nusabali

MUTIARA WEDA : Setengah Tambah Setengah

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-setengah-tambah-setengah

Aku adalah Veda, sebagaimana juga non-Veda. Aku adalah pengetahuan sekaligus ketidaktahuan. Aku tak terlahirkan sebagaimana juga bukan tak terlahirkan. Aku di bawah, Aku di atas dan Aku melintang.

Vedo hamavedo ham, vidyāhamavidyāham
Ajāhamanajāham, adhascordhvam ca tiryakcāham
(Candipathah, 8.4)

Salah satu teks yang disejajarkan dengan Bhagavad-gita dari segi content-nya oleh para penganut Sakta adalah Candipathah atau Devi Mahatmya. Teks yang merupakan bagian dari Agastya Purana ini menguraikan secara detail mengenai keagungan Dewi dan bhakti kehadapan-Nya. Bisa dikatakan bahwa teks ini merupakan rujukan teologis dan filosofis dari pemujaan Dewi. Dalam teks ini disebutkan bahwa Dewi adalah sumber dari segala sumber. Dari-Nya muncul prakrti dan Purusa. Dari-Nya pula seluruh alam semesta diciptakan, dipelihara, dan dikembalikan. Oleh karena itu disebutkan bahwa, hanya melalui perlindungan Beliau sajalah kita bisa diselamatkan, meskipun dalam keadaan yang paling kritis. Siapapun yang mengingat Beliau, maka Beliau juga akan mengingatnya dan memenuhi apapun yang menjadi kebutuhannya.

Salah satu mantra dari teks tersebut adalah sebagaimana tertera di atas. Jika kita baca sepintas, sepertinya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tetapi, jika kita lebih dalam, apalagi kita mampu memasukinya, kita akan menemukan misterinya. Kita akan merasakan bahwa mantra itu mengantarkan kita untuk melampaui batas-batas pikiran kita. Mengapa? Karena untuk memahami sesuatu, pikiran memerlukan objek. Dan agar kita mengerti, objek yang menjadi pengetahuan itu harus tidak bertentangan dengan dirinya. Salah satu ciri bahwa filsafat itu mengandung kebenaran apabila di dalamnya tidak ada yang kontradiktif. Pikiran kita baru mengerti jika kanan adalah kanan dan kiri adalah kiri. Pernyataan itu tidak kontradiktif, sebab, kanan tidak bisa disamakan dengan kiri, kanan akan selamanya kanan dan kiri akan selamanya kiri. Pikiran kita hanya mampu berpikir sampai batas itu.

Sementara teks di atas tampaknya sangat kontradiktif. Bagaimana mungkin Veda dan non Veda, pengetahuan dan ketidaktahuan ada bersamaan. Bersamaan bukan dalam arti ada secara bersama-sama, seperti pengetahuan di sebelah kanan dan ketidaktahuan di sebelah kiri atau sebaliknya. Bukan. Kalau seperti ini mudah dipahami oleh pikiran. Tetapi teks di atas mengatakan bahwa Dewi adalah pengetahuan, sekaligus ketidaktahuan. Bagaimana kita bisa memahami bahwa mengetahui sama dengan tidak mengetahui? Rumus matematika tidak mungkin membenarkannya. Demikian juga pemahaman kita. Bagaimana kita bisa mengerti bahwa cerdas sama dengan bodoh, kanan sama dengan kiri. Yang kita mengerti adalah, kanan merupakan kebalikan atau lawan dari kiri, cerdas lawan dari bodoh, bukan sebaliknya. Disinilah uniknya teks di atas mengapa menjadi sangat penting, dan kalau boleh diperluas, tidak hanya bagi penganut Sakta saja, tetapi kepada kita juga yang suka merenung.

Jika demikian masalahnya, lalu bagaimana kita bisa memahami teks di atas. Kita tidak akan mungkin memahaminya, kecuali kita diajak memasuki misterinya. Atau, kalaupun kita ingin memaksa untuk mengerti, kita mesti mampu menciptakan rumus matematika baru yang sama sekali berbeda dengan rumus matematika yang umum dipahami dewasa ini. Kita harus menggunakan perhitungan matematika Sakta, bukan matematika modern. Matematika modern mengatakan bahwa kanan sama dengan satu, dan kiri sama dengan satu, sehingga keduanya sama-sama satu dan tentu oleh karenanya hanya bertentangan yang memungkinkan. Jika satu diumpamakan 360 derajat, maka tidak ada lagi yang bisa ditambahkan. Semuanya sudah selesai. Tetapi bagi teks di atas, kanan bukanlah satu, demikian juga kiri tidak satu. Melainkan keduanya itu adalah sama-sama setengah. Sehingga untuk memenuhi lingkaran sempurna 360 derajat, kanan dan kiri bisa ditambahkan.

Menurut teks di atas kehidupan ini disempurnakan oleh adanya dualitas, kanan dan kiri, baik dan buruk, dan yang lainnya. Oleh karena itu, jika Tuhan adalah Maha Mengetahui, maka agar beliau menjadi sempurna diperlukan lagi setengahnya, yakni Maha Tidak Mengetahui. Hanya ketika Tuhan adalah Maha Mengetahui dan Maha Tidak Mengetahui secara bersamaan, Tuhan itu disebut sempurna. Dengan cara ini kita akan bisa memahami teks di atas.

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar

Komentar