Kearifan Lokal dan Demokrasi Pasar
DALAM repertoar Aristoteles, kearifan lokal merupakan aset bersama (a common property) sebuah guyub atau budaya tertentu (Lukas Peter, 2021).
Namun, karena kuasa ‘demokrasi pasar’ atau kapitalisme demokratis, kearifan lokal terancam, terdegradasi, dan teralienasi dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan individu atau pemilik modal. Jan Naverson, profesor emeritus di Bowling Green State University, Ohio, maklum karena ‘liberty is property’ — kebebasan adalah properti. Artinya, karena kuasa dan modal, kearifan lokal ditransformasi menjadi sistem ekonomi terbuka dan kompetitif berdasarkan kepemilikan pribadi.
Secara harafiah, narasi kearifan lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Tetapi, demokrasi pasar menjadikannya komoditas yang layak dan laku dalam wirausaha kepariwisataan. Ketika kain penutup cadar wirausaha itu disingkap, maka wajah aslinya akan terang benderang dan analog dengan pandangan Garret Hardin bahwa ‘…freedom to a common brings ruin to all’ — kebebasan untuk bersama membawa kehancuran bagi semua atau nila setitik rusak susu sebelanga.
Berbicara tentang demokrasi ada tiga model. Menurut Wofgang Merkel, profesor ilmu politik di Universitas Humboldt Berlin, Universitas Mainz, dan Universitas Heidelberg, membedakan ‘minimalist, medium-range, maximalist models of democracy’. Model demokrasi minimalis tidak memberikan informasi untuk membedakan apakah demokrasi ada atau dalam keadaan krisis, karena kita tidak mengetahui apakah perwakilan terpilih memerintah atas nama rakyat atau atas nama korporasi besar, bank, lobi, atau lembaga supranasional? Model demokrasi jarak menengah melampaui pemilihan berkala wakil rakyat, akuntabilitas vertikal, menjamin hak asasi manusia dan sipil. Sedangkan, demokrasi model maksimalis menekankan pada dimensi luaran atau hasil, termasuk barang publik, keamanan, kesejahteraan ekonomi, keadilan dalam distribusi barang pokok, pendapatan, jaminan sosial, dan sejenisnya.
Banyak contoh kita saksikan model demokrasi di Pulau Dewata. Misalnya, pariwisata budaya bertujuan, antara lain untuk menambah wawasan serta pandangan hidup masyarakat, mengembangkan kebudayaan, melestarikan adat istiadat, atau meningkatkan daya tarik wisata berupa hasil olah cipta, rasa, dan karsa manusia sebagai makhluk budaya, baik yang berwujud maupun tak berwujud. Berdalih menerapkan model demokrasi pasar maksimalis banyak lahan dialihfungsikan menjadi perumahan, pertokoan, dan sebagainya. Sistem budaya subak secara fisikal hilang, sedangkan sistem subak sebagai ruang tak kunjung diimplementasikan.
Demokrasi model minimalis kini berkembang di desa wisata. Masyarakat tidak mengetahui dan memahami gagasan brilian tentang desa wisata. Apakah desa wisata dikembangkan atas nama rakyat di desa atau pemilik modal atau pemegang kuasa? Apakah desa wisata telah menjadikan desa sebagai sebuah destinasi pariwisata dengan cara memadukan daya tarik wisata alam dan budaya, layanan fasilitas umum pariwisata, serta aksesibilitas yang memadai dengan tata cara dan tradisi kehidupan masyarakat desa? Informasi demikian tidak tersedia bagi seluruh warga desa.
