Lelaki Tarikan Legong Gaya Peliatan
Lelaki yang pentaskan Tari Legong harus kuat hati karena kerap dicap bancih di masyarakat.
DENPASAR, NusaBali
Seniman dari Sanggar Balerung Mandera Srinertya Wardita pentaskan Taru Legong di Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIX, Kalangan Ayodya Taman Budaya Balu, Rabu (28/6). Tarian ini dibawakan dengan gemulai oleh laki-laki.
Salah satu penari, Dewa Nyoman Irawan mengaku menari legong bagi kaum laki-laki menjadi sebuah tantangan. Ini tidak terlepas dari kelenturan dan pembedaharaan gerakannya, serta teknik-teknik dan latihan khusus. “Tapi tiang karena memang penari dari kecil tidak begitu susah belajar dasar-dasarnya. Cuma yang berat bagi kita adalah saat mengatur tenaga karena dorongan emosi dari dalam dengan durasi tarian yang cukup lama,” ungkap Dewa Irawan.
Meski Legong ditarikan oleh laki-laki masih kurang populer, Dewa Irawan mengaku tidak canggung menarikannya. Dia juga mengaku tidak pedulikan pendapat orang tentang lelaki yang menari Legong. Baginya, Legong bisa ditarikan siapa saja, yang penting menunjukkan kualitas sebagai seniman di dalamnya. “Memang harus kuat hati untuk menjawab perkataan orang-orang seperti itu. Dibilang bancih dan bencong. Sebagai seniman tiang tidak terpengaruh anggapan itu, karena kita berniat menunjukkan kualitas diri sebagai seorang seniman,” tegasnya.
Sore itu ada dua tari Legong yang disajikan. Satu di antaranya adalah tari Legong klasik Lasem gaya Peliatan Ubud yang ditampilkan secara utuh berdurasi sekitar 50 menit. Menurut pimpinan sanggar, AA Gede Oka Dalem mengatakan, sangat jarang tari Legong klasik ditampilkan secara utuh. “Legong Peliatan secara utuh memang sudah jarang dimainkan. Kalau secara komersial, selalu dituntut durasi, makin lama ini bisa hilang. Kami punya misi menyelamatkan ini,” ungkapnya.
Kiprah Legong dengan style Peliatan, Ubud dimulai dari ayahnya, AA Gede Mandera sekitar tahun 1928. Tidak berlangsung lama, pada tahun 1931 ayahnya berhasil membawa misi kesenian ini hingga ke Paris. “Legong lanang ini sebagai motivasi, membangkitkan generasi muda agar tidak tabu menarikan, terutama yang punya tari dengan gaya daerah masing-masing, supaya tidak kehilangan ciri khasnya,” imbuhnya.
Sementara tari Legong lainnya berjudul Legong Indramaya merupakan tarian yang ditujukan untuk merespon tema PKB Ulundanu. Legong Indramaya mengisahkan Indramaya terkait dengan tema PKB garapan yang menceritakan kesombongan Mayadenawa yang akhirnya terbunuh dan darahnya mengotori aliran sungai Petanu. Dewa Indra pun melebur dengan tirta, yang menjadi mitologi tempat penyucian diri Tirta Empul di Tampaksiring. “Kalau dibawa ke zaman sekarang, air yang kotor dan sudah tercemar kan tidak bisa dipakai, sehingga masyarakat wajib menjaga kesucian air,” katanya. Selain tari Legong, untuk menambah semarak suasana ditampilkan pula tari Terompong dan Kebyar Duduk untuk melengkapi dua tarian Legong itu. *in
Salah satu penari, Dewa Nyoman Irawan mengaku menari legong bagi kaum laki-laki menjadi sebuah tantangan. Ini tidak terlepas dari kelenturan dan pembedaharaan gerakannya, serta teknik-teknik dan latihan khusus. “Tapi tiang karena memang penari dari kecil tidak begitu susah belajar dasar-dasarnya. Cuma yang berat bagi kita adalah saat mengatur tenaga karena dorongan emosi dari dalam dengan durasi tarian yang cukup lama,” ungkap Dewa Irawan.
Meski Legong ditarikan oleh laki-laki masih kurang populer, Dewa Irawan mengaku tidak canggung menarikannya. Dia juga mengaku tidak pedulikan pendapat orang tentang lelaki yang menari Legong. Baginya, Legong bisa ditarikan siapa saja, yang penting menunjukkan kualitas sebagai seniman di dalamnya. “Memang harus kuat hati untuk menjawab perkataan orang-orang seperti itu. Dibilang bancih dan bencong. Sebagai seniman tiang tidak terpengaruh anggapan itu, karena kita berniat menunjukkan kualitas diri sebagai seorang seniman,” tegasnya.
Sore itu ada dua tari Legong yang disajikan. Satu di antaranya adalah tari Legong klasik Lasem gaya Peliatan Ubud yang ditampilkan secara utuh berdurasi sekitar 50 menit. Menurut pimpinan sanggar, AA Gede Oka Dalem mengatakan, sangat jarang tari Legong klasik ditampilkan secara utuh. “Legong Peliatan secara utuh memang sudah jarang dimainkan. Kalau secara komersial, selalu dituntut durasi, makin lama ini bisa hilang. Kami punya misi menyelamatkan ini,” ungkapnya.
Kiprah Legong dengan style Peliatan, Ubud dimulai dari ayahnya, AA Gede Mandera sekitar tahun 1928. Tidak berlangsung lama, pada tahun 1931 ayahnya berhasil membawa misi kesenian ini hingga ke Paris. “Legong lanang ini sebagai motivasi, membangkitkan generasi muda agar tidak tabu menarikan, terutama yang punya tari dengan gaya daerah masing-masing, supaya tidak kehilangan ciri khasnya,” imbuhnya.
Sementara tari Legong lainnya berjudul Legong Indramaya merupakan tarian yang ditujukan untuk merespon tema PKB Ulundanu. Legong Indramaya mengisahkan Indramaya terkait dengan tema PKB garapan yang menceritakan kesombongan Mayadenawa yang akhirnya terbunuh dan darahnya mengotori aliran sungai Petanu. Dewa Indra pun melebur dengan tirta, yang menjadi mitologi tempat penyucian diri Tirta Empul di Tampaksiring. “Kalau dibawa ke zaman sekarang, air yang kotor dan sudah tercemar kan tidak bisa dipakai, sehingga masyarakat wajib menjaga kesucian air,” katanya. Selain tari Legong, untuk menambah semarak suasana ditampilkan pula tari Terompong dan Kebyar Duduk untuk melengkapi dua tarian Legong itu. *in
Komentar