Kreatif, Warga Bangli Bikin Tangga ‘Lift’ untuk Naik Pohon Kelapa
BANGLI, NusaBali - Pasangan suami istri (Pasutri) asal Banjar Dinas Kuta Undisan, Desa Kayubihi, Kecamatan/Kabupaten Bangli membuat inovasi tangga yang berfungsi menyerupai lift. Dengan menggunakan tangga tersebut, memudahkan untuk menaiki pohon kelapa.
Pasutri I Nyoman Sunadi dan Ni Nengah Suartini setiap harinya memanjat pohon kelapa untuk mengambil tuak (minuman tradisional Bali). Tubuh Nyoman Sunadi yang terbilang besar cukup sulit untuk memanjat pohon kelapa. Maka itu dirinya mencari cara agar lebih mudah mencapai puncak pohon kelapa. Menurut Nengah Suartini, suaminya itu berinisiatif untuk membuat alat agar tidak perlu susah naik tangga lagi. Sekitar 6 bulan lalu, suaminya membuat alat yang sistem kerjanya seperti lift.
"Alat dibuat selama dua minggu. Dan sekarang sudah digunakan hampir 6 bulan," jelas Suartini saat ditemui, Minggu (3/9). Alat tersebut berfungsi dengan menggunakan dinamo sebagai tenaga listrik. Untuk menggunakan alat tersebut cukup menekan tombol kontrol, maka sudah bisa naik maupun turun. "Agar bisa berfungsi perlu daya listrik, karena pohon kelapa ada di areal pekarangan jadi tidak sulit mendapat sambungan listrik," sebutnya.
Lanjut Nengah Suartini, untuk tangga ini panjangnya sekitar 6 meter. Untuk memastikan keamanan, sebelum digunakan terlebih dahulu dicek. "Ada tali sling, jadi sebelum digunakan dicek dulu oleh suami saya," ujarnya. Diakui, alat buatan suaminya itu cukup ramai dibicarakan, beberapa orang sempat menanyakan biaya yang dibutuhkan untuk membuat tangga tersebut. "Yang pesan memang belum ada, tapi beberapa sudah ada yang menanyakan harga," ungkap Nengah Suartini sembari menyebutkan biaya pembuatan sekitar Rp 5 juta-an.
Selain menggunakan tangga yang sudah dimodifikasi, Nengah Suartini juga masih menggunakan tangga manual untuk menaiki pohon kelapa. Suartini dan suami setiap hari naik pohon kelapa untuk mencari tuak. Sebelum menjadi perajin tuak, dirinya bekerja membuat anyaman bambu dan suami mencari kayu untuk dijual kembali. Lantaran pandemi, keduanya tidak ada penghasilan, sehingga mencoba untuk mencari penghasilan lainnya. "Kebetulan di rumah cukup banyak pohon kelapa, dan kami coba membuat tuak," sambungnya.
Dalam sehari, dirinya memanjat pohon kelapa yang jumlahnya puluhan pohon kelapa. Proses membuat/mendapat tuak dilakukan dengan cara ngirisin (mengiris) batang tumbuhnya buah kelapa. Hal tersebut dilakukan dini hari dan sore hari. "Sore ngirisin, kita tunggu sampai keesokan harinya. Sekitar pukul 05.00 pagi kita ambil tuaknya dan dilanjutkan ngirisin," kata ibu dua anak ini. Dalam sehari dirinya bisa mendapat 15 botol tuak yang per botol berisi 1 liter. Tuak yang dihasilkan dijual dengan harga Rp 20.000 ribu per botol. Pembeli tuak tidak hanya dari Bangli tetapi juga dari luar Bangli, seperti Denpasar. "Biasanya pembeli yang datang langsung ke rumah. Kalau ada upacara atau hari raya, kami bisa kewalahan melayan pesanan. Dalam sehari maksimal bisa menghasilkan 15 botol," imbuhnya. 7 esa
"Alat dibuat selama dua minggu. Dan sekarang sudah digunakan hampir 6 bulan," jelas Suartini saat ditemui, Minggu (3/9). Alat tersebut berfungsi dengan menggunakan dinamo sebagai tenaga listrik. Untuk menggunakan alat tersebut cukup menekan tombol kontrol, maka sudah bisa naik maupun turun. "Agar bisa berfungsi perlu daya listrik, karena pohon kelapa ada di areal pekarangan jadi tidak sulit mendapat sambungan listrik," sebutnya.
Lanjut Nengah Suartini, untuk tangga ini panjangnya sekitar 6 meter. Untuk memastikan keamanan, sebelum digunakan terlebih dahulu dicek. "Ada tali sling, jadi sebelum digunakan dicek dulu oleh suami saya," ujarnya. Diakui, alat buatan suaminya itu cukup ramai dibicarakan, beberapa orang sempat menanyakan biaya yang dibutuhkan untuk membuat tangga tersebut. "Yang pesan memang belum ada, tapi beberapa sudah ada yang menanyakan harga," ungkap Nengah Suartini sembari menyebutkan biaya pembuatan sekitar Rp 5 juta-an.
Selain menggunakan tangga yang sudah dimodifikasi, Nengah Suartini juga masih menggunakan tangga manual untuk menaiki pohon kelapa. Suartini dan suami setiap hari naik pohon kelapa untuk mencari tuak. Sebelum menjadi perajin tuak, dirinya bekerja membuat anyaman bambu dan suami mencari kayu untuk dijual kembali. Lantaran pandemi, keduanya tidak ada penghasilan, sehingga mencoba untuk mencari penghasilan lainnya. "Kebetulan di rumah cukup banyak pohon kelapa, dan kami coba membuat tuak," sambungnya.
Dalam sehari, dirinya memanjat pohon kelapa yang jumlahnya puluhan pohon kelapa. Proses membuat/mendapat tuak dilakukan dengan cara ngirisin (mengiris) batang tumbuhnya buah kelapa. Hal tersebut dilakukan dini hari dan sore hari. "Sore ngirisin, kita tunggu sampai keesokan harinya. Sekitar pukul 05.00 pagi kita ambil tuaknya dan dilanjutkan ngirisin," kata ibu dua anak ini. Dalam sehari dirinya bisa mendapat 15 botol tuak yang per botol berisi 1 liter. Tuak yang dihasilkan dijual dengan harga Rp 20.000 ribu per botol. Pembeli tuak tidak hanya dari Bangli tetapi juga dari luar Bangli, seperti Denpasar. "Biasanya pembeli yang datang langsung ke rumah. Kalau ada upacara atau hari raya, kami bisa kewalahan melayan pesanan. Dalam sehari maksimal bisa menghasilkan 15 botol," imbuhnya. 7 esa
Komentar