Ungkap Dinamika Masyarakat Bali
‘Catatan Jurnalistik Mencari Kitab Suci’ Diluncurkan
DENPASAR, NusaBali - Buku berjudul ‘Catatan Jurnalistik Mencari Kitab Suci’ karya wartawan senior, I Gusti Ngurah Wisnu Wardana menarik untuk dibaca.
Buku berisi ‘catatan’ Wisnu terhadap dinamika masyarakat Bali selama hampir 50 tahun perjalanan karir jurnalistiknya diluncurkan di Denpasar, Jumat (11/8).
Wisnu mengatakan, Bali sudah banyak berubah dari waktu ke waktu. Contohnya dari segi kriminalitas. Pada tahun 1970-an berita kriminal sangat jarang ditemui. Tapi saat ini justru mendominasi. "Tahun tujuh puluhan mencari berita kriminal sangat sulit. Bali saat itu masih kuning (kondisi aman,red). Namun di tahun sembilan puluhan sudah berubah merah, berita kriminal makin banyak seperti jambret, perampokan dan lain-lain. Dan tahun 2000-an sudah hitam, hitam setelah bom Bali meledak di Bali dan sejumlah kasus kriminal lainnya," ujar Wisnu.
Kata mencari kitab suci dalam judul digunakan Wisnu untuk menggambarkan perjalanannya meliput peristiwa yang bak mencari kitab suci. Namun pada akhirnya dia menemukan bahwa kitab suci tersebut ternyata ada dalam diri masing-masing orang.
Dia juga sengaja memilih judul bernuansa perjalanan spiritual. Karena sebagai orang Bali, dia mengaku tak bisa melepaskan diri dari religiusitas dan tradisi keagamaan yang kuat. “Mencari kitab suci dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari makna di balik simbol dan tradisi dalam kehidupan orang Bali,” ujar Wisnu.
Menurut wartawan yang sejak tahun 1970-an menulis bidang pariwisata tersebut, Agama Hindu Bali tidak menitikberatkan kitab sucinya pada sebuah bahasa yang tertulis, walaupun kitab semacam juga tersedia dalam bentuk tulisan lontar dan kitab Weda. Lebih dari itu, pedoman beragama Hindu di Bali dapat disimak dalam tutur, laku, dan tradisi yang diwariskan leluhur Bali. “Jadi kita belajar memaknai dari apa yang ada dalam simbol-simbol, seperti penjor, canang dan berbagai persembahan lainnya,” sebut Wisnu.
Melalui bukunya ini Wisnu ingin masyarakat Bali tetap menjaga keharmonisan Bali melalui ajaran Tri Hita Karana. “Harus ada keseimbangan antara hubungan manusia dengan sesamanya, dengan lingkungan dan dengan Tuhan,” katanya.
Alasan itulah yang menyebabkan Wisnu menggagas Tri Hita Karana (THK) Award pada tahun 2000 silam. THK Award diberikan untuk pelaku pariwisata yang dinilai dapat menjaga ketiga hubungan tersebut. Tolok ukurnya pun semakin berkembang seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi.
Menanggapi peluncuran buku tersebut, guru besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Prof Dr Ketut Sumadi menyatakan bahwa refleksi pemikiran seorang wartawan sangat diperlukan karena sudah pasti berbasis pada kenyataan yang ditemui di lapangan.
Profesi wartawan, sebut dia, selayaknya juga menjadi guru bagi masyarakat melalui berita yang disampaikan. Di sisi lain, tradisi di Bali pun memerlukan orang-orang yang mampu menerjemahkan dan menginformasikan kepada masyarakat luas sehingga dipahami bukan hanya oleh orang Bali tetapi juga masyarakat dunia yang datang ke Bali. cr78.
Wisnu mengatakan, Bali sudah banyak berubah dari waktu ke waktu. Contohnya dari segi kriminalitas. Pada tahun 1970-an berita kriminal sangat jarang ditemui. Tapi saat ini justru mendominasi. "Tahun tujuh puluhan mencari berita kriminal sangat sulit. Bali saat itu masih kuning (kondisi aman,red). Namun di tahun sembilan puluhan sudah berubah merah, berita kriminal makin banyak seperti jambret, perampokan dan lain-lain. Dan tahun 2000-an sudah hitam, hitam setelah bom Bali meledak di Bali dan sejumlah kasus kriminal lainnya," ujar Wisnu.
Kata mencari kitab suci dalam judul digunakan Wisnu untuk menggambarkan perjalanannya meliput peristiwa yang bak mencari kitab suci. Namun pada akhirnya dia menemukan bahwa kitab suci tersebut ternyata ada dalam diri masing-masing orang.
Dia juga sengaja memilih judul bernuansa perjalanan spiritual. Karena sebagai orang Bali, dia mengaku tak bisa melepaskan diri dari religiusitas dan tradisi keagamaan yang kuat. “Mencari kitab suci dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari makna di balik simbol dan tradisi dalam kehidupan orang Bali,” ujar Wisnu.
Menurut wartawan yang sejak tahun 1970-an menulis bidang pariwisata tersebut, Agama Hindu Bali tidak menitikberatkan kitab sucinya pada sebuah bahasa yang tertulis, walaupun kitab semacam juga tersedia dalam bentuk tulisan lontar dan kitab Weda. Lebih dari itu, pedoman beragama Hindu di Bali dapat disimak dalam tutur, laku, dan tradisi yang diwariskan leluhur Bali. “Jadi kita belajar memaknai dari apa yang ada dalam simbol-simbol, seperti penjor, canang dan berbagai persembahan lainnya,” sebut Wisnu.
Melalui bukunya ini Wisnu ingin masyarakat Bali tetap menjaga keharmonisan Bali melalui ajaran Tri Hita Karana. “Harus ada keseimbangan antara hubungan manusia dengan sesamanya, dengan lingkungan dan dengan Tuhan,” katanya.
Alasan itulah yang menyebabkan Wisnu menggagas Tri Hita Karana (THK) Award pada tahun 2000 silam. THK Award diberikan untuk pelaku pariwisata yang dinilai dapat menjaga ketiga hubungan tersebut. Tolok ukurnya pun semakin berkembang seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi.
Menanggapi peluncuran buku tersebut, guru besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Prof Dr Ketut Sumadi menyatakan bahwa refleksi pemikiran seorang wartawan sangat diperlukan karena sudah pasti berbasis pada kenyataan yang ditemui di lapangan.
Profesi wartawan, sebut dia, selayaknya juga menjadi guru bagi masyarakat melalui berita yang disampaikan. Di sisi lain, tradisi di Bali pun memerlukan orang-orang yang mampu menerjemahkan dan menginformasikan kepada masyarakat luas sehingga dipahami bukan hanya oleh orang Bali tetapi juga masyarakat dunia yang datang ke Bali. cr78.
Komentar