Kualitas dan Branding Produk Jadi Kunci
Strategi di Balik Penurunan Populasi Sapi Bali
Masyarakat konsumen tidak sekadar membutuhkan kepastian kualitas daging. Lebih-lebih untuk restoran dan hotel, juga sangat mendambakan pasokan daging secara konsisten.
POPULASI sapi di Bali cukup menggembirakan pada tahun 2020 yakni 550.350 ekor dan meningkat signifikan menjadi 594.379 ekor pada tahun 2021. Namun, pada pertengahan tahun 2023, sesuai hasil pendataan ulang oleh otoritas peternakan, populasi ini jatuh ke angka sekitar 380.000 ekor.
Penurunan populasi tersebut jika tak diatasi tentu menjadi ancaman bagi perkembangan plasma nutfah hewani handalan Bali. Keadaan ini pula jadi paradoks atas kebijakan pemerintah dalam menggenjot pengembangan setiap plasma nutfah sumber daya hayati Indonesia. Ancaman kian tidak terelakkan. Karena pertumbuhan produktivitas sapi bali cenderung melambat di masa depan.
Selama ini, belum ada riset otentik untuk mengetahui penyebab penurunan itu. Beberapa asumsi spekulatif menyebutkan, penurunan karena jumlah petani di Bali menurun menyusul alih fungsi lahan tani tak terbendung. Secara ekonomi, sapi bali dianggap kurang menguntungkan, dan lain-lain.
Paradoks atas kondisi sapi Bali ini aneh. Karena permintaan daging sapi dalam jumlah besar akan terus meningkat sejurus dengan kecondongan pertumbuhan ekonomi nasional dan global kian positif. Oleh karena itu, sektor peternakan, khususnya sapi bali, menjadi salah satu penopang vital dalam pertumbuhan ekonomi Bali ke depan. Hal ini didukung oleh peningkatan selera masyarakat untuk menkonsumsi daging. Selera ini sepadan dengan peningkatan taraf hidup dan daya beli masyarakat karena kemajuan ekonomi.
Di saat bersamaan, masyarakat konsumen tidak sekadar membutuhkan kepastian kualitas daging. Lebih-lebih untuk restoran dan hotel, juga sangat mendambakan pasokan daging secara konsisten. Gambaran ini menandakan bahwa prospek peternakan sapi bali di Bali masih tetap terbuka lebar dalam tempo lama. Karena, menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Setjen Kementan RI tahun 2022, kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat.
Penurunan populasi tersebut jika tak diatasi tentu menjadi ancaman bagi perkembangan plasma nutfah hewani handalan Bali. Keadaan ini pula jadi paradoks atas kebijakan pemerintah dalam menggenjot pengembangan setiap plasma nutfah sumber daya hayati Indonesia. Ancaman kian tidak terelakkan. Karena pertumbuhan produktivitas sapi bali cenderung melambat di masa depan.
Selama ini, belum ada riset otentik untuk mengetahui penyebab penurunan itu. Beberapa asumsi spekulatif menyebutkan, penurunan karena jumlah petani di Bali menurun menyusul alih fungsi lahan tani tak terbendung. Secara ekonomi, sapi bali dianggap kurang menguntungkan, dan lain-lain.
Paradoks atas kondisi sapi Bali ini aneh. Karena permintaan daging sapi dalam jumlah besar akan terus meningkat sejurus dengan kecondongan pertumbuhan ekonomi nasional dan global kian positif. Oleh karena itu, sektor peternakan, khususnya sapi bali, menjadi salah satu penopang vital dalam pertumbuhan ekonomi Bali ke depan. Hal ini didukung oleh peningkatan selera masyarakat untuk menkonsumsi daging. Selera ini sepadan dengan peningkatan taraf hidup dan daya beli masyarakat karena kemajuan ekonomi.
Di saat bersamaan, masyarakat konsumen tidak sekadar membutuhkan kepastian kualitas daging. Lebih-lebih untuk restoran dan hotel, juga sangat mendambakan pasokan daging secara konsisten. Gambaran ini menandakan bahwa prospek peternakan sapi bali di Bali masih tetap terbuka lebar dalam tempo lama. Karena, menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Setjen Kementan RI tahun 2022, kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat.
Prospek tersebut telah dibaca Pemerintah Provinsi Bali hingga menumbuhkan iklim positif terhadap perkembangan sapi Bali. Pemerintah Bali menerbitkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sapi Bali. Perda ini menekankan, salah satunya, agar pelaku wisata di Bali mendorong akses pasar dengan meningkatkan konsumsi daging sapi bali untuk wisatawan.
Dari kondisi itu, maka tak ada alasan pihak berkompeten untuk tidak berupaya nyata meningkatan populasi sapi bali. Pelestarian sapi bali tak bisa hanya jargon. Sangat elok para pemegang kebijakan bersama pihak terkait memosisikan entitas sapi bali dalam kebijakan strategis perekonomian Bali masa depan.
Beberapa langkah progresif yang dapat diambil, antara lain, mengintegrasikan antara konsep pemuliaan selektif atau pemilihan bibit unggul, disertai penguatan kualitas nutrisi atau pakan sapi Bali. Kombinasi ini penting dengan mempertimbangkan langkah-langkah kompleks, terutama menggali sifat genomic (unggulan secara genetik) yang berkontribusi pada program pemuliaan sapi bali. Pun, tak terabaikan bidang strategi peningkatan kesehatan dan kemampuan bertahan hidup sapi dari serangan penyakit. Peningkatan populasi Sapi Bali secara berkelanjutan hendaknya pula tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Lebih-lebih kerusakan yang tidak dapat diperbaiki atau fatal bagi sumber daya global.
