Riuhnya Lanskap Sosial Bali, Ada Kene Ada Keto!
LANSKAP sosio-kultural Bali amat majemuk dewasa ini. Salah satu sisi kemajemukannya berupa keragaman suku, agama, dan antargolongan. Ketiganya terjalin dan saling memengaruhi satu sama lainnya.
Masing-masing memiliki sumber nilai dan moral yang membentuk sikap dan perilaku. Tidak jarang juga keberagaman menjadi pemicu terjadinya perpecahan, diskriminasi bahkan sampai perang dingin, karena masing-masing bertahan pada nilai moral perenial. Akibatnya, kohesivitas sosial terguncang dikarenakan adanya keyakinan terhadap esensi perenialisme secara sempit.
Pariwisata budaya ditengara menjadi magnet utama keberagaman tersebut. Keberagaman tidak serta merta memicu berbagai konflik asal sifat dan fanatisme unsur dalam keberagaman nihil, atau kompromistis. Oleh karenanya, masing-masing unsur harus berusaha mencari titik temu dan menelusur historisitas tentang eksoteris (sisi luar) dan esoteris (sisi dalam) masing-masing. Kemudian bersama merumuskan langkah konstruktif untuk mendamaikan berbagai eksoterisme dan esoterisme yang dimiliki. Dengan pendekatan demikian, maka pertikaian atau konflik yang mendatangkan perpecahan dapat dihindarkan.
Dalam perspektif eksoterisme, tak ada seorangpun yang tidak membutuhkan pekerjaan untuk menopang kehidupan. Agar bisa memeroleh pekerjaan, maka mereka akan berduyun menyesaki ruang dan tempo Bali. Secara eksoteris, mereka yang berduyun ke Bali pasti berbeda agama, suku atau golongannya. Cara mereka memenuhi keyakinannya pasti beda, misalnya umat Hindu ber-acara ke pura atau ‘pamerajan’; umat Islam shalat di masjid, dan umat Buddha beribadah di kuil; umat Kristiani beribadah ke gereja dan membaca Injil. Isoteriknya, semua agama dan keyakinan mengajarkan dan menyuruh para penganutnya untuk berbuat baik dan benar, mencintai sesama, menghormati yang lain, tidak memfitnah atau mendzolimi sekehendak hati, dan sejenisnya. Jika ada yang menyuruh untuk membunuh umat lain secara membabi-buta, merusak alam, tidak memahami historisitas homo sapiens.
Ketika keberagaman menitik beratkan pada eksoterik, maka kecemburuan sosial sudah dapat dipastikan terpatri. Kecemburuan sosial merupakan sikap kurang senang terhadap perbedaan kondisi. Kecemburuan sosial dapat diperparah oleh sikap iri dengki, perasaan negatif, dan keinginan untuk memiliki hal sama individu atau kelompok lain. Akibatnya akan terjadi pemisahan antarakelopok atau antargolongan.
Keberagaman yang dibelenggu eksoterisme akan memunculkan pertentangan antarbudaya. Konflik yang disebabkan oleh faktor budaya dipicu oleh ketidaksesuaian pelaksanaan norma, nilai, dan kepentingan sosial. Pertentangan antarbudaya dapat dipicu juga oleh globalisasi. Globalisasi adalah lain kata dari proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek budaya lainnya. Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memengaruhi sistem sosialnya. Di samping itu pula, akan terkuak sentimen kedaerahan. Sentimen berarti pendapat atau pandangan yang didasarkan pada perasaan berlebihan terhadap sesuatu. Sentimen kedaerahan yang mengedepankan kepentingan kelompok dan golongan masih menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan masyarakat, bangsa, dan negara.
