Berbahan Natural, Kerajinan Ecoprint Dilirik Wisatawan
DENPASAR, NusaBali.com – Kerajinan Ecoprint diketahui sebagai produk ramah lingkungan yang memiliki nilai jual. Sebab, produk fashion dapat dihasilkan hanya dengan memanfaatkan bahan-bahan alami.
Salah seorang perajin ecoprint asal Comal, Pemalang, Jawa Tengah, Isyarotul Khasanah mengaku belum lama menekuni kerajinan ecoprint. Wanita yang akrab disapa Ana itu mengaku mulai membuat produk ecoprint sejak tahun 2018. Bisnis ini ia tekuni berawal dari kecintaannya kepada produk yang berbau alam.
“Usaha ini sejak tahun 2018 karena saya suka natural-natural. Ecoprint ini dari bahan alam, dari dedaunan, batang, dan bunga juga. Jadi saya suka,” terang Ana saat ditemui di gelaran Mangrove Festival,Mangrove Information Center, Jalan Bypass Ngurah Rai, Suwung Kauh Nomor 21, Pamogan Denpasar Selatan pada Sabtu (29/7/2023) siang.
Sebelum aktif di kerajinan ecoprint, Ana menceritakan sedari kecil dia memang tertarik di dunia fashion dan memiliki ketertarikan dalam industri tekstil itu. Namun, ilmu pembuatan ecoprint baru didapatkannya setelah aktif mengikuti pelatihan.
Sejak tahun 2018, selama satu tahun ia mengikuti pelatihan di Temanggung, Jawa Tengah. Di sanalah dia mendapatkan pelatihan ecoprint dan tertarik untuk mendalaminya. Kemudian, pada tahun 2019, ia menekuni usaha fashion berbahan ecoprint dengan menjadi distributor butik Ramban Ayu cabang Bali.
“Begitu sudah menemukan resep olahan sendiri, saya membuat hak paten dan mengurus legalitasnya. Lalu ikut menjadi distributor usaha Ramban Ayu. Ramban itu artinya ngeramban atau mencari daun, ayu itu ibaratnya cantik,” terangnya.
Dengan memanfaatkan bagian daun atau bunga, kata Ana motif ecoprint bisa ditentukan. Namun untuk warna hasil di media ecoprint diserahkan kembali kepada alam. Sebab, setiap daun atau bunga yang digunakan mengeluarkan hasil yang berbeda. Biasanya ia menggunakan daun dari pohon jati, daun kayu putih, daun afrika, daun paku-pakuan, jarak kebyar, dan lainnya.
“Ecoprint itu ilmunya bukan seperti matematika. Jadi fleksibel, kadang hasilnya surprise gitu,” ungkap wanita yang kini tinggal di Jalan Nusa Kambangan, Denpasar Barat itu.
Untuk kain dan pakaian ecoprint yang dibuatnya, Ana menggunakan metode steam atau kukus. Ada juga yang dikombinasikan dengan teknik lain seperti pounding. Pembuatan ecoprint didahului saat kain putih dicuci untuk menghilangkan sisa lilin saat keluar dari pabrik. Setelah itu, kain diberi formula khusus untuk membuka pori-pori agar daun yang ditempelkan bisa masuk maksimal.
Setelah itu lanjut proses fiksasi. Itu untuk memaksimalkan warna dan cetakan daun yang menempel di kain. Tetap ada warna yang luruh, meski begitu tetap saja warna dan cetakan tetap terlihat di kain.
Lanjut Ana, yang menempel pada media itu adalah tanin dari daun atau bunga yang ditempelkan. Hasil dari proses fiksasi bisa berbeda. Bisa saja warnanya lebih terang, bahkan ada yang natural seperti aslinya.
Produk yang sudah dihasilkannya pun beragam seperti kebaya jawa, baju kaos, tas, daster, topi, tote bag, hingga dompet. Harga yang ditawarkan berbeda-beda. Tergantung dari kelangkaan daun atau bunga, kain, serta motif yang digunakan. Biasanya produk yang ia jual dibanderol dari harga Rp 50 ribu hingga Rp 175 ribu per produk.
“Setiap daun itu mengeluarkan warna yang berbeda. Di sini lebih dominan warna ungu, hijau, kuning, muncul tergantung jenis kain, maupun resep racikannya,” ungkap dia.
