Berawal dari Nawur Sesangi, Kini Jadi Seni Pertunjukan
Tradisi Sampi Gerumbungan Meriahkan Lovina Festival IX
Untuk menghidupkan kembali dan melestarikan tradisi, pada Desember mendatang akan digelar parade dan lomba sampi gerumbungan se–Kabupaten Buleleng.
SINGARAJA, NusaBali
Lima kelompok sampi gerumbungan tampak sibuk mengurus sapi-sapi andalan masing-masing. Kelompok perwakilan Buleleng timur, tengah, dan barat ini tiba di lokasi acara pada pukul 14.00 Wita di Lapangan Desa Kaliasem, Kecamatan Banjar, Buleleng, Sabtu (22/7). Mereka akan menampilkan atraksi Sampi Gerumbungan serangkaian Lovina Festival (Lovest) IX.
Masing-masing kelompok membagi anggotanya. Sebagian sibuk menenangkan sapi dengan mengelus-elus ekor, kepala, dan badan. Sesekali badan sapi disiram air. Sebagian anggota lainnya bertugas memasang aksesoris. Pada bagian kepala sapi dipasang rumbing yang menutupi dahi hingga hidung. Kemudian di bagian leher dipasang badong. Untuk mengaitkan dua ekor sapi pada leher dipasang yuga, lampit, dan panyelah bagian alat bajak sawah tradisional.
Lima pasang sampi gerumbungan lalu berparade keliling lapangan. Sapi-sapi terlatih ini tampil memukau di hadapan masyarakat dan wisatawan yang memadati lapangan. Yang menarik, tidak hanya riasan yang dipasang di tubuh sapi, tetapi lebih pada keanggunan gerak, derap kaki serentak kedua sapi saat sais (pengendali) melecutkan pecut.
Sampi gerumbungan menjadi tradisi agraris di Buleleng dan sudah ada secara turun-temurun. Sampi gerumbungan lahir dari pertanian. Ketua Kelompok Sampi Gerumbungan Pasupala Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng, Ketut Susila, menyatakan sampi gerumbungan sudah ada jauh sebelum buyutnya. Dia kini adalah generasi ketujuh yang masih mempertahankan sampi gerumbungan.
Dari cerita leluhurnya, sampi gerumbungan tercetus karena dulu sebagian besar masyarakat adalah petani. Mereka hanya mengandalkan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tradisi sampi gerumbungan sering kali digelar sebagai wujud rasa syukur petani atas hasil panen yang bagus.
Lima kelompok sampi gerumbungan tampak sibuk mengurus sapi-sapi andalan masing-masing. Kelompok perwakilan Buleleng timur, tengah, dan barat ini tiba di lokasi acara pada pukul 14.00 Wita di Lapangan Desa Kaliasem, Kecamatan Banjar, Buleleng, Sabtu (22/7). Mereka akan menampilkan atraksi Sampi Gerumbungan serangkaian Lovina Festival (Lovest) IX.
Masing-masing kelompok membagi anggotanya. Sebagian sibuk menenangkan sapi dengan mengelus-elus ekor, kepala, dan badan. Sesekali badan sapi disiram air. Sebagian anggota lainnya bertugas memasang aksesoris. Pada bagian kepala sapi dipasang rumbing yang menutupi dahi hingga hidung. Kemudian di bagian leher dipasang badong. Untuk mengaitkan dua ekor sapi pada leher dipasang yuga, lampit, dan panyelah bagian alat bajak sawah tradisional.
Lima pasang sampi gerumbungan lalu berparade keliling lapangan. Sapi-sapi terlatih ini tampil memukau di hadapan masyarakat dan wisatawan yang memadati lapangan. Yang menarik, tidak hanya riasan yang dipasang di tubuh sapi, tetapi lebih pada keanggunan gerak, derap kaki serentak kedua sapi saat sais (pengendali) melecutkan pecut.
Sampi gerumbungan menjadi tradisi agraris di Buleleng dan sudah ada secara turun-temurun. Sampi gerumbungan lahir dari pertanian. Ketua Kelompok Sampi Gerumbungan Pasupala Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng, Ketut Susila, menyatakan sampi gerumbungan sudah ada jauh sebelum buyutnya. Dia kini adalah generasi ketujuh yang masih mempertahankan sampi gerumbungan.
Dari cerita leluhurnya, sampi gerumbungan tercetus karena dulu sebagian besar masyarakat adalah petani. Mereka hanya mengandalkan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tradisi sampi gerumbungan sering kali digelar sebagai wujud rasa syukur petani atas hasil panen yang bagus.
