NAFSU: Raja atau Budaknya?
āśāyā ye dāsāste dāsāḥ sarvalokasya, āśā yeṣāṃ dāsī teṣāṃ dāsāyate lokaḥ. (Subhashita Manjari – 8.53)
Orang yang menjadi pelayan nafsu juga merupakan pelayan seluruh dunia. Bagi mereka yang menganggap nafsu sebagai pelayan, maka seluruh dunia juga adalah pelayannya.
APA maksudnya? Hidup kita penuh keinginan. Ingin kaya, ingin sukses, ingin hebat, ingin cantik, ingin seksi, ingin kenyamanan, ingin jalan-jalan, ingin mobil mewah, ingin menang, ingin terkenal, dan ribuan keinginan lainnya. Nafsu/keinginan kita sebanyak rambut di kepala, bahkan lebih. Kita tidak berdaya di hadapan keinginan-keinginan sendiri. Saat ada teman menggunakan perhiasan yang lebih bagus, kita juga ingin memilikinya. Beruntung kita punya uang. Jika tidak, keinginan itu membuat kita tidak bahagia. Jadi, ketika kita dibuat tidak berdaya dan mengikuti semua keinginan-keinginan itu disebut sebagai pelayan nafsu. Pelayan nafsu sama dengan pelayan seluruh dunia. Keinginan kita bersentuhan dengan objek duniawi di mana-mana.Sebaliknya, mereka yang mampu menggunakan nafsunya untuk menjalani kehidupan, maka seluruh dunia akan menjadi pelayannya.
Memang apa bedanya antara pelayan nafsu dan nafsu sebagai pelayan? Bukankah di sana sama-sama nafsu? Yang mengejar nafsu juga nafsu, yang menggunakan nafsu juga nafsu. Tentu berbeda 180 derajat meskipun sama-sama nafsu. Pelayan nafsu artinya kita dikendarai oleh nafsu, sementara nafsu sebagai pelayan artinya kitalah yang menunggangi nafsu itu. Pernyataan pertama menjadikan nafsu sebagai raja, kita sebagai budaknya. Sementara pernyataan kedua, kitalah raja dan nafsu sebagai budak. Menjadi pelayan nafsu artinya kita disuruh-suruh untuk memenuhi ini dan itu, sementara menjadi penguasa nafsu, kita dapat memanfaatkan nafsu untuk tujuan hakiki kita, kitalah yang menyuruh nafsu untuk ini dan itu.
Dari kedua pernyataan di atas, di mana kecenderungan kita? Sadar atau tidak, kitalah yang dikuasai oleh nafsu. Kita sering tidak mengerti mengapa kita begitu mudah tergoda, dan kita biasanya baru sadar kalau sudah berantakan. Kita baru menyesal dan menggerutu, “mengapa saya melakukan ini, semestinya saya tidak seperti itu”, dan seterusnya. Namun, penyesalan itu pun tidak serta merta membuat kita mampu mengendalikannya. Ketika ada godaan, nafsu tumbuh lagi dan menguasai kita lagi, setelah itu menyesal, kemudian tergoda lagi, menyesal lagi, demikian seterusnya. Sampai menjelang ajal pun, godaan nafsu itu tidak meninggalkan kita.
Mengapa nafsu itu kuat dan terus menjadikan kita budak? Tentu karena kebodohan, identitas palsu, rasa suka dan tidak suka, serta rasa takut. Bagaimana cara mengatasinya? Mengatasi kebodohan adalah caranya, menemukan identitas sejati kita adalah caranya, mengatasi rasa suka dan tidak suka adalah caranya, serta mengatasi rasa takut adalah caranya. Mengapa kita lahir telah membawa semua penyebab itu? By design, kehidupan di dunia fana seperti itu, berjalan di dalam lingkaran, berputar-putar, terus berjalan tetapi tidak ke mana-mana. Makanya, agar kita tidak diperbudak nafsu, melepaskan diri dari lingkaran itu adalah satu-satunya cara.
Secara prinsip, tujuan hidup semua makhluk adalah kebahagiaan. Tapi, karena kita hidup di dalam lingkaran, kita tidak pernah pergi ke mana-mana. Namun, karena rasa bahagia itu adalah tuntutan kehidupan, di dalam lingkaran itu pun kita mencoba mencarinya. Di sinilah akar nafsu itu hadir, dan karena kebahagiaan itu terlihat terus di depan, kita tersedot oleh nafsu itu dan dibuat tidak berdaya untuk tetap mencarinya di depan. Kita pun diperbudak olehnya. Nafsu menjadi penguasa kita. Kita berupaya menggantungkan kebahagiaan itu pada pemuasan atas nafsu tersebut. Apa yang terjadi? Dualitas hadir. Nafsu itu memberikan kesenangan dan kesedihan silih berganti.
Oleh karena itu, kita mesti keluar dari lingkaran itu dan kemudian berada dalam identitas sejati kita. Dikatakan bahwa identitas sejati itu adalah kebahagiaan itu sendiri. Dengan mengenali identitas sejati kita, maka kita pun mengetahui bahwa kebahagiaan bukanlah di depan, melainkan entitas kita sendiri adalah kebahagiaan. Identitas kitalah kebahagiaan itu. Sepanjang kita mengidentifikasi diri kepada yang palsu, sepanjang itu penderitaan hadir, sepanjang itu pula nafsu akan menguasai kita. Sebaliknya, jika tiba-tiba kita bisa mengangkat diri dan lepas dari lingkaran itu, situasinya akan berbalik, kitalah penguasa nafsu itu. 7
I Gede Suwantana
Bali Vedanta Institute
1
Komentar