Bawaslu Bedah Politik Uang Jelang Pemilu 2024
Persoalan lain dalam mengungkap politik uang adalah minimnya bukti dan saksi dalam laporan. Sehingga tindak lanjut laporan kurang optimal dan berhenti di tengah jalan.
BANDUNG, NusaBali
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) memaparkan beragam cara politik uang yang patut diantisipasi menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty menjelaskan bahwa peluncuran itu didasarkan pada semakin beragamnya modus operandi politik uang, tetapi regulasi yang ada tidak mengalami perubahan.
“Kenapa Bawaslu harus bikin soal IKP (indeks kerawanan pemilu) dengan spesifik isu adalah soal politik uang? Karena memang Bawaslu bertugas untuk mencegah terjadinya politik uang,” kata Lolly dalam Peluncuran Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 Isu Strategis Politik Uang, di Bandung, Jawa Barat, Minggu (13/8/2023).
Salah satu tugas Bawaslu adalah mencegah terjadinya praktik politik uang seperti tercantum dalam Pasal 93 huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Untuk itu, modus operandi politik uang yang beragam memerlukan fleksibilitas, adaptasi cepat serta strategi yang tepat agar Bawaslu mampu melakukan pencegahan secara maksimal.
“Oleh karena itu, pemetaan kerawanan, kemudian berupaya mencegah dengan mengelompokkan kerawanan dalam kategori modusnya apa, pelakunya siapa, dan wilayahnya di mana,” ujarnya.
Berdasarkan pemetaan tersebut, provinsi paling rawan dengan isu politik uang adalah Maluku Utara (100), diikuti empat provinsi di bawahnya, yakni Lampung (55,56), Jawa Barat (50), Banten (44,44), dan Sulawesi Utara (38,89).
Namun, jika dilihat berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara.
Sementara itu, Kabupaten Jayawijaya, Papua, menduduki urutan pertama kabupaten dengan kerawanan isu politik uang paling tinggi, disusul Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, dan Kabupaten Lampung Tengah, Lampung.
Berkaca dari penyelenggaraan Pemilu 2019 sampai Pilkada 2020, Lolly membagi modus politik uang ke dalam tiga bentuk, yakni memberi langsung, memberi barang, dan memberi janji. Modus memberi langsung itu salah satunya berupa pembagian uang, voucher, atau uang digital dengan imbalan memilih.
“Yang nominalnya Rp 20.000 sampai Rp 200.000. Murah ya? Padahal buat masa depan Indonesia,” tambah Lolly.
Dia menerangkan modus memberi barang antara lain dilakukan dengan cara pembagian alat ibadah, bahan bangunan, kompor gas, hadiah lomba, sampai alat mesin rumput. Sementara modus memberi janji berupa menjanjikan imbalan, uang, atau barang saat di masa tenang.
Lolly menyebutkan ada empat pelaku politik uang, mulai dari kandidat, tim sukses/kampanye, aparatur sipil negara (ASN), penyelenggara adhoc, simpatisan/pendukung.
Anggota KPU RI Parsadaan Harahap mengatakan pemetaan isu politik uang oleh Bawaslu bakal menjadi ukuran dan referensi bagi pihaknya sebagai penyelenggara negara.
Dia berpendapat pemetaan isu strategis politik uang diperlukan, lantaran praktik tersebut semakin variatif dan mencederai demokrasi.
“Bentuk-bentuknya sangat variatif, dari yang bentuknya konvensional sampai yang sifatnya sudah mengarah ke kejahatan kerah putih,” ucap Parsadaan.
Bahkan, dengan kecanggihan dan praktik politik uang yang semakin terstruktur dan masif, penyelenggara pemilu kerap kesulitan melakukan pembuktiannya.
Oleh karena itu, KPU menekankan pentingnya kolaborasi bersama untuk mencegah politik uang.
Sementara itu, anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI Ratna Dewi Pettalolo menyoroti daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi sebagai tempat yang paling marak terjadi politik uang.
Dia menyebut partisipasi masyarakat pada hari pemungutan suara bakal kecil tanpa politik uang. “Beberapa daerah yang memiliki kantong kemiskinan, angka kemiskinan yang tinggi itu perlu pendekatan-pendekatan khusus guna mencegah praktik politik uang,” kata Dewi.
Untuk itu, Bawaslu tengah berupaya menjalin kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mencegah politik uang elektronik menjelang Pemilu 2024.
“Bawaslu sedang menjajaki dan berupaya sejak awal 2023 untuk membangun kolaborasi, kesepahaman bersama dengan PPATK dan OJK, karena situasi hari ini soal transaksi elektronik menjadi sesuatu tantangan nyata dan kita harus punya strategi mencegahnya,” ujar Lolly.
Berdasarkan pemetaan Bawaslu, terungkap fenomena maraknya praktik politik uang secara elektronik menjadi sinyal ancaman bahaya, hal itu semakin meningkat dalam pemilu mendatang.
“Dengan praktik politik uang secara langsung saja tidak mudah dilawan, apalagi dengan praktik elektronik,” ucapnya.
Dia mengungkapkan pencegahan melalui kampanye terbuka dengan memberi pesan bahwa pemberian uang secara elektronik adalah bagian dari pelanggaran pemilu yang harus digalakkan di tingkat masyarakat.
Sebab, semakin beragamnya modus atau cara pemberian uang atau barang, maka langkah-langkah pencegahan dituntut lebih masif dan adaptif dengan perubahan zaman.
Persoalan lain dalam mengungkap politik uang adalah minimnya bukti dan saksi dalam laporan politik uang. Sehingga tindak lanjut laporan kurang optimal dan berhenti di tengah jalan. 7 ant.
1
Komentar