Publisher Rights Jadi Topik Hangat Dialog Nasional SPS di Bali
DENPASAR, NusaBali - Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Budi Arie Setiadi menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap perkembangan media konvensional.
Keberpihakan itu teraktualisasi dalam dua Rancangan Peraturan Presiden (Perpres), yakni Rancangan Perpres tentang Kerja Sama Perusahaan Platform Digital dengan Perusahaan Pers untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas serta Rancangan Perpres tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau Publisher Rights.
“Publisher rights ini akan menjadi regulasi untuk menciptakan ekosistem pers yang sehat dan berkualitas,” ujar Menkominfo Budi Arie Setiadi yang hadir secara virtual dalam Dialog Nasional Serikat Perusahan Pers (SPS) bertajuk ‘Transformasi Industri Media Untuk Bangkit Bersama’ serangkaian memperingati HUT ke-77 SPS di Harris Hotel & Convention Denpasar, Kamis (10/8).
Menurutnya, media konvesional saat ini masih menjadi sumber literasi di masyarakat. Untuk itu, pemerintah dengan meminta masukan dari berbagai pihak, terutama kalangan pers merancang regulasi untuk melindungi sekaligus menciptakan ekosistem pers yang sehat dan berkualitas tersebut.
Sementara Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli mengungkapkan Publisher Rights muncul dari kecemasan hubungan yan tak setara antara publisher (media) dengan platform digital. “Kualitas jurnalistik di era saat ini menurun akibat tuntutan kecepatan informasi dan sistem algoritma,” ujarnya. Arif melihat jurnalisme saat ini hanya permukaan, tidak ada kedalaman. Padahal jurnalisme yang baik adalah yang mengedepankan kedalaman. Menurutnya, Publisher Rights ini sudah diterapkan di sejumlah negara. Untuk itu, di Indonesia gagasan ini pun muncul dengan tujuan untuk menciptakan pers yang berkualitas. “Media atau publisher harus bisa bernegosiasi dengan platform digital,” ungkap CEO Tempo Inti Media Tbk ini.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dewa Made Indra yang menjadi pembicara dalam dialog nasional ini mendorong perusahaan media konvensional yang tergabung dalam wadah Serikat Perusahaan Pers (SPS) untuk meningkatkan kolaborasi dan sinergitas. Mengutip teori dromologi hasil pemikiran filsuf Paul Virilio, Dewa Indra mengatakan dromologi berarti semesta berpikir yang didasarkan pada prinsip kecepatan. Menurut Dewa Indra, mengacu pada teori itu, saat ini dunia tengah dikuasai oleh fenomena kecepatan.
“Semua minta serba cepat, termasuk informasi. Kalau tidak cepat, seolah kita merasa akan ketinggalan,” ujarnya. Hal itu kemudian memicu pertarungan realitas dan virtual. Jika dicermati, saat ini kehidupan post modern dikuasai kehendak virtual. Ia lantas mencontohkan adanya kecenderungan mencitrakan diri sebagai orang kaya, baik hati, cantik dan rupawan di ruang virtual. “Padahal secara aktual belum tentu demikian. Kita sering tertipu oleh hal-hal yang tersaji secara virtual,” imbuhnya.
Bertolak dari teori dromologi, ia berpendapat kalau fenomena kecepatan itu juga membawa implikasi pada dunia pers. Kemunculan medsos dan media berplatform digital yang menawarkan kecepatan dalam penyebaran informasi menjadi tantangan yang harus dihadapi media konvensional seperti televisi dan surat kabar. Dewa Indra berharap, perusahaan pers yang mengelola media konvensional tak cengeng dalam menghadapi fenomena ini.
“Hadapi tantangan ini dengan beradaptasi, meningkatkan kolaborasi dan susun strategi bersama agar bisa tetap survive,” cetusnya. Namun dalam beradaptasi, pengelola media konvensional diingatkan tetap berpedoman pada kaidah jurnalistik sehingga tetap bisa menjadi media arus utama yang menyajikan karya jurnalistik berkualitas.
Sedangkan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengingatkan media konvensional mampu mengadopsi perkembangan teknologi agar bisa tetap bertahan. Namun demikian, media konvensional juga diingatkan agar tetap menjaga karya jurnalistik agar selalu kualitas. Sementara itu, Ketua Umum Serikat Penerbitan Pers (SPS), Januar P Ruswita menyampaikan bahwa dalam 10 tahun belakangan media digital berkembang sangat pesat dan berimbas pada keberadaan media konvensional. “Imbasnya sangat terasa, banyak yang terpaksa tutup karena tak mampu bertahan baik karena alasan ekonomi maupun kesulitan adaptasi teknologi,” ucapnya. Oleh sebab itu, ia mengajak perusahaan pers yang tergabung dalam wadah SPS mengubah model bisnis agar terhubung dalam ekosistem digital, namun tetap berada dalam koridor jurnalistik. “Beradaptasi bukan berarti kita mengikuti sepenuhnya pola platform media digital. Itu nanti akan menjadi ancaman bagi misi suci pers dalam membangun karakter bangsa,” ujarnya.