Manfaat (outcomes) demokrasi model maksimalis dalam kepariwisataan masih jauh. Hasil demokrasi model maksimalis dalam kepariwisataan masih terbatas dinikmati oleh pemilik modal, pemegang kuasa di berbagai ranah dan level. Dampak negatif pariwisata terhadap kondisi sosial budaya semakin mengemuka, seperti munculnya konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan, dan munculnya masalah-masalah sosial seperti misalnya perjudian serta prostitusi, meningkatnya akulturasi di daerah tersebut sehingga bisa mengubah budaya asli, dan rusaknya lingkungan alam yang ada di daerah wisata oleh wisatawan maupun warga lokal. Semoga model demokrasi pasar yang meminimalkan hilangnya atau tak lestarinya kearifan lokal Bali dapat ditatakelola secara arif dan bijaksana. 7
Secara harafiah, narasi kearifan lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Tetapi, demokrasi pasar menjadikannya komoditas yang layak dan laku dalam wirausaha kepariwisataan. Ketika kain penutup cadar wirausaha itu disingkap, maka wajah aslinya akan terang benderang dan analog dengan pandangan Garret Hardin bahwa ‘…freedom to a common brings ruin to all’ — kebebasan untuk bersama membawa kehancuran bagi semua atau nila setitik rusak susu sebelanga.
Berbicara tentang demokrasi ada tiga model. Menurut Wofgang Merkel, profesor ilmu politik di Universitas Humboldt Berlin, Universitas Mainz, dan Universitas Heidelberg, membedakan ‘minimalist, medium-range, maximalist models of democracy’. Model demokrasi minimalis tidak memberikan informasi untuk membedakan apakah demokrasi ada atau dalam keadaan krisis, karena kita tidak mengetahui apakah perwakilan terpilih memerintah atas nama rakyat atau atas nama korporasi besar, bank, lobi, atau lembaga supranasional? Model demokrasi jarak menengah melampaui pemilihan berkala wakil rakyat, akuntabilitas vertikal, menjamin hak asasi manusia dan sipil. Sedangkan, demokrasi model maksimalis menekankan pada dimensi luaran atau hasil, termasuk barang publik, keamanan, kesejahteraan ekonomi, keadilan dalam distribusi barang pokok, pendapatan, jaminan sosial, dan sejenisnya.
Banyak contoh kita saksikan model demokrasi di Pulau Dewata. Misalnya, pariwisata budaya bertujuan, antara lain untuk menambah wawasan serta pandangan hidup masyarakat, mengembangkan kebudayaan, melestarikan adat istiadat, atau meningkatkan daya tarik wisata berupa hasil olah cipta, rasa, dan karsa manusia sebagai makhluk budaya, baik yang berwujud maupun tak berwujud. Berdalih menerapkan model demokrasi pasar maksimalis banyak lahan dialihfungsikan menjadi perumahan, pertokoan, dan sebagainya. Sistem budaya subak secara fisikal hilang, sedangkan sistem subak sebagai ruang tak kunjung diimplementasikan.
Demokrasi model minimalis kini berkembang di desa wisata. Masyarakat tidak mengetahui dan memahami gagasan brilian tentang desa wisata. Apakah desa wisata dikembangkan atas nama rakyat di desa atau pemilik modal atau pemegang kuasa? Apakah desa wisata telah menjadikan desa sebagai sebuah destinasi pariwisata dengan cara memadukan daya tarik wisata alam dan budaya, layanan fasilitas umum pariwisata, serta aksesibilitas yang memadai dengan tata cara dan tradisi kehidupan masyarakat desa? Informasi demikian tidak tersedia bagi seluruh warga desa.
Manfaat (outcomes) demokrasi model maksimalis dalam kepariwisataan masih jauh. Hasil demokrasi model maksimalis dalam kepariwisataan masih terbatas dinikmati oleh pemilik modal, pemegang kuasa di berbagai ranah dan level. Dampak negatif pariwisata terhadap kondisi sosial budaya semakin mengemuka, seperti munculnya konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan, dan munculnya masalah-masalah sosial seperti misalnya perjudian serta prostitusi, meningkatnya akulturasi di daerah tersebut sehingga bisa mengubah budaya asli, dan rusaknya lingkungan alam yang ada di daerah wisata oleh wisatawan maupun warga lokal. Semoga model demokrasi pasar yang meminimalkan hilangnya atau tak lestarinya kearifan lokal Bali dapat ditatakelola secara arif dan bijaksana. 7
Oleh:
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa
Komentar