Prosa Gerilya, Kisah Perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan Cikal Bakal Pariwisata Bali
MANGUPURA, NusaBali.com - Biasanya buku sejarah dikemas dengan bahasa yang berat, namun buku bertajuk Prosa Gerilya karya Andre Syahreza mengulik kisah perjuangan pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai seperti novel.
Dalam Prosa Gerilya, Andre menceritakan karya tersebut adalah karya spontanitas saat dirinya melihat patung I Gusti Ngurah Rai. Sebelum memutuskan membuat karya buku sejarah tersebut, awalnya ia membuat buku biografi Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa dan Panglima Kodam III Siliwangi Mayjen Nugroho Budi Wiryanto.
“Saat saya melihat patung itu saya mulai mengerti bahwa beliau (Ngurah Rai) tentara. Akhirnya saya ingin memanusiakan patungnya bagaimana cerita figur di dalam patung itu ketika dia masih menjadi manusia,” terang Andre ditemui di Apurva Kempinski Bali, Nusa Dua, Badung, Kamis (17/8/2023) siang.
“Saat saya melihat patung itu saya mulai mengerti bahwa beliau (Ngurah Rai) tentara. Akhirnya saya ingin memanusiakan patungnya bagaimana cerita figur di dalam patung itu ketika dia masih menjadi manusia,” terang Andre ditemui di Apurva Kempinski Bali, Nusa Dua, Badung, Kamis (17/8/2023) siang.
Andre juga menerangkan, dirinya tidak memandang Ngurah Rai semata-mata hanya menjadi seorang pahlawan, melainkan sebagai orang Bali dan juga tentara.
Apalagi Andre dibuat tercengang, ketika ia menyambangi Museum Margarana dan melihat jaket milik I Gusti Ngurah Rai. Saat ia melihat jaket itu, ia bergumam Ngurah Rai secara fisik memiliki postur tubuh yang kecil, tetapi memiliki nyali yang besar dan kisah hidupnya besar. Sehingga saat itu ia mantap untuk membuat sebuah cerita kisah lalu Ngurah Rai yang merepresentatifkan ke masa kini atau masa sekarang.
Mantan jurnalis ini menilai menulis sebuah karya penulisan sejarah adalah PR baginya. Sebab, penulisan kali ini terang dia sangat berbeda dari kesehariannya sebagai penulis sastra dengan pariwisata.
Pada akhirnya, dengan niat yang tulus, ia pun mulai mempelajari sebuah sejarah, membaca referensi Ngurah Rai dan lainnya. Karena aspek sastra dan aspek wisata, adalah makanan sehari-hari baginya, namun dalam penulisan kisah Ngurah Rai pun, kata Andre dia harus berhati-hati karena itu bidang yang belum pernah ia geluti.
Pembuatan karya buku bertajuk Prosa Gerilya pun terangnya memakan cukup banyak waktu yakni selama dua tahun proses penulisan. Mulai dari proses kreatif selama 6 bulan, lalu mengalami masa distract dan tahapan paling lama terang dia saat menulis bagian bab satu karena harus menemukan sudut ceritanya.
Prosa Gerilya yang dirilis
oleh Proxy Media ini merupakan buku keempat Andre Syahreza setelah 13 tahun rehat dalam menulis buku. Ia sendiri enggan menempatkan buku ini dalam genre tertentu.
oleh Proxy Media ini merupakan buku keempat Andre Syahreza setelah 13 tahun rehat dalam menulis buku. Ia sendiri enggan menempatkan buku ini dalam genre tertentu.
“Sebagai pelaku penulis kalau ini saya tidak senang di kotak-kotakin genre gitu. Karena genre itu menurut saya kebutuhan jurnalistik. Saya rasa penetapan genre itu terserah yang baca, kalau masuk ke toko buku harus ada genre mungkin masuk ke genre sejarah. Tetapi tidak juga karena ada sastranya,” ungkapnya.
Soal pemilihan judul pun, terangnya mengalami perubahan. Awalnya, Andre ingin judul karyanya lebih ke arah life style, karena market yang ingin ia sasar adalah generasi milenial atau Gen Z.
Tuturnya, saat itu ia mengambil judul ‘nyeleneh’ yang awalnya semacam ‘Bersantai Bersama Ngurah Rai di Tepi Pantai’. Namun setelah karyanya disebar ke rekan-rekannya , ia pun mendapat masukan jika judul awal tersebut terlalu ringan atau terkesan kurang menghargai pahlawan. Sehingga pada akhirnya ia menerima masukan para rekannya itu dan mengganti judul awal tersebut.