Januar menambahkan, dialog nasional serangkaian HUT ke-77 SPS menjadi momentum bertemu dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membangun jalan bersama. Ditambahkan olehnya, SPS yang saat ini beranggotakan 538 perusahaan media akan terus menyerukan penyelamatan pers sebagai warisan bangsa, menjalankan fungsi yang baik dan bermakna. 7 cr78
“Publisher rights ini akan menjadi regulasi untuk menciptakan ekosistem pers yang sehat dan berkualitas,” ujar Menkominfo Budi Arie Setiadi yang hadir secara virtual dalam Dialog Nasional Serikat Perusahan Pers (SPS) bertajuk ‘Transformasi Industri Media Untuk Bangkit Bersama’ serangkaian memperingati HUT ke-77 SPS di Harris Hotel & Convention Denpasar, Kamis (10/8).
Menurutnya, media konvesional saat ini masih menjadi sumber literasi di masyarakat. Untuk itu, pemerintah dengan meminta masukan dari berbagai pihak, terutama kalangan pers merancang regulasi untuk melindungi sekaligus menciptakan ekosistem pers yang sehat dan berkualitas tersebut.
Sementara Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli mengungkapkan Publisher Rights muncul dari kecemasan hubungan yan tak setara antara publisher (media) dengan platform digital. “Kualitas jurnalistik di era saat ini menurun akibat tuntutan kecepatan informasi dan sistem algoritma,” ujarnya. Arif melihat jurnalisme saat ini hanya permukaan, tidak ada kedalaman. Padahal jurnalisme yang baik adalah yang mengedepankan kedalaman. Menurutnya, Publisher Rights ini sudah diterapkan di sejumlah negara. Untuk itu, di Indonesia gagasan ini pun muncul dengan tujuan untuk menciptakan pers yang berkualitas. “Media atau publisher harus bisa bernegosiasi dengan platform digital,” ungkap CEO Tempo Inti Media Tbk ini.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dewa Made Indra yang menjadi pembicara dalam dialog nasional ini mendorong perusahaan media konvensional yang tergabung dalam wadah Serikat Perusahaan Pers (SPS) untuk meningkatkan kolaborasi dan sinergitas. Mengutip teori dromologi hasil pemikiran filsuf Paul Virilio, Dewa Indra mengatakan dromologi berarti semesta berpikir yang didasarkan pada prinsip kecepatan. Menurut Dewa Indra, mengacu pada teori itu, saat ini dunia tengah dikuasai oleh fenomena kecepatan.
“Semua minta serba cepat, termasuk informasi. Kalau tidak cepat, seolah kita merasa akan ketinggalan,” ujarnya. Hal itu kemudian memicu pertarungan realitas dan virtual. Jika dicermati, saat ini kehidupan post modern dikuasai kehendak virtual. Ia lantas mencontohkan adanya kecenderungan mencitrakan diri sebagai orang kaya, baik hati, cantik dan rupawan di ruang virtual. “Padahal secara aktual belum tentu demikian. Kita sering tertipu oleh hal-hal yang tersaji secara virtual,” imbuhnya.
Bertolak dari teori dromologi, ia berpendapat kalau fenomena kecepatan itu juga membawa implikasi pada dunia pers. Kemunculan medsos dan media berplatform digital yang menawarkan kecepatan dalam penyebaran informasi menjadi tantangan yang harus dihadapi media konvensional seperti televisi dan surat kabar. Dewa Indra berharap, perusahaan pers yang mengelola media konvensional tak cengeng dalam menghadapi fenomena ini.
“Hadapi tantangan ini dengan beradaptasi, meningkatkan kolaborasi dan susun strategi bersama agar bisa tetap survive,” cetusnya. Namun dalam beradaptasi, pengelola media konvensional diingatkan tetap berpedoman pada kaidah jurnalistik sehingga tetap bisa menjadi media arus utama yang menyajikan karya jurnalistik berkualitas.
Sedangkan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengingatkan media konvensional mampu mengadopsi perkembangan teknologi agar bisa tetap bertahan. Namun demikian, media konvensional juga diingatkan agar tetap menjaga karya jurnalistik agar selalu kualitas. Sementara itu, Ketua Umum Serikat Penerbitan Pers (SPS), Januar P Ruswita menyampaikan bahwa dalam 10 tahun belakangan media digital berkembang sangat pesat dan berimbas pada keberadaan media konvensional. “Imbasnya sangat terasa, banyak yang terpaksa tutup karena tak mampu bertahan baik karena alasan ekonomi maupun kesulitan adaptasi teknologi,” ucapnya. Oleh sebab itu, ia mengajak perusahaan pers yang tergabung dalam wadah SPS mengubah model bisnis agar terhubung dalam ekosistem digital, namun tetap berada dalam koridor jurnalistik. “Beradaptasi bukan berarti kita mengikuti sepenuhnya pola platform media digital. Itu nanti akan menjadi ancaman bagi misi suci pers dalam membangun karakter bangsa,” ujarnya.
Januar menambahkan, dialog nasional serangkaian HUT ke-77 SPS menjadi momentum bertemu dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membangun jalan bersama. Ditambahkan olehnya, SPS yang saat ini beranggotakan 538 perusahaan media akan terus menyerukan penyelamatan pers sebagai warisan bangsa, menjalankan fungsi yang baik dan bermakna. 7 cr78
Komentar