Tari Kontemporer Bali Masuk Festival Internasional
DENPASAR, NusaBali - Tari kontemporer Bali tidak mati suri. Para koreografer Pulau Dewata tidak berhenti berkarya bahkan mendapat penerimaan dunia.
Mereka tampilkan pencarian identitas seni pada sejumlah festival seni internasional.
Timbang Rasa (Sarasehan) Festival Seni Bali Jani V Tahun 2023 mengangkat tema 'Tari Bali Modern dalam Festival Internasional' (Capaian Estetik-Stilistik dan Apresiasi Publik). Dua narasumber Kadek Puspasari, koreografer dan penari Bali tinggal di Paris, dan Ratri Anindyajati, Direktur Indonesia Dance Festival Internasional, berbagi pengalamannya secara daring di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar.
Ratri mengungkapkan sejak Indonesia Dance Festival (IDF) digelar pertama kali 1992, koreografer Bali tercacat 10 kali telah mentas di festival internasional tersebut. Pada 1993 untuk pertama kalinya penari Bali Ketut Suteja menyuguhkan tari kontemporer berjudul 'Ngelawang'. Hingga menurut catatannya pada 2020 Kadek Puspasari juga turut memeriahkan festival internasional khusus tari terbesar di Indonesia.
"Pada karya-karya tahun 1993 sampai 2004 kita bisa melihat dari judul maupun sinopsisnya bahwa karya-karya tersebut sangat menyangkut praktik-praktik spiritual ritual dan tradisi. Bisa dilihat dari gerak tariannya yang sangat terasa nuansa tradisi Balinya dan elemen kostum tradisi yang hadir di dalamnya," ujar lulusan Intitute of the Arts, Los Angeles, Amerika Serikat.
Rantri kemudian menjelaskan adanya pergeseran semenjak 2008 ketika para koreografer Bali yang tampil dalam IDF membawakan tematik yang sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tendensi tematiknya membaca diri manusia secara universal meski di dalamnya tetap tidak terlalu jauh dari tradisi. Penggunaan bahasa Inggris juga mulai digunakan dalam penamaan tari.
Pun dalam urusan artistik pada gerak dan kostum pergeseran ke arah yang lebih minimalis juga mulai terlihat. Gerak tubuh dan kostum melepaskan elemen-elemen tradisi dan juga iringan musik yang lebih sederhana.
"Meskipun pada akhirnya kita juga bisa menangkap bahwa mereka tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi Bali. Contohnya pada karya tari 'Stone Body' berefleksi sangat erat pada tradisi patung Bali. Sedangkan tari 'Water and I' melihat air dalam kesemestaan dan melihat ke-Tuhanan dalam diri dan dapat dipantulkan ke diri-diri lain atau manusia manusia lain," ujar Rantri.
Rantri menyebut tari kontemporer menjadi cara berekspresi pada sebagian seniman. Mereka mengungkapkan apa yang dialami diri maupun apa yang dilihat di sekelilingnya melalui tari-tarian yang cenderung bebas ekspresif. Meski begitu ia menekankan setiap festival memiliki kriterianya masing. Sehingga kebebasan yang dimiliki para koreografer lebih dianggap sebagai kebebasan berargumen untuk menemukan kesepakatan dalam itikad baik.
Diakuinya tari kontemporer memiliki kesan sulit dimengerti dibanding tari tradisi. Namun seyogianya ada konsep yang mendasari setiap gerak tari kontemporer. Seringkali menjadi kritik terhadap kondisi yang mapan saat ini. Menurutnya lagi ada pesan yang selalu mendasari di balik gerak tari kontemporer yang terkesan berbeda.
Perlahan ia melihat antusias masyarakat, khususnya di Jakarta, terhadap tari kontemporer semakin baik. Menurutnya generasi muda saat ini mulai menganggap menonton pertunjukan seni sebagai sesuatu yang keren.
"Kenapa saya memilih dunia seni kontemporer karena karya-karya yang diciptakan oleh koreografer sebetulnya mengandung banyak jawaban atas kehidupan yang sering kita pertanyakan sendiri," ujar Rantri yang menyapa secara daring dari Wina, Austria.
Kadek Puspasari tidak menampik jika tari kontemporer jadi wahana pencarian diri bagi dirinya. Kadek yang lahir di Bali namun besar di Solo, Jawa Tengah, menimba begitu banyak pengalaman hidup dalam latar budaya yang beragam. Tidak hanya 'ngayah' menari di pura, Kadek juga kerap menari di keraton-keraton Jawa. Pengalaman menggeluti tari tradisi tersebut juga membentuk tari-tari kontemporer yang dibuatnya.
Belakangan Kadek banyak berkiprah di Paris, Perancis. Tari-tari kontemporer yang dibawakannya muncul dalam festival-festival tari di Eropa. Senada dengan Rantri, Kadek mengungkap setiap festival punya aturannya sendiri. Sehingga konsep kebebasan yang dipegangnya juga tidak bisa berlawanan dengan konsep yang diusung festival tersebut.
