Resureksi Seni Lukis Wayang Klasik Kamasan untuk Pura dan Puri
DENPASAR, NusaBali.com - Seni lukis wayang klasik Kamasan sudah tidak perlu diragukan lagi keelokannya. Lukisan yang ada sejak zaman Dalem Waturenggong ini bingkainya sudah bertebaran di seluruh dunia, di ruangan pribadi orang-orang penting.
Namun sayang di tanah asalnya sendiri, seni lukis wayang klasik ini mulai memudar. Pudarnya seni lukis yang bertolak dari Prasasti Raja Anak Wungsu pada abad ke-11 ini lantaran mulai hilang dari penghias pura dan puri.
Keprihatinan ini disampaikan akademisi Seni Rupa ISI Denpasar Drs Wayan Gulendra MSn di sela memimpin wimbakara (lomba) Seni Lukis Wayang Klasik serangkaian PKB XLV di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali (Art Center) Denpasar, Kamis (22/6/2023).
"Dulu lukisan wayang klasik Kamasan ini kan digunakan untuk kepentingan pura dan puri. Nah jangan sampai untuk menghias pura itu malah menggunakan kain Singapore," beber Gulendra kepada NusaBali.com.
Kata Gulendra, lukisan wayang klasik bukan seni rupa sembarangan. Lukisan semacam ini mengandung filosofi yang tertuang pada narasi lukisan. Sebab, lukisan wayang klasik selalu mengandung cerita dari itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata, juga kisah calonarang, tantri, panji, dan lainnya.
Setiap narasi yang terkandung di dalam lukisan wayang klasik memiliki tempatnya sendiri. Kisah pemutaran Gunung Mandara Giri misalnya diletakkan di pura dan merajan. Lukisan kisah calonarang untuk di Pura Dalem. Kisah-kisah kerajaan seperti pendirian Indraprasta oleh Pandawa dapat ditaruh di ruangan pejabat.
"Seni lukis ini berkembang pesat pada abad ke-17 era Dalem Waturenggong. Seorang pelukis bernama Gede Marsadi diperintahkan melukis Patih Maudara. Hasilnya lukisan pewayangan bergaya Kamasan. Mulailah banyak lukisan itu digunakan di puri dan pura. Pola ini harus dikembalikan," tegas akademisi asal Blahbatuh, Gianyar.
Lanjut Gulendra, Gede Marsadi lantas dikenal sebagai Sangging Maudara karena karya lukisan menggambarkan patih Kerajaan Majapahit itu terkenal. Gaya lukisan Marsadi kemudian berkembang ke daerah lain tidak hanya di Kamasan, Klungkung. Mulai ada karya serupa dengan ciri khas Ubud, Kerambitan (Tabanan), Julah (Buleleng), dan lainnya.
Keterikatan lukisan wayang klasik Kamasan dengan dresta Bali bukan saja disebabkan oleh warisan Kerajaan Gelgel yang masyhur. Namun juga berawal mula dari keperluan ritual keagamaan. Sama seperti seni tari Bali yang bermula dari gerakan mudra para sulinggih, lukisan wayang klasik Kamasan juga berawal dari fenomena ritual.
Lukisan wayang klasik Kamasan disebut bermula dari seni rerajahan untuk kebutuhan upacara keagamaan. Rerajahan dengan garis tegas membentuk tokoh pewayangan banyak ditemui dalam rangkaian upacara. Yang cukup kentara adalah rerajahan Kamajaya dan Semara Ratih pada manusa yadnya.
Seni rerajahan yang terdiri dari unsur garis dan aksara modre diterjemahkan dan dikembangkan ke dalam bentuk lukisan. Unsur garis tegas rerajahan pada lukisan wayang klasik masih dipertahankan namun kemudian ditambahkan dengan warna sesuai pakem warna tokoh wayang.
"Lukisan wayang klasik ini di beberapa tempat seperti Kantor Gubernur Bali dan hotel-hotel sudah mulai muncul kembali. Krama Bali juga seharusnya mulai mengembalikan lukisan wayang klasik ke sudut-sudut rumah, puri, dan pura," ujar Gulendra.
Sementara itu, pada PKB XLIV tahun 2022 silam, seni lukis wayang klasik ini dikenalkan melalui kriyaloka (workshop). Narasumber workshop Cokorda Alit Artawan SSn MSn menjelaskan, teknik pewarnaan tradisional menjadi salah satu keunggulan eksistensi lukisan wayang klasik Kamasan.
Berbeda dengan bahan pewarnaan modern yang tidak tahan iklim dan terkalahkan waktu. Teknik pewarnaan Bali dari bahan-bahan alam menyebabkan lukisan klasik ini bertahan beberapa generasi selayaknya lukisan wayang klasik Kamasan kuno yang masih ada saat ini di Kertha Gosa.
"Warna Bali itu tidak terkalahkan dan memang terlihat hidup dalam berbagai cuaca. Misalnya untuk warna putih berasal dari tanduk rusa atau tulang babi yang dibakar, warna merah dari gincu Tiongkok, warna hitam dari jelaga, warna kuning dari atal (tanah liat kuning kecokelatan untuk proses membatik era lama)," papar Cok Alit yang juga akademisi ISI Denpasar.
Sayangnya yang menjadi tantangan saat ini adalah beberapa bahan ini mulai langka. Bahan perekat warna ke media lukis misalnya, dulu digunakan lem ancur (terbuat dari sisik dan tulang ikan). Kini bahan ini sudah langka di tanah air karena selama ini didatangkan dari Prancis.
Untuk itu, diharapkan keterlibatan pemangku kepentingan guna meresureksi seni lukis wayang klasik Kamasan yang berkualitas tinggi dan penuh nilai filosofi. Di samping itu, mengembalikan lukisan klasik ini ke posisi semula juga membantu mengembalikan rumah, puri, dan pura ke aura dan vibrasi asalnya. *rat
Komentar