Stigma dan Diskrimasi Jadi Tantangan Pendataan ODHIV di Denpasar
DENPASAR, NusaBali - Stigma dan diskriminasi masih dirasakan para ODHIV atau orang yang terinfeksi HIV.
Hal itu menjadikan para ODHIV tidak berani terbuka pada saat pendataan yang dilakukan aparat pemerintah. Bahkan pemerintahan di tingkat terbawah (desa/kelurahan) masih kesulitan mendata ODHIV.
“Hal ini yang kemudian menyulitkan ketika desa hendak dilibatkan dalam pemberian bantuan dan dukungan,” kata Made Efo Sumiartha dari Forum Peduli AIDS (FPA) Bali dalam Worksop Program Advokasi HIV di Denpasar, Selasa (18/7).
Di sisi lain, dia melihat sebenarnya komitmen desa di Denpasar sudah terlihat dari sejumlah program yang ada termasuk alokasi anggarannya. Namun, menurutnya, masih sebatas sosialisasi untuk pencegahan.
Karena itulah, FPA mendorong agar program itu bisa dikembangkan dengan melibatkan komunitas-komunitas dengan perilaku yang berisiko di desa itu. Mulai dari program penjangkauan di mana warga dengan perilaku berisiko berani melakukan tes HIV hingga adanya bantuan sosial bagi ODHIV.
“Di sini tentu diperlukan juga komitmen agar tidak terjadi stigma dan diskriminasi,” ujarnya.
Mengenai masih kuatnya stigma itu diakui oleh perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi Bali I Gusti Ayu Ketut Sri Witari. Karena itu pihaknya tidak menyampaikan data mengenai keberadaan ODHIV secara terbuka. Meski kasus yang terungkap sudah datanya di layanan-layanan kesehatan.
“Ini bukan hanya menyangkut stigma pada ODHIV tetapi juga pada keluarganya,” katanya. Idealnya, HIV cukup ditanggapi sama seperti penyakit lainnya. Apalagi saat ini sudah ada obat untuk menjaga kondisi kesehatan ODHIV.
Salah satu aktivis komunitas pendamping ODHIV, Ika Rayni, menyatakan keberadaan ODHIV di suatu komunitas tidak mungkin dirahasiakan sepenuhnya. “Itu biasanya sudah menjadi rahasia umum,” katanya.
Dalam hal ini, peran kepala desa sangat penting dalam memberikan layanan yang tidak diskriminatif dan bahkan melibatkan komunitas dalam aksi pencegahan.
“ODHIV yang sudah terbuka biasanya akan menjadi yang pertama dihubungi ketika ada kasus sehingga akan memudahkan juga untuk pemberian dukungan,” katanya.
Menanggapi adanya keinginan untuk melibatkan komunitas dalam penanganan HIV di tingkat desa, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kota Denpasar Tresna Yasa menyatakan siap untuk memfasilitasi.
Dia meminta pihak FPA Bali dan komunitas memberikan rancangan program hingga rencana anggarannya. “Nanti bisa kita diskusikan langsung dengan pendamping desa karena mereka yang mengawal prosesnya,” sebutnya.
Menurutnya, secara regulasi tidak ada masalah untuk penggunaan dana-dana di desa dalam penanggulangan HIV. Selama ini dana dialokasikan untuk program sosialisasi, termasuk melalui berbagai lomba dan acara seni budaya seperti pergelaran bondres.
“Di sini kita harapkan juga ada keterbukaan dari ODHIV. Karena pernah juga kita mengundang mereka tetapi ketika presentasi masih menggunakan topeng,” ujarnya. 7 cr78
“Hal ini yang kemudian menyulitkan ketika desa hendak dilibatkan dalam pemberian bantuan dan dukungan,” kata Made Efo Sumiartha dari Forum Peduli AIDS (FPA) Bali dalam Worksop Program Advokasi HIV di Denpasar, Selasa (18/7).
Di sisi lain, dia melihat sebenarnya komitmen desa di Denpasar sudah terlihat dari sejumlah program yang ada termasuk alokasi anggarannya. Namun, menurutnya, masih sebatas sosialisasi untuk pencegahan.
Karena itulah, FPA mendorong agar program itu bisa dikembangkan dengan melibatkan komunitas-komunitas dengan perilaku yang berisiko di desa itu. Mulai dari program penjangkauan di mana warga dengan perilaku berisiko berani melakukan tes HIV hingga adanya bantuan sosial bagi ODHIV.
“Di sini tentu diperlukan juga komitmen agar tidak terjadi stigma dan diskriminasi,” ujarnya.
Mengenai masih kuatnya stigma itu diakui oleh perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi Bali I Gusti Ayu Ketut Sri Witari. Karena itu pihaknya tidak menyampaikan data mengenai keberadaan ODHIV secara terbuka. Meski kasus yang terungkap sudah datanya di layanan-layanan kesehatan.
“Ini bukan hanya menyangkut stigma pada ODHIV tetapi juga pada keluarganya,” katanya. Idealnya, HIV cukup ditanggapi sama seperti penyakit lainnya. Apalagi saat ini sudah ada obat untuk menjaga kondisi kesehatan ODHIV.
Salah satu aktivis komunitas pendamping ODHIV, Ika Rayni, menyatakan keberadaan ODHIV di suatu komunitas tidak mungkin dirahasiakan sepenuhnya. “Itu biasanya sudah menjadi rahasia umum,” katanya.
Dalam hal ini, peran kepala desa sangat penting dalam memberikan layanan yang tidak diskriminatif dan bahkan melibatkan komunitas dalam aksi pencegahan.
“ODHIV yang sudah terbuka biasanya akan menjadi yang pertama dihubungi ketika ada kasus sehingga akan memudahkan juga untuk pemberian dukungan,” katanya.
Menanggapi adanya keinginan untuk melibatkan komunitas dalam penanganan HIV di tingkat desa, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kota Denpasar Tresna Yasa menyatakan siap untuk memfasilitasi.
Dia meminta pihak FPA Bali dan komunitas memberikan rancangan program hingga rencana anggarannya. “Nanti bisa kita diskusikan langsung dengan pendamping desa karena mereka yang mengawal prosesnya,” sebutnya.
Menurutnya, secara regulasi tidak ada masalah untuk penggunaan dana-dana di desa dalam penanggulangan HIV. Selama ini dana dialokasikan untuk program sosialisasi, termasuk melalui berbagai lomba dan acara seni budaya seperti pergelaran bondres.
“Di sini kita harapkan juga ada keterbukaan dari ODHIV. Karena pernah juga kita mengundang mereka tetapi ketika presentasi masih menggunakan topeng,” ujarnya. 7 cr78
Komentar