Pemilu 2024 Mahal, Demokrasi pun Mahal
JAKARTA, NusaBali - Tahun 2024 mendatang Indonesia akan menggelar pemilu secara serentak. Anggota Fraksi PKB Jazilul Fawaid mengatakan, pemilu di Indonesia berbiaya mahal. Oleh karena itu, demokrasi di tanah air bisa dikatakan mahal pula.
"Menurut saya, biaya pemilu itu besar, mahal. Belum lagi yang dikeluarkan oleh calon, mahal. Jadi, demokrasi kita ini kategorinya, demokrasi yang masih mahal," ujar Jazilul dalam Dialektika Demokrasi bertema ‘DPR Mengawal Demokrasi Menuju Indonesia Maju’ di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (25/8).
Menurut Jazilul, hal tersebut perlu diperbaiki. Jika tidak akan semakin bertambah mahal. Akibat biaya mahal, menyebabkan hanya kasta tinggi yang bisa masuk. Sementara kasta kecil tidak bisa. Apalagi, para caleg tidak hanya bersaing dengan sesama di internal.
Melainkan, mereka bersaing pula dengan kader dari partai lainnya. Untuk itu, sistem yang sudah langsung ini harus tetap dikoreksi agar polanya efisien. "Saya kira ini perlu diperbaiki bersama agar tidak high cost, tetapi Pemilu murah dan efisien," ucap pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI ini.
Meski begitu, Jazilul meminta agar semua pihak tidak menilai apa yang disampaikannya sebagai bentuk pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan ke MPR RI. "Maksud saya, sistem yang sudah langsung ini tetap dilaksanakan. Tapi dengan pola yang lebih efiesien," terang Jazilul.
Sementara anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra Fadli Zon mengatakan, demokrasi itu memang tidak mudah dan harus ada komitmen untuk merawatnya. Bila tidak, ada kecenderungan absolutisme. Salah satu kunci paling penting menahan absolutisme adalah pembatasan masa jabatan presiden.
Dalam amandemen UUD 1945 telah disepakati masa jabatan presiden dua periode. Namun, ada saja godaan-godaan untuk menjadi tiga periode. Di sejumlah negara, kata pria yang juga menjadi Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ini, ada yang berhasil dan tidak untuk tiga periode.
"Yang berhasil misalnya seperti Rusia dan China. Terakhir saya datang ke Uzbekistan, Presiden Uzbekistan Shavkat Mirziyoyev sebelum periode keduanya berakhir mengadakan referendum untuk menambah masa jabatan presiden. Ternyata, 80% masyarakat di sana menyetujui sehingga dia menjadi presiden untuk tiga periode," terang Fadli Zon.
Fadli Zon menjelaskan, Mirziyoyev terpilih pada periode ketiga tidak terlepas dari kinerjanya yang sangat bagus dan disukai masyarakatnya. "Ada juga godaan-godaan dalam demokrasi kita menuju absolutisme. Menurut saya ini sangat berbahaya. Kalau tidak dijaga bersama-sama, bisa menjadi masalah juga," ucap Fadli Zon. k22
Komentar