Foto: Ketua Kelompok Sampi Gerumbungan Pasupala Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng, Ketut Susila. -LILIK
“Cerita tetua kami juga, sampi gerumbungan ini sebagai pembayar kaul (nawur sesangi) kalau hasil panen bagus. Dan sampai sekarang pun masih juga sampi gerumbungan sebagai salah satu cara membayar kaul. Selain juga sebagai seni pertunjukan seperti sekarang ini,” ucap Susila.
Sampi gerumbungan, menurut Susila, memang sapi-sapi pilihan dan istimewa dan bukan dipilih dari sapi sembarangan. Bakal sampi gerumbungan sudah memiliki ciri khas sejak lahir. Biasanya bibit sampi gerumbungan ini dapat dilihat dari gerakan kaki, ekor, dan kepala.
“Kalau sudah bibit sampi gerumbungan sejak lahir saat menyusu saja ekornya sudah melejit ke atas. Lalu setelah bisa berlari juga larinya beda, biasanya gerak kaki depan agak naik saat berjalan juga lehernya agak menengadah,” terang Susila.
Bibit sampi gerumbungan ini harganya lebih mahal dibanding bibit sapi biasa. Jika bibit sapi biasa Rp 9.000.000 per ekor, bibit sampi gerumbungan bisa sampai Rp 11.000.000 per ekor. Setelah mendapat bibit yang bagus, sapi-sapi ini akan dipelihara secara khusus. Meski tidak lagi dipakai membajak sawah, petani tetap memberikan pakan yang sehat dan bergizi.
Sampi gerumbungan rutin mendapatkan treatment pijatan dan elusan setiap hari dari majikannya. Sapi-sapi ini juga dipastikan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Biasanya akan dijemur saat pagi dan dimandikan pada siang hari. Sapi-sapi ini setelah dilatih dan mendapat perlakukan khusus, akan siap ditampilkan untuk atraksi sampi gerumbungan dari umur 12 bulan ke atas.
Sejauh ini Kelompok Pasupala Desa Lemukih yang dikukuhkan sejak tahun 2010 silam masih bertahan memelihara sampi gerumbungan. Dari 20 orang anggota kelompok, memiliki 6 pasang sampi gerumbungan, selain juga sapi anakan. Namun yang biasa tampil dan mengikuti lomba ada 2 pasang.
“Kami termotivasi karena senang dan sudah mewarisi secara turun temurun saja. Kalau untuk mendapatkan penghasilan dari sini sih tidak seberapa,” kata Susila.
Selain Kelompok Pasupala di Buleleng, keberadaan sampi gerumbungan ada di beberapa lokasi. Buleleng timur ada di Kecamatan Sawan. Perkumpulan kelompok sampi gerumbungan di Buleleng timur ini dikenal dengan nama Baga Sebali yang terdiri dari kelompok asal Desa Sawan, Menyali, Lemukih, Galungan, dan Bebetin.
Sedangkan Buleleng tengah sampi gerumbungan ada di Desa Panji, Desa Sambangan di Kecamatan Sukasada dan Kelurahan Banjar Tegal, Kecamatan Buleleng. Sedangkan Buleleng barat ada di Desa Kaliasem dan Desa Pedawa, Kecamatan Banjar.
Sementara itu dalam atraksi sampi gerumbungan Lovest IX wisatawan juga diberikan kesempatan untuk mencoba sensasi naik sampi gerumbungan. Salah satunya Indi, 14, wisatawan asal Belanda. Dia didampingi ayahnya mengaku pertama kali datang ke Buleleng. Kesempatan mencoba naik sampi gerumbungan menurutnya pengalaman yang sangat seru.
“Ini pertama kali saya ke Bali. Biasanya saya selama liburan hanya pergi ke pantai. Tapi sekarang memiliki pengalaman baru menyaksikan dan mencoba atmosfer kebudayaan Bali. Saya dapat informasi sampi atraksi ini dari media sosial dan saya langsung datang ke sini dari hotel,” ungkap Indi.
Di tempat yang sama Kepala Dinas Pariwisata Buleleng I Gede Dody Sukma Oktiva Askara, mengatakan atraksi sampi gerumbungan yang vakum 3 tahun ini akan segera dievaluasi. Agustus mendatang secara khusus akan mengundang kelompok-kelompok sampi gerumbungan untuk diajak temu rasa.
“Karena lama tidak dilaksanakan, tadi ada lampit yang patah karena tidak terpelihara dengan baik. Nah, Agustus kita akan ajak duduk bersama kelompok sampi gerumbungan ini untuk mencari tahu usul, saran, dan masukan ke pemerintah,” kata Dody.