Ecoprint bikinannya juga diminati oleh wisatawan mancanegara seperti Rusia, Denmark, Jepang, hingga Korea. Dalam per hari, ia bisa menjual 15 hingga 20 jenis produk. Namun, terangnya yang paling laris adalah produk topi dan tote bag.
“Mereka belinya di online ada juga yang langsung ke store di Jalan Nusa Kambangan Nomor 206 E, Denpasar Barat,” tutupnya. *ris
“Usaha ini sejak tahun 2018 karena saya suka natural-natural. Ecoprint ini dari bahan alam, dari dedaunan, batang, dan bunga juga. Jadi saya suka,” terang Ana saat ditemui di gelaran Mangrove Festival,Mangrove Information Center, Jalan Bypass Ngurah Rai, Suwung Kauh Nomor 21, Pamogan Denpasar Selatan pada Sabtu (29/7/2023) siang.
Sebelum aktif di kerajinan ecoprint, Ana menceritakan sedari kecil dia memang tertarik di dunia fashion dan memiliki ketertarikan dalam industri tekstil itu. Namun, ilmu pembuatan ecoprint baru didapatkannya setelah aktif mengikuti pelatihan.
Sejak tahun 2018, selama satu tahun ia mengikuti pelatihan di Temanggung, Jawa Tengah. Di sanalah dia mendapatkan pelatihan ecoprint dan tertarik untuk mendalaminya. Kemudian, pada tahun 2019, ia menekuni usaha fashion berbahan ecoprint dengan menjadi distributor butik Ramban Ayu cabang Bali.
“Begitu sudah menemukan resep olahan sendiri, saya membuat hak paten dan mengurus legalitasnya. Lalu ikut menjadi distributor usaha Ramban Ayu. Ramban itu artinya ngeramban atau mencari daun, ayu itu ibaratnya cantik,” terangnya.
Dengan memanfaatkan bagian daun atau bunga, kata Ana motif ecoprint bisa ditentukan. Namun untuk warna hasil di media ecoprint diserahkan kembali kepada alam. Sebab, setiap daun atau bunga yang digunakan mengeluarkan hasil yang berbeda. Biasanya ia menggunakan daun dari pohon jati, daun kayu putih, daun afrika, daun paku-pakuan, jarak kebyar, dan lainnya.
“Ecoprint itu ilmunya bukan seperti matematika. Jadi fleksibel, kadang hasilnya surprise gitu,” ungkap wanita yang kini tinggal di Jalan Nusa Kambangan, Denpasar Barat itu.
Untuk kain dan pakaian ecoprint yang dibuatnya, Ana menggunakan metode steam atau kukus. Ada juga yang dikombinasikan dengan teknik lain seperti pounding. Pembuatan ecoprint didahului saat kain putih dicuci untuk menghilangkan sisa lilin saat keluar dari pabrik. Setelah itu, kain diberi formula khusus untuk membuka pori-pori agar daun yang ditempelkan bisa masuk maksimal.
Setelah itu lanjut proses fiksasi. Itu untuk memaksimalkan warna dan cetakan daun yang menempel di kain. Tetap ada warna yang luruh, meski begitu tetap saja warna dan cetakan tetap terlihat di kain.
Lanjut Ana, yang menempel pada media itu adalah tanin dari daun atau bunga yang ditempelkan. Hasil dari proses fiksasi bisa berbeda. Bisa saja warnanya lebih terang, bahkan ada yang natural seperti aslinya.
Produk yang sudah dihasilkannya pun beragam seperti kebaya jawa, baju kaos, tas, daster, topi, tote bag, hingga dompet. Harga yang ditawarkan berbeda-beda. Tergantung dari kelangkaan daun atau bunga, kain, serta motif yang digunakan. Biasanya produk yang ia jual dibanderol dari harga Rp 50 ribu hingga Rp 175 ribu per produk.
“Setiap daun itu mengeluarkan warna yang berbeda. Di sini lebih dominan warna ungu, hijau, kuning, muncul tergantung jenis kain, maupun resep racikannya,” ungkap dia.
Ecoprint bikinannya juga diminati oleh wisatawan mancanegara seperti Rusia, Denmark, Jepang, hingga Korea. Dalam per hari, ia bisa menjual 15 hingga 20 jenis produk. Namun, terangnya yang paling laris adalah produk topi dan tote bag.
“Mereka belinya di online ada juga yang langsung ke store di Jalan Nusa Kambangan Nomor 206 E, Denpasar Barat,” tutupnya. *ris
1
Komentar