Subak: Sebagai Ruang Fisikal dan Moral
SEBUAH dilema terjadi antara melestarikan subak dan kependudukan dengan segala kebutuhannya. Di Bali terdapat 40 ribu hektare sawah yang menerapkan sistem pertanian organik pada akhir 2022.
Pada tahun 2023, 70 ribu hektare sawah ditarget untuk menerapkan sistem organik. Pulau Bali memiliki luas wilayah 5.636,66 kilometer persegi dengan kepadatan penduduk di Bali telah mencapai 753 jiwa per kilometer persegi. Ke depan, bagaimana sistem sosial-pertanian-keagamaan dengan tekad dan semangat gotong royong dapat dipertahankan secara maksimal? Inilah tantangan terbesar yang tidak mudah solusinya agar tetap relasi harmonis tersebut bertahan.
Secara fisikal, subak merupakan sistem pengairan yang ditatakelola secara arif. Namun ketika dibedah secara kritis, subak merupakan sebuah sistem, memiliki unsur saling bergantung yang bersumber dari kearifan lokal. Nilai-nilai dasar tersebut, yaitu: kejujuran, disiplin, guyub, dukungan, kerja keras, saling mencintai, keterampilan kompetitif, amat terorganisir, dan gagasan mulia. Kebenaran subak bukan fisikal atau sosial, tetapi lebih beraksis pada moral. Menurut ahli, peran moral adalah memotivasi manusia untuk ber-‘tri kaya parisudha’ yang didasari dan dilandasi oleh kewajiban sebagai umat Hindu. Subak sebagai moral digunakan untuk mengukur kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia.
Sejauh ini, subak ditengara telah menjadi komodifikasi budaya. Komodifikasi budaya adalah transaksi jual beli benda budaya melalui proses industri yang lahir seiring dengan era globalisasi. Industri pariwisata adalah anak kandung globalisasi yang memproduksi benda budaya untuk diperdagangkan demi keuntungan secara finansial. Lahan pertanian bisa menyusut secara fisikal. Tetapi, dimensi moral, yaitu pengembangan afektif sebagai tindak lanjut kemampuan kognitif tidak bisa dipersempit atau bahkan dinafikan secara spasial. Jadi, ketika subak diyakini sebagai moral, maka semua kegiatan-kegiatan harus dinilai baik atau buruk, benar atau salah, tepat atau tidak tepat.
Sebagai sebuah moralitas, subak seharusnya diberi makna sebagai kaidah-kaidah yang diterima, menyangkut apa yang dianggap benar, baik, adil, dan pantas. Pada dasarnya, sistem subak memiliki kemampuan untuk diarahkan pada keinsyafan karma krama Bali tentang kebenaran spasial atau ruang (spatial truth). Ruang berasal dari bahasa latin, spatium, tempat di mana terdapat benda-benda atau sebagai wadah. Jika orang mempunyai ruang berarti mempunyai tempat untuk melakukan kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan. Kebenaran ruang seperti ini melekat pada subak. Sehingga, kegelisahan, kegundahan, dan tindakan membatasi atau sejenisnya bermunculan di khasanah kebudayaan.
Kebenaran ruang secara fisikal sulit dihindari. Memang, ruang fisikal bersifat konstan, tetapi pemanfaatannya sangat dinamis dan produktif. Ruang sosial adalah ruang fisik atau non fisik yang merupakan media interaksi sosial dan dibentuk oleh tindakan sosial baik bersifat individual maupun kolektif. Sedangkan, ruang moral tidak terhingga (infinite). ‘Tak terhingga’ merupakan suatu istilah untuk menyebutkan moralitas yang sangat besar atau sangat kecil. Pada tahun 1851, Bernard Bolzano berpendapat dalam The Paradoxes of Infinite bahwa, jika suatu kuantitas akan menjadi tak terbatas, maka ukuran kuantitas itu juga harus tak terbatas. Poinnya adalah bahwa kita memerlukan konsep jelas jumlah tak terbatas untuk memiliki konsep jelas kuantitas tak terbatas tentang subak misalnya.
Secara umum, tujuan dan fungsi moral adalah untuk mewujudkan harkat dan martabat kepribadian krama Bali melalui pengalaman nilai-nilai dan norma yang baik dan berterima zaman.
Apabila subak dimaknai sebagai ruang moral, maka krama Bali dan lainnya agar bersikap dan bertindak dengan kebajikan sebagai manusia adiluhung. Segalanya, harus didasari atas kesadaran, kewajiban dan berlandaskan pada moralitas. Hal demikian, memberikan wawasan masa depan kepada manusia, baik sanksi sosial maupun konsekuensi dalam kehidupan. Semoga sistem subak dapat diperluas sebagai ruang fisikal, sosial, dan juga moral. 7
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa
1
Komentar