Kasus ‘Penyegelan’ Kantor LABHI, Turah Mayun Bongkar Fakta Perjanjian Pemecahan Sertifikat
DENPASAR, NusaBali.com – Kasus dugaan penyegelan Kantor Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali di Jalan Badak Agung Utara Denpasar terus bergulir menyusul ditingkatkannya Dumas (pengaduan masyarakat) atas nama pelapor I Made Suardana menjadi Laporan Polisi.
Menyikapi dinaikkannya status tersebut, AA Ngurah Mayun Wiraningrat selaku pihak terlapor mengaku siap menjalani proses hukum.
Di sisi lain, selaku Pangempon Pelaba Pura Merajan Satriya, dimana lokasi kantor LABHI Bali berdiri, belum menyiapkan langkah-langkah tertentu ataupun melakukan pelaporan balik terhadap Suardana atau yang akrab disapa Ariel tersebut.
“Belum memikirkan langkah apa-apa, hanya saja saya heran dengan perkembangan yang terjadi. Karena penutupan kantor (LABHI) tersebut tidak lepas dari adanya perjanjian antara pihak Pangempon Pura Merajan Satriya dengan pihak I Made Suardana,” jelas AA Ngurah Mayun Wiraningrat atau dikenal dengan sapaan Turah Mayun.
Saat ditemui wartawan di areal Jalan Badak Agung Utara pada Senin (21/8/2023) siang, Turah Mayun menyebut jika penutupan yang dilakukan ada sebab-akibat. Ia pun menolak jika langkah yang dilakukan disebut sebagai tindak penyegelan.
“Kami bukan melakukan penyegelan seperti diberitakan selama ini, karena penyegelan itu tugas aparat. Kami hanya menutup pintu masuk untuk memberi shock therapy karena pihak yang menempati lahan sukar ditemui untuk menyelesaikan kewajibannya sesuai perjanjian kedua pihak. Dia (Made Suardana, Red) tidak memiliki bukti kepemilikan lahan itu," tegas Turah Mayun yang notabene putra Raja Denpasar, almarhum Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan.
Diungkapkan oleh Turah Mayun asal muasal, berdirinya kantor LABHI di lahan pelaba Pura Merajan Satriya tersebut. “Ini karena ada perjanjian pada 24 Maret 2022. Dia (Made Suardana) melaksanakan pemecahan sertifikat tanah (Laba Pura Merajan Satriya). Untuk jasa yang diberikannya, maka kami sepakat memberikan sebidang tanah dengan luas 315 meter persegi,” ungkapnya sembari menunjukkan lembar perjanjian setebal 10 halaman tersebut.
Di atas lahan itulah kemudian Made Suardana mendirikan bangunan kantor LABHI. “Dengan dia menempati lahan di sini (Laba Pura Merajan Satriya), harapannya akan memudahkan koordinasi menyelesaikan pekerjaan sebagaimana perjanjian, yakni, memecah sertifikat,” urai Turah Mayun.
Namun hingga setahun berselang, kata Turah Mayun, tugas yang diberikan yaitu pemecahan sertifikat hak milik pelaba Pura Merajan Satriya tak kunjung tuntas.
“Jangankan selesai, justru tidak ada kemajuan sama sekali. Tidak ada pekerjaan yang dilakukan untuk proses pemecahan sertifikat dimaksud,” kata Turah Mayun.
”Jika ada hasil kerjanya, silakan ambil tanah yang di atasnya ada bangunan tersebut. Masalahnya, hingga sekarang tak ada hasil sama sekali, jadi ya kami melakukan penutupan itu agar yang bersangkutan ingat akan kewajibannya,” tegas Turah Mayun.
Sementara itu, Inti selaku pengelola kawasan Badak Agung Pelaba Pura Merajan Satriya mengingatkan jika tak mungkin seseorang melakukan tindakan jika tak ada sebab akibat. Maka pihaknya mengingatkan Made Suardana untuk menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian.
“Sejak dilakukan perjanjian sampai dengan saat penutupan, I Made Suardana sama sekali tidak jalankan kewajiban sebagaimana tertera dalam perjanjian. Malahan ingin menguasai lahan yang telah didirikan kantor hukum,” ujar Inti, 52, yang juga ikut menandatangani perjanjian.
Pihaknya juga miris dituduh melakukan premanisme dan pemerasan terkait penutupan kantor hukum tersebut. ”Saya sudah berkali-kali mengatakan, kami punya pegawai yang bertugas menjaga kawasan kok dibilang preman, lalu kami kok dituduh memeras untuk keperluan palebon ayah kami (Raja Denpasar, Red) padahal urusan biaya sudah lunas semua,” klarifikasinya.
Soal penagihan uang ini, disebut Inti karena pihaknya minta pembayaran atas lahan berbeda yang dibeli istri Made Ariel di blok C-10. “Untuk bukan buat palebon, tapi tagihan atas lahan yang berada di bidang lain, tepatnya C-10,” tegas Inti.
Dihubungi terpisah oleh awak media, Made Suardana membantah pernyataan AA Ngurah Mayun Wiraningrat dan Inti. Dijelaskan, berdasar laporan dan dokumen yang dikirimkan ke Mabes Polri merujuk halaman 4. Juga ada Perjanjian Pengurusan Pemecahan Sertifikat Hak Milik Merajan Pura Puri Satriya.
"Ada syarat Kuasa. Saya sudah melakukan banyak hal yang merupakan tugas-tugasnya sebagai advokat. Saya telah mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Denpasar," beber Made Suardana.
Ia menolak dikatakan tidak bekerja, karena sudah mengurus dan melakukan Investigasi atas permohonan pemecahan sertifikat hak milik atas tanah-tanah Pelaba Pura Merajan Satriya.
Sehingga diperoleh Salinan Akta Kuasa Nomor 19 Tertanggal 9 Juli 2012 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT Kabupaten Tabanan atas nama Nyoman Indrawati, yang menjadi dasar terhambatnya pemecahan tanah tersebut, karena terbukti tanah itu milik banyak orang bukan Tjokorda Samirana saja.
Berdasarkan keadaan itu, ia akhirnya diminta oleh Sang Raja Mengurus Perdamaian Antar Keluarga sesuai amanat Surat Pokok-Pokok Penyelesaian Laba Pura Merajan Satriya, Tertanggal 12 April 2022.
"Jangan salah, saya telah jalankan amanat itu. Singkat kata, berhasil merumuskan perdamaian dengan seluruh Pangempon Pura Merajan Satriya yang jumlahnya 27," katanya.
Setahun lamanya bekerja, Made Suardana menyatakan sama sekali tidak dibiayai serupiah pun, sehingga menyerahkan tanah itu (lahan berdirinya kantor LABHI Bali) dijadikan objek operasional.
"Kalau nantinya akan berhasil akan dapat success fee 2 are untuk setiap pemecahan sertifikat,” ungkap Made Suardana.
Komentar