Kepala Anak Kecil? Bunda Wajib Tahu Penyebab dan Gejalanya!
SEMARAPURA, NusaBali.com – Belum lama ini, tiga balita di Tabanan terindikasi mengidap penyakit mikrosefalus atau kelainan pada ukuran kepala bayi yang lebih kecil dari rata-rata ukuran normal. Sehingga calon orang tua memiliki peran penting dan harus lebih jeli dalam memperhatikan kondisi tubuh calon sang buah hati.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung, dr Ida Ayu Megawati MKes menjelaskan bahwa penyakit mikrosefalus adalah kondisi yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga tidak sepenuhnya dapat dicegah. Namun, terang dia calon orang tua dapat melakukan konseling genetik untuk meminimalkan risiko terjadinya mikrosefalus pada anaknya.
“Penyebab mikrosefalus belum diketahui secara pasti. Faktor genetik atau perkembangan otak yang tidak normal dipercaya dapat mengakibatkan bayi mengalami mikrosefalus. Selain itu, beberapa kondisi medis lain yang dapat memicu mikrosefalus seperti Fenilketonuria yang tidak terkendali, paparan obat-obatan, bahan kimia, atau alkohol selama masa kehamilan,” jelasnya saat dikonfirmasi pada Jumat (8/9/2023) pagi.
Lebih lanjut ia jelaskan, orang tua dapat melihat gejala utama penyakit mikrosefalus dengan melihat ukuran kepala bayi lebih kecil. Namun, dr Mega mengatakan penyakit tersebut juga dapat disertai dengan beberapa gejala lainnya. Seperti anak yang mengalami masalah makan yang sulit menelan, kejang, gangguan pendengaran dan penglihatan, menangis dengan nada tinggi, hiperaktif, perkembangan bayi melambat, cacat intelektual, dan kesulitan atau terlambat berdiri, berjalan, atau berbicara.
“Masalah tumbuh kembang yang biasa terjadi pada anak mikrosefalus adalah gangguan berkomunikasi, berbicara, belajar, dan emosional. Bahkan, pada kasus yang berat, anak tidak dapat berbicara hingga beranjak dewasa,” tutur wanita yang saat ini juga bekerja sebagai Dokter di Klinik Pratama Damar Klungkung.
Tidak hanya itu, dr Mega menerangkan seiring berjalannya waktu, wajah anak akan berkembang sementara tengkoraknya tidak. Hal ini menyebabkan anak memiliki wajah yang tampak besar, kulit kepala mengendur, dan dahi mengecil.
Sementara, soal sejak kapan kondisi ini bisa terjadi, wanita yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Klungkung itu menjelaskan mikrosefalus dapat terjadi sejak bayi berada di dalam kandungan atau setelah bayi dilahirkan. Namun, mikrosefalus dapat terdeteksi melalui USG ketika akhir trimester kedua atau awal trimester ketiga. Sedangkan mikrosefalus yang terjadi setelah bayi dilahirkan biasanya diketahui melalui sejumlah gejala.
“Untuk menegakkan diagnosis, dokter biasanya akan melakukan pengukuran lingkar kepala beberapa jam setelah bayi dilahirkan, kemudian dibandingkan dengan rata-rata ukuran normal bayi seusianya yakni 32–37 centimeter (cm) untuk laki-laki, dan 31.5–36.2 cm untuk perempuan,” paparnya.
dr Mega menjelaskan pengobotan mikrosefalus juga akan disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya. Meski, belum ada pengobatan khusus yang dapat menyembuhkan mikrosefalus, namun disarankan bayi menjalani metode terapi untuk membantu perkembangan fisik dan perilaku.
“Langkah yang dapat dilakukan oleh orang tua terutama calon ibu sebagai upaya pencegahan mikrosefalus yakni dengan rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, mengonsumsi makanan sehat dan bergizi seimbang, tidak merokok atau menjauhi asap rokok ketika hamil, dan melakukan pemeriksaan secara rutin selama masa kehamilan,” pungkasnya. *ris
“Penyebab mikrosefalus belum diketahui secara pasti. Faktor genetik atau perkembangan otak yang tidak normal dipercaya dapat mengakibatkan bayi mengalami mikrosefalus. Selain itu, beberapa kondisi medis lain yang dapat memicu mikrosefalus seperti Fenilketonuria yang tidak terkendali, paparan obat-obatan, bahan kimia, atau alkohol selama masa kehamilan,” jelasnya saat dikonfirmasi pada Jumat (8/9/2023) pagi.
Lebih lanjut ia jelaskan, orang tua dapat melihat gejala utama penyakit mikrosefalus dengan melihat ukuran kepala bayi lebih kecil. Namun, dr Mega mengatakan penyakit tersebut juga dapat disertai dengan beberapa gejala lainnya. Seperti anak yang mengalami masalah makan yang sulit menelan, kejang, gangguan pendengaran dan penglihatan, menangis dengan nada tinggi, hiperaktif, perkembangan bayi melambat, cacat intelektual, dan kesulitan atau terlambat berdiri, berjalan, atau berbicara.
“Masalah tumbuh kembang yang biasa terjadi pada anak mikrosefalus adalah gangguan berkomunikasi, berbicara, belajar, dan emosional. Bahkan, pada kasus yang berat, anak tidak dapat berbicara hingga beranjak dewasa,” tutur wanita yang saat ini juga bekerja sebagai Dokter di Klinik Pratama Damar Klungkung.
Tidak hanya itu, dr Mega menerangkan seiring berjalannya waktu, wajah anak akan berkembang sementara tengkoraknya tidak. Hal ini menyebabkan anak memiliki wajah yang tampak besar, kulit kepala mengendur, dan dahi mengecil.
Sementara, soal sejak kapan kondisi ini bisa terjadi, wanita yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Klungkung itu menjelaskan mikrosefalus dapat terjadi sejak bayi berada di dalam kandungan atau setelah bayi dilahirkan. Namun, mikrosefalus dapat terdeteksi melalui USG ketika akhir trimester kedua atau awal trimester ketiga. Sedangkan mikrosefalus yang terjadi setelah bayi dilahirkan biasanya diketahui melalui sejumlah gejala.
“Untuk menegakkan diagnosis, dokter biasanya akan melakukan pengukuran lingkar kepala beberapa jam setelah bayi dilahirkan, kemudian dibandingkan dengan rata-rata ukuran normal bayi seusianya yakni 32–37 centimeter (cm) untuk laki-laki, dan 31.5–36.2 cm untuk perempuan,” paparnya.
dr Mega menjelaskan pengobotan mikrosefalus juga akan disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya. Meski, belum ada pengobatan khusus yang dapat menyembuhkan mikrosefalus, namun disarankan bayi menjalani metode terapi untuk membantu perkembangan fisik dan perilaku.
“Langkah yang dapat dilakukan oleh orang tua terutama calon ibu sebagai upaya pencegahan mikrosefalus yakni dengan rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, mengonsumsi makanan sehat dan bergizi seimbang, tidak merokok atau menjauhi asap rokok ketika hamil, dan melakukan pemeriksaan secara rutin selama masa kehamilan,” pungkasnya. *ris
1
Komentar