IPB Tekankan Pentingnya Integrasi Tata Ruang Laut dan Darat
MANGUPURA, NusaBali - Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menekankan pentingnya integrasi tata ruang laut dan darat, untuk mengatasi krisis ekologi seperti pencemaran dan eksploitasi sumber daya alam.
“Yang sekarang terjadi tata ruang darat dan laut itu terpisah,” katanya di sela konferensi internasional terkait pengelolaan wilayah pesisir terintegrasi dan bioteknologi maritim di Kuta, Kabupaten Badung, Selasa (12/9/2023).
Dia menjelaskan integrasi tata ruang hulu dan hilir itu diperlukan agar pembangunan dilakukan secara holistik, dengan mempertimbangkan kondisi laut dan darat.
Pasalnya, lanjut dia, pembangunan masif di darat berdampak kepada kehidupan di laut. Begitu juga sebaliknya, aktivitas di laut juga memberi dampak kepada kehidupan di daratan.
Dia mencontohkan penebangan hutan di hulu memberi dampak di hilir atau laut, yakni terjadinya sedimentasi yang merusak terumbu karang dan ekosistem di dalamnya.
Selain itu, pencemaran di sungai sebagai salah satu sumber air baku untuk konsumsi mendorong masyarakat menggunakan air tanah tanpa dibarengi dengan aturan memadai.
Akibatnya, terjadi penurunan permukaan tanah sehingga memicu terjadi rob atau banjir pesisir.
Dia mengungkapkan wilayah Pantai Utara Jawa merupakan salah satu contoh terjadinya krisis ekologis, di antaranya di Demak, Semarang, dan Pekalongan di Jawa Tengah.
Tak hanya itu, dalam pengelolaan tata ruang juga tidak hanya dilakukan berbasis wilayah administrasi, tapi juga memperhatikan wilayah ekologis, misalnya wilayah sungai yang membelah sejumlah daerah.
Untuk itu, perlu upaya lebih masif dalam melakukan integrasi tata ruang darat dan laut.
“Ini perlu solusi lebih radikal karena belum terintegrasi. Wilayah pesisir diperbaiki tapi kalau hulu tidak ada, itu sama saja,” kata Arif Satria.
Selain melalui integrasi tata ruang, lanjut dia, salah satu solusi yang bisa mengintegrasikan kawasan laut dan darat adalah melalui agromaritim, yakni integrasi pertanian dan perikanan.
Dia menyakini cara itu juga menjadi potensi menghadirkan ekonomi biru yang menekankan upaya berkelanjutan.
"Sebagai negara kepulauan, penting menjadikan kawasan pesisir sebagai benteng ekonomi dan ekologis,” tutur Arif Satria. 7 ant
Dia menjelaskan integrasi tata ruang hulu dan hilir itu diperlukan agar pembangunan dilakukan secara holistik, dengan mempertimbangkan kondisi laut dan darat.
Pasalnya, lanjut dia, pembangunan masif di darat berdampak kepada kehidupan di laut. Begitu juga sebaliknya, aktivitas di laut juga memberi dampak kepada kehidupan di daratan.
Dia mencontohkan penebangan hutan di hulu memberi dampak di hilir atau laut, yakni terjadinya sedimentasi yang merusak terumbu karang dan ekosistem di dalamnya.
Selain itu, pencemaran di sungai sebagai salah satu sumber air baku untuk konsumsi mendorong masyarakat menggunakan air tanah tanpa dibarengi dengan aturan memadai.
Akibatnya, terjadi penurunan permukaan tanah sehingga memicu terjadi rob atau banjir pesisir.
Dia mengungkapkan wilayah Pantai Utara Jawa merupakan salah satu contoh terjadinya krisis ekologis, di antaranya di Demak, Semarang, dan Pekalongan di Jawa Tengah.
Tak hanya itu, dalam pengelolaan tata ruang juga tidak hanya dilakukan berbasis wilayah administrasi, tapi juga memperhatikan wilayah ekologis, misalnya wilayah sungai yang membelah sejumlah daerah.
Untuk itu, perlu upaya lebih masif dalam melakukan integrasi tata ruang darat dan laut.
“Ini perlu solusi lebih radikal karena belum terintegrasi. Wilayah pesisir diperbaiki tapi kalau hulu tidak ada, itu sama saja,” kata Arif Satria.
Selain melalui integrasi tata ruang, lanjut dia, salah satu solusi yang bisa mengintegrasikan kawasan laut dan darat adalah melalui agromaritim, yakni integrasi pertanian dan perikanan.
Dia menyakini cara itu juga menjadi potensi menghadirkan ekonomi biru yang menekankan upaya berkelanjutan.
"Sebagai negara kepulauan, penting menjadikan kawasan pesisir sebagai benteng ekonomi dan ekologis,” tutur Arif Satria. 7 ant
Komentar