"Jadi ketika kita berkarya kita harus mengerti karya itu untuk siapa dan dipentaskan di mana," ujar Kadek. 7 cr78
Timbang Rasa (Sarasehan) Festival Seni Bali Jani V Tahun 2023 mengangkat tema 'Tari Bali Modern dalam Festival Internasional' (Capaian Estetik-Stilistik dan Apresiasi Publik). Dua narasumber Kadek Puspasari, koreografer dan penari Bali tinggal di Paris, dan Ratri Anindyajati, Direktur Indonesia Dance Festival Internasional, berbagi pengalamannya secara daring di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar.
Ratri mengungkapkan sejak Indonesia Dance Festival (IDF) digelar pertama kali 1992, koreografer Bali tercacat 10 kali telah mentas di festival internasional tersebut. Pada 1993 untuk pertama kalinya penari Bali Ketut Suteja menyuguhkan tari kontemporer berjudul 'Ngelawang'. Hingga menurut catatannya pada 2020 Kadek Puspasari juga turut memeriahkan festival internasional khusus tari terbesar di Indonesia.
"Pada karya-karya tahun 1993 sampai 2004 kita bisa melihat dari judul maupun sinopsisnya bahwa karya-karya tersebut sangat menyangkut praktik-praktik spiritual ritual dan tradisi. Bisa dilihat dari gerak tariannya yang sangat terasa nuansa tradisi Balinya dan elemen kostum tradisi yang hadir di dalamnya," ujar lulusan Intitute of the Arts, Los Angeles, Amerika Serikat.
Rantri kemudian menjelaskan adanya pergeseran semenjak 2008 ketika para koreografer Bali yang tampil dalam IDF membawakan tematik yang sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tendensi tematiknya membaca diri manusia secara universal meski di dalamnya tetap tidak terlalu jauh dari tradisi. Penggunaan bahasa Inggris juga mulai digunakan dalam penamaan tari.
Pun dalam urusan artistik pada gerak dan kostum pergeseran ke arah yang lebih minimalis juga mulai terlihat. Gerak tubuh dan kostum melepaskan elemen-elemen tradisi dan juga iringan musik yang lebih sederhana.
"Meskipun pada akhirnya kita juga bisa menangkap bahwa mereka tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi Bali. Contohnya pada karya tari 'Stone Body' berefleksi sangat erat pada tradisi patung Bali. Sedangkan tari 'Water and I' melihat air dalam kesemestaan dan melihat ke-Tuhanan dalam diri dan dapat dipantulkan ke diri-diri lain atau manusia manusia lain," ujar Rantri.
Rantri menyebut tari kontemporer menjadi cara berekspresi pada sebagian seniman. Mereka mengungkapkan apa yang dialami diri maupun apa yang dilihat di sekelilingnya melalui tari-tarian yang cenderung bebas ekspresif. Meski begitu ia menekankan setiap festival memiliki kriterianya masing. Sehingga kebebasan yang dimiliki para koreografer lebih dianggap sebagai kebebasan berargumen untuk menemukan kesepakatan dalam itikad baik.
Diakuinya tari kontemporer memiliki kesan sulit dimengerti dibanding tari tradisi. Namun seyogianya ada konsep yang mendasari setiap gerak tari kontemporer. Seringkali menjadi kritik terhadap kondisi yang mapan saat ini. Menurutnya lagi ada pesan yang selalu mendasari di balik gerak tari kontemporer yang terkesan berbeda.
Perlahan ia melihat antusias masyarakat, khususnya di Jakarta, terhadap tari kontemporer semakin baik. Menurutnya generasi muda saat ini mulai menganggap menonton pertunjukan seni sebagai sesuatu yang keren.
"Kenapa saya memilih dunia seni kontemporer karena karya-karya yang diciptakan oleh koreografer sebetulnya mengandung banyak jawaban atas kehidupan yang sering kita pertanyakan sendiri," ujar Rantri yang menyapa secara daring dari Wina, Austria.
Kadek Puspasari tidak menampik jika tari kontemporer jadi wahana pencarian diri bagi dirinya. Kadek yang lahir di Bali namun besar di Solo, Jawa Tengah, menimba begitu banyak pengalaman hidup dalam latar budaya yang beragam. Tidak hanya 'ngayah' menari di pura, Kadek juga kerap menari di keraton-keraton Jawa. Pengalaman menggeluti tari tradisi tersebut juga membentuk tari-tari kontemporer yang dibuatnya.
Belakangan Kadek banyak berkiprah di Paris, Perancis. Tari-tari kontemporer yang dibawakannya muncul dalam festival-festival tari di Eropa. Senada dengan Rantri, Kadek mengungkap setiap festival punya aturannya sendiri. Sehingga konsep kebebasan yang dipegangnya juga tidak bisa berlawanan dengan konsep yang diusung festival tersebut.
"Jadi ketika kita berkarya kita harus mengerti karya itu untuk siapa dan dipentaskan di mana," ujar Kadek. 7 cr78
1
Komentar