Putu Arta Sayangkan Penerapan PPDB 'Laib Labuh'
Kekisruhan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) membuat banyak kalangan angkat bicara untuk membenahi sistem pendidikan, khususnya di Bali.
Dukung Kebijakan Gubernur Prioritaskan Siswa Miskin
DENPASAR, NusaBali
Salah satunya pemerhati sosial, I Gusti Putu Artha. Ia menyayangkan penerapan sistem PPDB terutama dengan Jalur Lingkungan (Zonasi) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI. Jalur ini dianggap 'laib labuh' atau terlalu terburu-buru sehingga menimbulkan kekisruhan termasuk di Pulau Dewata.
Menurutnya, Permendikbud Nomor 17 tahun 2017 yang saat ini langsung diterapkan mestinya diberikan tenggang waktu sosialisasi dan menyiapkan perangkat pelaksanaannya sehingga bisa berjalan dengan baik.
Setidaknya menurut Putu Artha, Kemendikbud memberikan waktu satu tahun untuk melakukan sosialisasi agar kekisruhan tidak terjadi seperti saat ini. "Seharusnya sistem (zonasi) itu sekarang dikeluarkan, setahun kemudian baru dijalankan agar bisa sosialisasi dan penyiapan perangkat pelaksanaannya. Permendikbud itu memang ideal namun tak melihat kondisi riil di lapangan," ujar Putu Artha, mengkritisi.
Sementara, Putu Artha mengaku sepakat dengan terobosan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dengan sejumlah argumen yang secara yuridis Permendikbud Nomor 17 tahun 2017 dikatakan bertentangan dengan UU 23 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi.
Logikanya, kata dia, setiap siswa di Bali dapat mendaftar di SMA dan SMK manapun di Bali sebagai konsekuensi otonomi pengelolaan SMA dan SMK di level provinsi. Bahkan sistem zonasi dikatakan sudah bertentangan dengan UU. "Namun anehnya Permendikbud tidak menjadikan UU 23 Tahun 2014 sebagai salah satu rujukan hukumnya," ujarnya.
Dikatakan mantan komisioner KPU RI ini, secara sosiologis, warga Bali terikat identitas kependudukannya dengan adat sehingga banyak yang tinggal di Denpasar atau Badung, namun masih ber-KK dan adat di luar Badung dan Denpasar sebagai implikasi aspek kultural.
Sehingga, menurutnya, sistem zonasi pada SMA tidak punya argumen yuridis dan sosiologis. "Apa alasannya karena sekolah di desa itu lalu warga desa itu punya hak istimewa? Jika level SD masih masuk akal karena argumen keterjangkauan (akses) lantaran siswa mesti jalan kaki. Justru bisa-bisa siswa dengan kemampuan intelektual terbatas bisa stres bersekolah di SMA dengan kompetisi ketat," katanya.
Sehingga, menurut dia, pola penyeragaman ini bisa menghancurkan reputasi sekolah-sekolah yang selama ini banyak menghasilkan lulusan yang tembus UI, ITB, UGM dan kampus berkelas lainnya.
Menurutnya, bibit-bibit unggul dari Bali potensial kehilangan haknya diterima di kampus favorit tersebut karena reputasi sekolah mulai menurun. "Padahal kita sedang menyiapkan daya saing SDM dan kita paham kampus-kampus hebat itu mampu menyiapkan daya saing manusia Bali di masa depan," imbuhnya.
Putu Artha pun menyatakan sepakat dengan kebijakan Gubernur Bali yang melabrak Permendikbud dengan memberikan alokasi siswa miskin 20 persen. Namun menurutnya harus tetap dengan verifikasi ketat dan kemampuan standar. Jika miskin cerdas harus diarahkan ke sekolah negeri unggulan, namun jika miskin kemampuan akademik pas-pasan harusnya diarahkan ke sekolah negeri bukan unggulan agar anak-nak bisa nyaman belajar dan tidak stres karena kesenjangan kemampuan antar siswa amat jauh. "Formasi 20 persen ditarik ke provinsi bukan per sekolah karena faktanya sekolah negeri di pedesaan bisa lebih dari 20 persen siswa miskin seperti Kubu dan Abang, tapi SMA 1 Denpasar mungkin hanya 1 persen," tandasnya. *cr63
1
Komentar