Wayang Kulit 'Alengka Brastha', Ingatkan tentang Klaim Seni Budaya
Tilem Singarsa sendiri sudah belajar mendalang sejak usia belia. Bahkan tahun 2015 silam juga pernah mendalang serupa dengan yang dilakukan pada PKB tahun ini.
DENPASAR, NusaBali
Sanggar Seni Dewa Ruci, Banjar Lambing, Desa Sibang Kaja, Kecamatan Abiansemal, Badung, tampil dalam Utsawa (Parade) Wayang Kulit Ramayana serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-45 Tahun 2023 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya (Art Center) Provinsi Bali, Sabtu (1/7) malam.
Mengangkat lakon 'Alengka Brastha', sang dalang, Ida Bagus Putu Tilem Singarsa turut menyisipkan pesan cinta seni budaya kepada generasi muda Bali sebelum kebudayaan kita diklaim oleh pihak lain.
Lakon 'Alengka Brastha' mengisahkan perjalanan Sang Rama bersama Laksmana setelah bersekutu dengan pasukan wanara di bawah pimpinan raja kera yaitu Sugriwa berada di Gunung Suwela untuk mencari Dewi Sita yang diculik oleh Rahwana.
Setelah waktunya tiba para wanara ditugaskan menyusup dan menyebar ke seluruh penjuru guna menemukan Kerajaan Alengka. Hanoman adalah wanara putih yang sakti dan perkasa ditugaskan berangkat menuju arah selatan dari Gunung Suwela dengan pasukan kera yang pemberani.
Dalam peristirahatannya tiba-tiba mereka melihat sebuah goa, akhirnya mereka semua masuk ke dalam goa untuk berteduh. Betapa kaget mereka semua melihat bangunan rumah putih yang megah berada di dalam goa.
Tak lama kemudian terdengar suara perempuan dari kejauhan. Nampak seorang gadis bernama Swayamprabha yang tiada lain adalah mata-mata Sang Rahwana, mendekat dan menyapa dengan ramah kepada wanara semua.
Dengan tipu muslihatnya, para wanara disuruh untuk menutup matanya sejenak agar cepat sampai di Alengka. Hal itupun segera dilakukan oleh Hanoman dan pasukan. Kejadian aneh yang terjadi, dimana semua wanara tidak bisa membuka mata.
Hanoman menyadari bahwa itu adalah bencana, dengan penuh penyesalan dan merasa diri tidak layak menjadi utusan sehingga ia ingin mengakhiri hidupnya. Hal itu diketahui oleh seekor burung besar yaitu kakak Sang Jatayu yang bernama Sang Sampati. Hanoman dan wanara diberi pertolongan serta petunjuk menuju arah Alengka. Dengan kejadian itu Sang Hanoman mengambil inisiatif untuk berangkat sendiri menyeberangi Samudra menuju Alengka, sedangkan pasukannya agar menunggu di Gunung Windya.
Hanoman segera menyelinap untuk mencari keberadaan Dewi Sita. Tanpa disadari, ia mendengar suara tangis wanita yang berada di sebuah taman. Dari balik pohon Parijata, Hanoman melihat tingkah Sang Rahwana sedang merayu Dewi Shita. Ketika Rahwana sudah pergi, kesempatan itu sangat baik baginya untuk bertemu sang Dewi. Setelah Dewi Shita tahu bahwa utusan Sang Rama datang benar-benar memberikan semangat hidup yang baru kepada Sang Dewi.
Hanoman menghancurkan Taman Alengka Pura, suasana kacau balau, raksasa penjaga semua datang untuk berperang menghadapi Hanoman yang sedang mengobrak-abrik pepohonan dan bangunan. Para raksasa dapat dikalahkan termasuk Sang Aksa anak Sang Rahwana gugur dalam pertempuran itu.
Sang Meganada anak Rahwana yang lain, segera datang dengan senjata nagapasa berperang menghadapi Hanoman. Dalam perang tersebut Hanoman terkena panah Sang Meganada sehingga Hanoman jatuh dan dibelit oleh naga dari ajian nagapasa tersebut.
Hanoman disiksa dan diseret oleh para raksasa dibawa ke hadapan Rahwana. Namun ekor Hanoman disulut dengan api, semakin lama semakin berkobar, Hanoman bangkit dan melompat dengan api yang menyala dari bangunan yang satu ke bangunan yang lain. Nampak kerajaan Alengka bagaikan gunung yang terbakar. Setelah Alengkapura hangus terbakar, Hanoman mohon diri kepada Dewi Sita untuk kembali bertemu dengan Sang Rama Dewa.
Dalang Ida Bagus Putu Tilem Singarsa mengungkapkan, untuk penampilan Wayang Ramayana di PKB ini dirinya mengawali dengan persiapan tabuh pengiring yang dibentuknya sejak awal tahun. Mengingat para penabuh yang akan mengiringinya saat ngewayang kebanyakan adalah pemula, sehingga perlu disiapkan jauh-jauh hari.
"Yang saya libatkan ini penabuh pemula. Mereka punya basic bermain gender. Tapi tentunya bermain gender untuk mengiringi wayang berbeda dengan bermain gender biasa. Penabuh harus fokus dengan dalangnya, sehingga sejak awal tahun saya mantapkan penabuh pengiringnya," ujarnya.
Sementara untuk persiapan mendalang dengan lakon 'Alengka Brastha' diakui kurang lebih selama sebulan. Meski persiapan terbilang singkat, namun penampilan yang ditunjukkan sangat maksimal. Tilem Singarsa sendiri sudah belajar mendalang sejak usia belia. Bahkan tahun 2015 silam juga pernah mendalang serupa dengan yang dilakukan pada PKB tahun ini.
"Kalau saya dalang persiapannya tidak sampai satu bulan untuk fokus ke ceritanya niki. Lebih ke pemantapan. Kalau ngewayang saya sudah pernah mewakili di PKB pada tahun 2015 juga Wayang Ramayana. Kalau keseharian, saya biasa ngayah ngedalang wayang lemah untuk upacara dan sesolahan Sidakarya," terangnya.
Terkait pengembangan seni wayang, kata Tilem Singarsa, secara umum dalang punya hak untuk mengembangkan cerita, jadi tetap babonnya Kekawin Ramayana. Dalang harus bisa mengemasnya agar lebih menarik namun tidak mengurangi makna dan inti cerita. Dalang pun bisa mengimprovisasi pertunjukan dengan menyisipkan pesan-pesan moral.
"Dalam pertunjukan ini ada pesan juga yang diselipkan untuk generasi muda Bali terutama jangan sampai meninggalkan tradisi seni budaya Bali. Biar tidak nantinya ketika sudah ada orang lain yang mengklaim, di sana baru kita ribut-ribut, tidak ada gunanya. Jadi kalau bisa ya dari sekarang lah cintai budaya lokal. Jangan tergiur budaya luar sampai meninggalkan budaya kita sendiri," pungkasnya. 7 cr78
Komentar