Parade Joged Bumbung Tradisi di PKB Ke-45, Momen Emas Meluruskan Stigma Seni
Joged itu memang tari pergaulan yang ada unsur sensualnya, tapi bukan seksual.
DENPASAR, NusaBali
Tari Joged Bumbung, salah satu tarian pergaulan di Bali yang amat digandrungi krama (warga) Bali, terutama kaum muda. Namun sial, sejak dua dekade terakhir pentas tarian berciri khas ada pengibing (penari laki-laki dari unsur penonton ini, Red) ini, dicemooh publik.
Karena, sebagaimana tersiar di media-media digital terutama youtube, tarian ini dominan menyuguhkan gerakan-gerakan bernuansa erotis, baik oleh penari joged dan pengibingnya. Penonton pun menstigma Joged Bumbung.
Menyikapi kondisi itu, Pemprov Bali dan jajaran serta para pecinta tarian Joged Bumbung, secara konsisten meluruskan citra negatif tersebut. Salah satunya dengan menggelar Utsawa (Parade) Joged Bumbung Tradisi, serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-45, Senin (26/56) – Rabu (28/6). Parade pada Senin (26/6), disaksikan NusaBali, menampilkan Sanggar Seni Sudamala, Banjar Sukajati, Desa Taman, Kecamatan Abiansemal, Badung, di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya (Art Centre) Provinsi Bali, Kota Denpasar.
Pementasan kesenian ini memakai struktur umumnya, yakni papeson (bagian awal), pangawak (bagian utama), pangecet (bagian akhir) dan pakaad (penari meninggalkan panggung). Klimak tarian ini berada pada tahap pangawak, terutama saat penari joged menarikan gerak-gerakan yang seolah-olah ‘menantang’ pengibing untuk menari bersama. Pada joged pakem ini, mulai dari gerakan kenyem (senyum) manis, seledet nan mesra, hingga ngegol (gerakan bersumbu pada pinggul), dan lain-lain, tak sampai bernuansa erotis.
Seperti tampak pada penari Joged dari Sanggar Seni Sudamala. Pada struktur pangawak tari, penari mencari pengibing. Lanjut, pengibing memberikan masuk kalangan (ruang pentas), memberi panganjali (salam khas Bali, cakupan dua telapak tangan di dada,) kepada penari joged. Salam itu dibalas oleh penari Joged dengan mengikatkan selendang merah di pinggang pengibing, biasanya disertai gestur manja pengibing. Mereka kemudian menari bersama sesuai irama gambelan, disaksikan ratusan pasang mata.
Sanggar Seni Sudamala menampilkan empat penari. Penampilannya diawali alunan tabuh pamabah (pengantar) Ngelencok. Alunan tabuh ini berhasil mengundang para pengunjung PKB untuk merapat ke dekat panggung pertunjukan. Diiringi Tabuh Joged Kembang Rampe, penari joged pertama muncul dengan gerakan lincah, anggun, hingga mendapat aplaus pengunjung. Seturut dengan tema PKB ke-45 kali ini 'Segara Kerthi Prabhaneka Sandhi Samudra Cipta Peradaban' pementasan juga disertai narasi yang jadi pemandu para penari.
Dikisahkan,pengibing merupakan pemuda yang jatuh hati dengan penari joged. Segala rayuan dikeluarkan untuk meluluhkan hati si penari, namun tetap ditolak. Karena cintanya bertepuk sebelah tangan, pengibing frustrasi dan berkeinginan gantung diri. Penari pun mulai kasihan dan balik merayu dengan mengajak pengibing yang bersedih untuk melaut, mencari ikan. Penonton seakan ikut merasakan perjalanan cerita cinta di antara keduanya.
Salah seorang penari joged yang tampil sore itu, Ni Kadek Dwi Setiari,19, tidak mengelak kerap mendapat pancingan nakal dari pengibing saat pentas. Mahasiswi Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) ini miris dengan adanya fenomena joged erotis. Dampaknya, sebagian masyarakat melihat penari joged dengan sebelah mata. Penari yang akrab disapa Cantika ini pun punya pengalaman kurang menyenangkan pada saat pentas di salah satu desa. Saat itu, dia ditaksir oleh salah seorang pemuda. Namun ayah sang pemuda tersebut tiba-tiba berseloroh karena enggan anaknya dekat dengan penari joged. "Bapak nggak mau punya mantu joged gek," ujarnya, menirukan ucapan ayah pemuda tersebut dalam sebuah keempatan.
Ketua Sanggar Sudamala I Gusti Ngurah Gede Oka Wiratmaja,31, mengakui tari Joged Bumbung pakem tradisional semakin ditinggalkan. Oleh karena itu, jelasnya, parade Joged Bumbung di PKB ini adalah kesempatan emas untuk melestarikan pakem-pakem tradisi tarian joged yang semakin ditinggalkan.
"Joged Bumbung itu hiburan yang tak harus jaruh (porno)," ujar alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, saat ditemui di belakang panggung. Menurutnya pula, kesan romantis tidak harus saling gelut (berpelukan). Dengan seledet atau saling lirik mesra saja sudah bikin hati penonton bergetar.
Maestro tari Bali Prof I Wayan Dibia yang ikut menyaksikan pementasan sore itu, mengatakan tidak bisa dipungkiri bahwa pementasan joged jaruh masih ada saat ini. Meskipun jumlah joged ini semakin sedikit. Menurutnya, pementasan joged jaruh diakibatkan oleh salah persepsi sebagian seniman joged ataupun masyarakat Bali sendiri. Masih ada pikiran bahwa tari joged harus disertai adegan nakal yang menjurus pornografi.
"Joged itu tari pergaulan yang ada unsur sensualnya. Tapi, bukan seksual atau adegan mirip persetubuhan," tegasnya. Dia pun tak setuju jika pertunjukan joged 'kering' dari persentuhan relasi penari-pengibing. Guru besar seni asal Desa Singapadu, Gianyar ini, menilai Tari Joged merupakan salah satu kesenian rakyat penuh spontanitas. Tandanya, ada rasa kebersamaan, kegembiraan, dan kebersyukuran dalam pertunjukan. 7cr78
1
Komentar