Angkara Murka Tumbang karena Ksatria dan Wong Cilik Bersatu
Dari Gelaran Wayang Kulit Pandawa Syukur oleh DPP PDIP
JAKARTA, NusaBali - Acara Refleksi Kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli) dengan jalan kebudayaan, DPP PDI Perjuangan (PDIP) menggelar pergelaran Wayang Kulit Dalang 3 di Halaman Masjid At-Taufiq (di depan Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta Selatan), Jumat (28/7) malam.
Tiga dalang tersebut adalah Ki Joko Widodo (Joko Klentheng), Ki Puthut Puji Aguseno dan Ki Alek Budi Sabdo Utomo. Mereka membawakan lakon Pandawa Syukur (Sesaji Rojosuyo).
Terdengar lantunan musik pewayangan seolah menyihir para tamu dan masyarakat yang hadir di lokasi. Para sinden bersuara merdu juga membawa suasana gelaran wayang semakin menghibur masyarakat.
Hingga jelang malam, masyarakat sekitar berbondong-bondong untuk menyaksikan gelaran wayang tersebut.
Dalam sambutannya, Hasto mengatakan, bahwa lakon Pandawa Syukur menceritakan tentang ambisi politik seseorang raja yang angkara murka ingin menaklukkan 100 raja. Namun, raja tersebut memiliki geopolitik yang luas untuk menaklukan seorang raja. "Tema yang saya baca terkait dengan ambisi politik seorang raja yang angkara murka ingin menaklukkan 100 raja," ucap Hasto melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (29/7).
Dikutip dari berbagai sumber, lakon Pandawa Syukur menceritakan tentang cerita fiksi yang menggambarkan kisah penaklukkan dan pemenjaraan 97 raja oleh Prabu Jarasanda, Kerajaan Giribaja, yang akan menjadikan 100 orang raja sebagai tumbal. Namun, baru 97 raja yang berhasil dipenjarakan. Menyisakan tiga raja lagi yaitu Puntadewa, Raja Amarta, Kresna, Raja Dwarawati, dan Baladewa, Raja Madura.
Para Pandawa dan dua kerajaan lainnya memutuskan untuk membebaskan raja-raja yang menjadi tawanan Prabu Jarasanda. Setelah melalui pertempuran sengit, Prabu Jarasanda berhasil ditaklukkan. Ke-97 raja yang dijadikan tawanan dibebaskan, sehingga mereka bergabung mengikuti Sesaji Raja Suya sebagai wujud syukur Pandawa yang telah berhasil mendirikan negara Amarta.
Hasto mengatakan, wayang merupakan sebuah ritual kehidupan, yang bisa memberi pelajaran. Antara lain, soal bagaimana bisa mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. "Wayang adalah ritual kehidupan. Di dalam wayang ini kita tidak hanya menangkap seluruh falsafah tentang budi pekerti, tentang tugas satria di dalam melawan angkara murka,” terang Hasto.
Hasto menuturkan, angkara murka bisa diluluhlantahkan ketika seorang ksatria menyatu dengan Punokawan yang merupakan simbol dari rakyat miskin atau Wong Cilik yang terus diperjuangkan oleh PDIP.
Hasto meringkas, bagaimana lakon wayang kali ini menceritakan seorang raja bernama Prabu Jarasanda yang ingin menaklukkan 100 kerajaan. Prabu Jarasanda juga memiliki ambisi kuat. Dia menggunakan jurus devide et impera. “Ini yang juga dilakukan oleh raja yang mempunyai ambisi besar tersebut. Nanti ambisi ini bisa dikalahkan dengan perang tanding.
Jadi dalam cerita wayang, kalau namanya raja punya ambisi caranya dengan perang tanding. Dengan debat, menyampaikan narasi masa depan. Kalau dulu kan perang fisik adu kekuatan, adu kesaktian. Kalau sekarang itu dengan menyampaikan suatu narasi yang baik, suatu ujaran kebenaran, suatu karakter yang baik yang ditampilkan,” cerita Hasto.k22
1
Komentar