Riuhnya keberagaman akan mendulang toleransi. Keberagaman memang dapat memicu konflik. Tetapi, ketika terjalin komunikasi dan interaksi sosial kohensif melalui toleransi maka keberagaman itu akan menjelma menjadi investasi sosial, ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’. Pentingnya menjaga toleransi di dalam keberagaman. Oleh karenanya, diperlukan sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima perbedaan yang ada. Contoh perilaku toleransi seperti memberikan kesempatan kepada tetangga melakukan ibadahnya, tolong-menolong antarwarga ketika melaksanakan hari raya, dan tidak membeda-bedakan tetangga, dan menghargai perbedaan budaya yang ada. Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, serta mencegah proses perpecahan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Setiap individu hendaknya mengaplikasikan perilaku toleran terhadap keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan antargolongan. Semoga. 7
Pariwisata budaya ditengara menjadi magnet utama keberagaman tersebut. Keberagaman tidak serta merta memicu berbagai konflik asal sifat dan fanatisme unsur dalam keberagaman nihil, atau kompromistis. Oleh karenanya, masing-masing unsur harus berusaha mencari titik temu dan menelusur historisitas tentang eksoteris (sisi luar) dan esoteris (sisi dalam) masing-masing. Kemudian bersama merumuskan langkah konstruktif untuk mendamaikan berbagai eksoterisme dan esoterisme yang dimiliki. Dengan pendekatan demikian, maka pertikaian atau konflik yang mendatangkan perpecahan dapat dihindarkan.
Dalam perspektif eksoterisme, tak ada seorangpun yang tidak membutuhkan pekerjaan untuk menopang kehidupan. Agar bisa memeroleh pekerjaan, maka mereka akan berduyun menyesaki ruang dan tempo Bali. Secara eksoteris, mereka yang berduyun ke Bali pasti berbeda agama, suku atau golongannya. Cara mereka memenuhi keyakinannya pasti beda, misalnya umat Hindu ber-acara ke pura atau ‘pamerajan’; umat Islam shalat di masjid, dan umat Buddha beribadah di kuil; umat Kristiani beribadah ke gereja dan membaca Injil. Isoteriknya, semua agama dan keyakinan mengajarkan dan menyuruh para penganutnya untuk berbuat baik dan benar, mencintai sesama, menghormati yang lain, tidak memfitnah atau mendzolimi sekehendak hati, dan sejenisnya. Jika ada yang menyuruh untuk membunuh umat lain secara membabi-buta, merusak alam, tidak memahami historisitas homo sapiens.
Ketika keberagaman menitik beratkan pada eksoterik, maka kecemburuan sosial sudah dapat dipastikan terpatri. Kecemburuan sosial merupakan sikap kurang senang terhadap perbedaan kondisi. Kecemburuan sosial dapat diperparah oleh sikap iri dengki, perasaan negatif, dan keinginan untuk memiliki hal sama individu atau kelompok lain. Akibatnya akan terjadi pemisahan antarakelopok atau antargolongan.
Keberagaman yang dibelenggu eksoterisme akan memunculkan pertentangan antarbudaya. Konflik yang disebabkan oleh faktor budaya dipicu oleh ketidaksesuaian pelaksanaan norma, nilai, dan kepentingan sosial. Pertentangan antarbudaya dapat dipicu juga oleh globalisasi. Globalisasi adalah lain kata dari proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek budaya lainnya. Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memengaruhi sistem sosialnya. Di samping itu pula, akan terkuak sentimen kedaerahan. Sentimen berarti pendapat atau pandangan yang didasarkan pada perasaan berlebihan terhadap sesuatu. Sentimen kedaerahan yang mengedepankan kepentingan kelompok dan golongan masih menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan masyarakat, bangsa, dan negara.
Riuhnya keberagaman akan mendulang toleransi. Keberagaman memang dapat memicu konflik. Tetapi, ketika terjalin komunikasi dan interaksi sosial kohensif melalui toleransi maka keberagaman itu akan menjelma menjadi investasi sosial, ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’. Pentingnya menjaga toleransi di dalam keberagaman. Oleh karenanya, diperlukan sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima perbedaan yang ada. Contoh perilaku toleransi seperti memberikan kesempatan kepada tetangga melakukan ibadahnya, tolong-menolong antarwarga ketika melaksanakan hari raya, dan tidak membeda-bedakan tetangga, dan menghargai perbedaan budaya yang ada. Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, serta mencegah proses perpecahan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Setiap individu hendaknya mengaplikasikan perilaku toleran terhadap keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan antargolongan. Semoga. 7
Komentar