Rencananya untuk menghidupkan kembali sampi gerumbungan, pada Desember mendatang akan digelar parade dan lomba sampi gerumbungan se–Kabupaten Buleleng. Lomba ini akan memperebutkan bibit sampi gerumbungan dengan tujuan pelestarian tradisi. 7 k23
Sampi gerumbungan, menurut Susila, memang sapi-sapi pilihan dan istimewa dan bukan dipilih dari sapi sembarangan. Bakal sampi gerumbungan sudah memiliki ciri khas sejak lahir. Biasanya bibit sampi gerumbungan ini dapat dilihat dari gerakan kaki, ekor, dan kepala.
“Kalau sudah bibit sampi gerumbungan sejak lahir saat menyusu saja ekornya sudah melejit ke atas. Lalu setelah bisa berlari juga larinya beda, biasanya gerak kaki depan agak naik saat berjalan juga lehernya agak menengadah,” terang Susila.
Bibit sampi gerumbungan ini harganya lebih mahal dibanding bibit sapi biasa. Jika bibit sapi biasa Rp 9.000.000 per ekor, bibit sampi gerumbungan bisa sampai Rp 11.000.000 per ekor. Setelah mendapat bibit yang bagus, sapi-sapi ini akan dipelihara secara khusus. Meski tidak lagi dipakai membajak sawah, petani tetap memberikan pakan yang sehat dan bergizi.
Sampi gerumbungan rutin mendapatkan treatment pijatan dan elusan setiap hari dari majikannya. Sapi-sapi ini juga dipastikan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Biasanya akan dijemur saat pagi dan dimandikan pada siang hari. Sapi-sapi ini setelah dilatih dan mendapat perlakukan khusus, akan siap ditampilkan untuk atraksi sampi gerumbungan dari umur 12 bulan ke atas.
Sejauh ini Kelompok Pasupala Desa Lemukih yang dikukuhkan sejak tahun 2010 silam masih bertahan memelihara sampi gerumbungan. Dari 20 orang anggota kelompok, memiliki 6 pasang sampi gerumbungan, selain juga sapi anakan. Namun yang biasa tampil dan mengikuti lomba ada 2 pasang.
“Kami termotivasi karena senang dan sudah mewarisi secara turun temurun saja. Kalau untuk mendapatkan penghasilan dari sini sih tidak seberapa,” kata Susila.
Selain Kelompok Pasupala di Buleleng, keberadaan sampi gerumbungan ada di beberapa lokasi. Buleleng timur ada di Kecamatan Sawan. Perkumpulan kelompok sampi gerumbungan di Buleleng timur ini dikenal dengan nama Baga Sebali yang terdiri dari kelompok asal Desa Sawan, Menyali, Lemukih, Galungan, dan Bebetin.
Sedangkan Buleleng tengah sampi gerumbungan ada di Desa Panji, Desa Sambangan di Kecamatan Sukasada dan Kelurahan Banjar Tegal, Kecamatan Buleleng. Sedangkan Buleleng barat ada di Desa Kaliasem dan Desa Pedawa, Kecamatan Banjar.
Sementara itu dalam atraksi sampi gerumbungan Lovest IX wisatawan juga diberikan kesempatan untuk mencoba sensasi naik sampi gerumbungan. Salah satunya Indi, 14, wisatawan asal Belanda. Dia didampingi ayahnya mengaku pertama kali datang ke Buleleng. Kesempatan mencoba naik sampi gerumbungan menurutnya pengalaman yang sangat seru.
“Ini pertama kali saya ke Bali. Biasanya saya selama liburan hanya pergi ke pantai. Tapi sekarang memiliki pengalaman baru menyaksikan dan mencoba atmosfer kebudayaan Bali. Saya dapat informasi sampi atraksi ini dari media sosial dan saya langsung datang ke sini dari hotel,” ungkap Indi.
Di tempat yang sama Kepala Dinas Pariwisata Buleleng I Gede Dody Sukma Oktiva Askara, mengatakan atraksi sampi gerumbungan yang vakum 3 tahun ini akan segera dievaluasi. Agustus mendatang secara khusus akan mengundang kelompok-kelompok sampi gerumbungan untuk diajak temu rasa.
“Karena lama tidak dilaksanakan, tadi ada lampit yang patah karena tidak terpelihara dengan baik. Nah, Agustus kita akan ajak duduk bersama kelompok sampi gerumbungan ini untuk mencari tahu usul, saran, dan masukan ke pemerintah,” kata Dody.
Rencananya untuk menghidupkan kembali sampi gerumbungan, pada Desember mendatang akan digelar parade dan lomba sampi gerumbungan se–Kabupaten Buleleng. Lomba ini akan memperebutkan bibit sampi gerumbungan dengan tujuan pelestarian tradisi. 7 k23
Komentar