat paling sibuk bagi para orangtua. Mereka harus sedia cukup uang buat ongkos anak-anak masuk ke sekolah unggulan. Mesti menyediakan banyak duit buat pilihan program studi anak-anak ke perguruan tinggi. Banyak orangtua yang baru menyadari, mereka seharusnya menabung untuk pendidikan putra-putri mereka menembus perguruan tinggi justru di pertengahan tahun.
Banyak anak muda yang sedih tidak bisa meneruskan ke universitas karena tidak ada biaya, padahal orangtua mereka sanggup mengeluarkan uang untuk menyelenggarakan upacara adat sampai berpuluh juta rupiah. Biaya upacara itu jika diirit, bisa saja diperuntukkan buat biaya kuliah sampai si anak tamat.
Pertengahan tahun sesungguhnya saat sebuah keluarga memilih takdir untuk studi demi masa depan anak-anak mereka. Banyak keluarga yang tidak memikirkan awal langkah masa depan di pertengahan tahun itu. Tak sedikit pula yang mengabaikannya, tak peduli, tak hirau. *
Anak-anak sekolah libur, bergembira ria, senang bisa leluasa jalan-jalan di mal, janjian sama teman nonton di bioskop sambil menyeruput minuman berjelly, sembari ngomongin orang sibuk lalu-lalang.
Di antara yang sibuk bersenang-senang itu, banyak juga yang sedang susah. Mereka siswa sekolah menengah, baru tamat, sibuk cari sekolah favorit. Tamat SD sibuk cari SMP, yang tamat SMP celingak-celinguk cari SMA unggulan. Mereka berambisi masuk sekolah menengah yang keren, tapi malas belajar. Sekolahnya hebat, unggul, tapi kemampuan siswanya banyak yang di bawah rata-rata.
Banyak yang kemudian berkomentar, “Gak mugkin sekolah unggul siswanya tidak unggul.” Yang lain menimpali, “Bisalah, kenapa tidak? Sekolah itu memang sengaja dicitrakan hebat, terkenal karena kehebatan beberapa siswanya saja. Jika sebuah sekolah beberapa siswanya menang olimpiade science, mereka beriklan, mencitrakan diri dengan pajang foto. Jadilah mereka tampil di media sebagai sekolah unggul.”
Para orangtua kemudian berhasrat besar menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yan dicitrakan unggul itu. Mereka ingin putra-putri mereka bisa menjadi pemenang olimpiade science. Kalau menang, foto si anak akan nampang di media bersama guru pembimbing dan kepala sekolah, memegang piala, tersenyum manis, riang gembira. Kaum pemenang dilarang cemberut, dan harus selalu tampak bersemangat, agar anak-anak lain meniru keberhasilan itu, meniru ingin nampang di media.
Cobalah telusuri, hampir tidak pernah muncul di media kisah betapa sulit mendidik anak-anak remaja yang nakal, yang gampang terguncang. Para pendidik malu menceritakan anak-anak sekarang susah diurus, lebih banyak yang percaya pada gadget, senang googling dan doyan gosip yang bersumber pada hoax. Jika para guru diberi kesempatan seluas-luasnya menceritakan beban berat mendidik zaman sekarang, pasti berjibun kisah muncul. Kisah-kisah itu bertimbun menjadi curahan hati betapa menjadi guru sekarang sangat tidak gampang. Anak didik era sekarang merasa jauh lebih pintar dibanding sang guru, karena anak-anak itu sangat akrab dengan mesin mencari di internet.
Yang paling sibuk tentu orangtua yang anak-anaknya hendak masuk ke perguruan tinggi. Mereka tahu persis, masa depan hidup anak ditentukan oleh pilihan program studi di perguruan tinggi. Itu sebabnya sebagian besar orangtua menginginkan anak-anak mereka kuliah di fakultas kedokteran. Kalau tamat, mereka jadi dokter, tak bakalan buka butik atau mini market. Pasti bekerja sebagai dokter, berurusan dengan kesehatan orang.
Kalau si anak kuliah di arsitektur, boleh jadi setelah tamat mereka mengurus toko kelontong atau nyambi jual jus buah. Jika si anak kuliah di fakultas pertanian, bisa saja setelah tamat dengan indeks prestasi 3,9 malah jadi pengusaha cetak digital printing. Tidak apa-apa, masih dipandang wajar dan takdir yang harus disyukuri, dari pada menganggur,
Ada tamatan fakultas peternakan jadi wartawan, tamat fakultas ekonomi jurusan akutansi jadi pewarta televisi. Kalau studi di kedokteran pasti jadi dokter dan meniti karier di bidang kedokteran. Pasti malu kalau dokter jualan sayur kendati punya kebun luas berhektare-hektare, berisi cengkih, kopi, pisang, durian, manggis, warisan orangtua. “Kalau akhirnya jadi petani dan pedagang, ngapain kuliah di kedokteran?” kurang lebih begitu pertanyaan oang-orang penuh heran. Padahal si anak ingin kuliah di fakultas pertanian, ingin mengurus kebun, tapi si ayah dan ibu ingin si anak jadi dokter, jadi spesialis, dan ingin punya klinik.
Pertengahan tahun pun menjadi semarak dengan asal-usul ke mana seseorang hendak melangkah menentukan masa depan. Benar juga pendapat orang-orang, pertengahan tahun adalah penentuan nasib bagi anak muda. Pertengahan tahun menjadi saat paling sibuk bagi para orangtua. Mereka harus sedia cukup uang buat ongkos anak-anak masuk ke sekolah unggulan. Mesti menyediakan banyak duit buat pilihan program studi anak-anak ke perguruan tinggi. Banyak orangtua yang baru menyadari, mereka seharusnya menabung untuk pendidikan putra-putri mereka menembus perguruan tinggi justru di pertengahan tahun.
Banyak anak muda yang sedih tidak bisa meneruskan ke universitas karena tidak ada biaya, padahal orangtua mereka sanggup mengeluarkan uang untuk menyelenggarakan upacara adat sampai berpuluh juta rupiah. Biaya upacara itu jika diirit, bisa saja diperuntukkan buat biaya kuliah sampai si anak tamat.
Pertengahan tahun sesungguhnya saat sebuah keluarga memilih takdir untuk studi demi masa depan anak-anak mereka. Banyak keluarga yang tidak memikirkan awal langkah masa depan di pertengahan tahun itu. Tak sedikit pula yang mengabaikannya, tak peduli, tak hirau. *
Komentar