Dari Tanah Kering ke Omset Puluhan Juta
Budidaya Kelor Berkilau di Desa Lokapaksa
SINGARAJA, NusaBali - Desa Lokapaksa di Kecamatan Seririt, Buleleng, mungkin terkenal dengan lahan keringnya, tetapi kini desa ini mencatat sukses dalam budidaya kelor yang menghasilkan omset puluhan juta per bulan.
I Gusti Bagus Sumertana, 61, seorang warga desa, telah mengubah 1 hektar lahan keringnya menjadi ladang kelor dan produk-produk kesehatan herbal yang menguntungkan.
Awalnya, Bagus Sumertana tertarik pada pengobatan herbal setelah menyaksikan banyak orang meninggal karena biaya perawatan medis yang mahal. Ini mendorongnya untuk belajar tentang tanaman obat-obatan herbal, yang dianggapnya lebih terjangkau daripada obat-obatan kimia.
Warga asli dari Banjar Bukit Sakti ini antusias untuk mengikuti berbagai seminar dan sekitar tahun 2010 akhirnya mengenal bagaimana manfaat dari tanaman kelor. "Tapi saat itu saya tidak langsung menanam, dan sekitar tahun 2013 saya justru memilih untuk bekerja terlebih dahulu di Desa Pelaga, Badung untuk mendapatkan pengetahuan lebih di dunia agribisnis. Sampai akhirnya banyak ketemu orang, lalu sekitar 2018 saya memutuskan untuk berhenti bekerja saat itu posisi saya sebagai Agro Manager," tutur Bagus.
Setelah beberapa tahun bekerja di bidang agribisnis, ia memutuskan untuk kembali ke desa dan menanam kelor. Bagus memulai usaha kelor dengan modal sekitar Rp 1 juta. Dia membeli biji kelor berkualitas dan pupuk organik untuk merawat pohon kelornya. Setelah berinvestasi waktu dan usaha, ia mulai panen kelor dengan hasil rata-rata 500 kilogram per bulan.
Namun, yang membuat cerita ini lebih menarik adalah Bagus Sumertana tidak hanya menanam kelor, tetapi juga menghasilkan produk-produk kesehatan dan kecantikan dari kelor tersebut. Produk-produk seperti Serbu Kelor Original, Kopi Jahe Kelor, dan Teh Hijau Kelor menjadi pilihan yang diminati konsumen.
Selama pandemi, permintaan produknya meningkat, dan omsetnya mencapai Rp 7,5 hingga Rp 10 juta per bulan. "Yang paling diminati kopi jahe di Jakarta," sebut Bagus yang juga Ketua Kelompok Tani Tri Hita Karana ini
Meski berhasil, Bagus Sumertana menghadapi sejumlah kendala dalam pengembangan usahanya, termasuk keterbatasan modal dan bahan baku. Meskipun begitu, dia optimis bahwa tanah kering di Bali dapat digunakan untuk budidaya kelor dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan semangatnya, dia bahkan bercita-cita untuk membuat agrowisata berbasis budidaya kelor di desanya.
Untuk hasil rata-rata panen sebulan mencapai 500 kilogram dengan kondisi daun masih basah dan sudah dipisahkan dari tangkainya harga per kilogram mencapai Rp 6 ribuan.
Sedangkan untuk daun kelor kering harga per kilogram mencapai Rp 75 ribuan, harga tersebut meningkat disebabkan karena untuk 1 kilogram daun kering memerlukan 5 sampai 6 kilogram daun basah. Alhasil dari ketiga produk ini dalam sebulan omset penjualan mencapai Rp 7,5 juta sampai Rp 10 jutaan.
Cerita sukses Bagus Sumertana di Desa Lokapaksa adalah bukti nyata bahwa kesungguhan dan kreativitas dapat mengubah tanah kering menjadi lahan yang subur secara finansial, serta memberikan manfaat kesehatan bagi banyak orang.7mao
Awalnya, Bagus Sumertana tertarik pada pengobatan herbal setelah menyaksikan banyak orang meninggal karena biaya perawatan medis yang mahal. Ini mendorongnya untuk belajar tentang tanaman obat-obatan herbal, yang dianggapnya lebih terjangkau daripada obat-obatan kimia.
Warga asli dari Banjar Bukit Sakti ini antusias untuk mengikuti berbagai seminar dan sekitar tahun 2010 akhirnya mengenal bagaimana manfaat dari tanaman kelor. "Tapi saat itu saya tidak langsung menanam, dan sekitar tahun 2013 saya justru memilih untuk bekerja terlebih dahulu di Desa Pelaga, Badung untuk mendapatkan pengetahuan lebih di dunia agribisnis. Sampai akhirnya banyak ketemu orang, lalu sekitar 2018 saya memutuskan untuk berhenti bekerja saat itu posisi saya sebagai Agro Manager," tutur Bagus.
Setelah beberapa tahun bekerja di bidang agribisnis, ia memutuskan untuk kembali ke desa dan menanam kelor. Bagus memulai usaha kelor dengan modal sekitar Rp 1 juta. Dia membeli biji kelor berkualitas dan pupuk organik untuk merawat pohon kelornya. Setelah berinvestasi waktu dan usaha, ia mulai panen kelor dengan hasil rata-rata 500 kilogram per bulan.
Namun, yang membuat cerita ini lebih menarik adalah Bagus Sumertana tidak hanya menanam kelor, tetapi juga menghasilkan produk-produk kesehatan dan kecantikan dari kelor tersebut. Produk-produk seperti Serbu Kelor Original, Kopi Jahe Kelor, dan Teh Hijau Kelor menjadi pilihan yang diminati konsumen.
Selama pandemi, permintaan produknya meningkat, dan omsetnya mencapai Rp 7,5 hingga Rp 10 juta per bulan. "Yang paling diminati kopi jahe di Jakarta," sebut Bagus yang juga Ketua Kelompok Tani Tri Hita Karana ini
Meski berhasil, Bagus Sumertana menghadapi sejumlah kendala dalam pengembangan usahanya, termasuk keterbatasan modal dan bahan baku. Meskipun begitu, dia optimis bahwa tanah kering di Bali dapat digunakan untuk budidaya kelor dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan semangatnya, dia bahkan bercita-cita untuk membuat agrowisata berbasis budidaya kelor di desanya.
Untuk hasil rata-rata panen sebulan mencapai 500 kilogram dengan kondisi daun masih basah dan sudah dipisahkan dari tangkainya harga per kilogram mencapai Rp 6 ribuan.
Sedangkan untuk daun kelor kering harga per kilogram mencapai Rp 75 ribuan, harga tersebut meningkat disebabkan karena untuk 1 kilogram daun kering memerlukan 5 sampai 6 kilogram daun basah. Alhasil dari ketiga produk ini dalam sebulan omset penjualan mencapai Rp 7,5 juta sampai Rp 10 jutaan.
Cerita sukses Bagus Sumertana di Desa Lokapaksa adalah bukti nyata bahwa kesungguhan dan kreativitas dapat mengubah tanah kering menjadi lahan yang subur secara finansial, serta memberikan manfaat kesehatan bagi banyak orang.7mao
1
Komentar