“Akhirnya saya menonjolkan lebih ke sastra karena ada tiga elemen di buku ini yaitu sastra, sejarah, dan wisata. Namun judulnya diambil dari aspek sastranya. Jadi saya berikan judul Prosa Gerilya,” tutur pria alumni Universitas Udayana itu.
Selama proses penulisan pun, terang Andre dirinya mengalami beberapa kendala. Seperti ketika dirinya pergi ke lokasi yang dikunjungi oleh Ngurah Rai saat gerilya yakni desa-desa yang menjadi detik-detik pertempuran Ngurah Rai.
Meski tidak semua desa bisa Andre singgahi, tetapi ada beberapa titik yang ia tuju salah satunya daerah Tanah Aron yang berlokasi di kaki Gunung Agung dan medannya tidak mudah untuk dijelajahi.
Selain itu, ia mengalami kendala saat mewawancarai cucu Ngurah Rai yang sudah tua, sehingga ia terkendala dalam penggunaan bahasa Bali karena aksen yang berbeda. Namun kendala terbesar yang ia alami adalah membuat konsep penulisan. Sampai akhirnya ia membuat konsep yang harus direalisasikan dengan masa sekarang, sehingga seluruh alur cerita dapat berkesinambungan tanpa terjeda.
“Prosa Gerilya bukan semata-mata tentang Ngurah Rai, tetapi juga soal Bali. Namun dimulainya pariwisata sejak masa 1903. Buku ini menyentuh aspek bercerita cikal bakal pariwisata Bali. Jadi Ngurah Rai di tahun 1946 itu puncak, perjalanan long march dari Bali bagian bBarat ke Bali bagian timur. Ngurah Rai salah satu orang Bali yang punya pemahaman soal Indonesia, dalam perspektif saya Ngurah Rai membebaskan Bali dari kekejaman Belanda,” tuturnya.
Ia pun berharap, dengan rilisnya buku Prosa Gerilya, generasi muda Bali betul-betul mengetahui sosok I Gusti Ngurah Rai. Sebab ia menilai dari sejumlah orang yang ia temui, banyak anak-anak muda yang tidak tahu soal sosok I Gusti Ngurah Rai. Walau pun sebagian anak muda mengetahui sosok Ngurah Rai adalah seorang pahlawan yang gugur di medan perang Puputan.
“Saya berharap dengan buku ini saya bisa menjadi semacam penyambung lidah cerita I Gusti Ngurah Rai ke anak-anak sekarang, paling tidak anak muda Bali memahami lebih dari sekadar patung yang ada di bandara, Pahlawan Nasional dari Bali yang gugur di medan perang. Jadi untuk berapa banyak yang sudah kami cetak, buku ini dicetak secara berkala sesuai pesanan. Saya kira jumlah total yang tercetak sejauh ini kurang dari 1.000 buku,” tutupnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anak Agung Nanik Suryani, cucu dari Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai sangat mengapresiasi peluncuran buku Prosa Gerilya karena akan memberikan pemahaman yang bagus bagi generasi muda.
“Saya memiliki banyak kolek buku sejarah I Gusti Ngurah Rai, tetapi hampir tidak selesai saya baca karena bahasanya yang berat. Tetapi khusus di buku ini alur ceritanya saya paham,” ungkapnya.
Selaras dengan hal tersebut, cucu lainnya, I Gusti Ayu Agung Inda Trimafo Yudha juga mengapresiasi dan menurutnya apa yang ditulis oleh Andre di dalam bukunya, memang sesuatu yang inovatif .
“Satu yang saya suka buku ini sangat relate, I Gusti Ngurah Rai, simbol sebuah keberanian, pengaruhnya walaupun memiliki fisik kecil tetapi keberaniannya seribu kali dari bentuk badannya dan juga kharisma beliau. Buku ini saya rasa harus diapresiasi,” tegasnya.
Ia pun mengaku, selama dirinya membaca satu persatu halaman di buku Prosa Gerilya, ia sangat tersentuh. Bahkan ia merasa kangen dengan sosok yang belum pernah ia temui sebelumnya.
“Saya tersentuh saat baca buku ini, bagaimana saya punya rasa kangen dengan orang yang tidak pernah saya lihat. Bukunya tipis tapi pembahasannya padat, I Gusti Ngurah Rai itu raganya sudah tidak ada tetapi sampai kapan pun semangat beliau tetap hidup,” tutupnya. *ris
1
Komentar