Strategi itu belum cukup. Kualitas daging sapi bali juga harus menjadi perhatian. Dalam tradisi pasar, persepsi konsumen terhadap kualitas barang sangat menentukan keputusan untuk membeli, bahkan membeli lagi. Persepsi kualitas daging sapi bali ditentukan oleh dua kelompok atribut kualitas. Pertama, atribut intrinsik menyangkut penampilan, keamanan, teknologi, karakteristik sensorik dan gizi. Kedua, atribut ekstrinsik yakni harga, citra, sistem peternakan, strategi komersial, dan lain-lain. Konsumen menghargai banyak varian kualitas daging sapi. Terutama, kualitas pada komposisi dan karakteristik otot asli serta proses post-mortem (pemeriksaan dan pemilahan organ) untuk konversi otot menjadi daging.
Berdasarkan selera konsumen, lemak daging cenderung meningkatkan nafsu makan. Sebaliknya, banyak konsumen menghindari lemak tampak, terutama karena masalah kesehatan. Merujuk pola makan sehat di beberapa negara maju, otoritas kesehatan setempat meyakinkan kepada masyarakat bahwa lemak hewani, terutama lemak jenuh, harus dikurangi atau dihindari untuk menjaga pola makan sehat. Di lain sisi, daging rendah lemak atau tanpa lemak, cenderung memiliki kualitas dan rasa yang buruk hingga rendahnya penerimaan konsumen. Gaya konsumsi seperti itu tentu kurang menguntungkan bagi sistem produksi daging sapi bali. Persepsi konsumen, terutama orang asing, menggangap kualitas daging sapi bali kurang bagus, alot, dan keras.
Di balik kondisi imaje tersebut, nilai ekonomi daging sapi bali masih bisa tingkatkan. Citra positif untuk peningkatan penerimaan konsumen terhadap daging sapi bali masih terbuka lebar. Kunci utamanya pada strategi pasar, termasuk bagaimana cara mengemas dan mempromosikan produk. Karena umumnya, setiap konsumen cenderung kognitif, dalam arti punya pengetahuan, meskipun terbatas dan belum tentu objektif, tentang kualitas produk, termasuk pada daging sapi. Karena mereka pernah sekali atau beberapa mencicipi, hingga menjadi kesimpulan pilihan selera. Akibatnya, selera nirobjektif ini menjadi faktor paling dominan membentuk, yang seolah-olah produk yang dikonsumsi paling berkualitas. Lebih-lebih, konsumen yang fanatik dengan merek sebagai simbol kualitas dan gaya hidup.
Jika mengacu pada sistem pasar, merek produk dapat membantu dalam menguatkan asa calon konsumen hingga membeli daging sapi bali. Lebih-lebih, karena tingginya variabilitas biologis dalam kualitas daging sapi (komposisi, distribusi jaringan ikat, kandungan dan komposisi lipid lemak intramuscular).
Oleh karena itu, saatnya Bali membranding daging sapi bali agar menjadi pilihan utama konsumen. Misalnya, merek ‘Daging Sapi Bali Menyehatkan Jantung’, dan jargon lain dengan diksi dan frasa yang enak dilafalkan, namun penuh makna. Makna-makna ini tak hanya berbuah daya tarik, juga bernilai edukasi tentang daging sapi bali yang berkualitas, segar, dan menyehatkan.
Fungsi branding tentu tidak cukup untuk meningkatkan harapan konsumen terhadap kualitas daging sapi bali yang luar biasa tinggi. Informasi produk tentang komposisi kandungan juga penting menjadi daya saing mutu. Antara lain, asam lemak unggul, menyehatkan, perawatan sapi bali secara tradisional, organik dan berkearifan lokal, serta proses hiegenis. Branding dengan makna positif tentu tak cukup menyembulkan imaje unggul, namun dapat menciptakan rasa kemewahan, kesenangan hingga kepuasan nyata bagi konsumen.
Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi pasar, branding dengan segala bentuk pelabelan positif akan menjadi solusi berguna dan ampuh agar sapi Bali lebih bernilai ekonomi. Branding pula menjadi bagian dari siasat penting untuk meningkatkan sektor peternakan sapi bali di Bali. 7 Prof Dr Drh I Ketut Puja M Kes (Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Cabang Bali).
Beberapa langkah progresif yang dapat diambil, antara lain, mengintegrasikan antara konsep pemuliaan selektif atau pemilihan bibit unggul, disertai penguatan kualitas nutrisi atau pakan sapi Bali. Kombinasi ini penting dengan mempertimbangkan langkah-langkah kompleks, terutama menggali sifat genomic (unggulan secara genetik) yang berkontribusi pada program pemuliaan sapi bali. Pun, tak terabaikan bidang strategi peningkatan kesehatan dan kemampuan bertahan hidup sapi dari serangan penyakit. Peningkatan populasi Sapi Bali secara berkelanjutan hendaknya pula tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Lebih-lebih kerusakan yang tidak dapat diperbaiki atau fatal bagi sumber daya global.
Strategi itu belum cukup. Kualitas daging sapi bali juga harus menjadi perhatian. Dalam tradisi pasar, persepsi konsumen terhadap kualitas barang sangat menentukan keputusan untuk membeli, bahkan membeli lagi. Persepsi kualitas daging sapi bali ditentukan oleh dua kelompok atribut kualitas. Pertama, atribut intrinsik menyangkut penampilan, keamanan, teknologi, karakteristik sensorik dan gizi. Kedua, atribut ekstrinsik yakni harga, citra, sistem peternakan, strategi komersial, dan lain-lain. Konsumen menghargai banyak varian kualitas daging sapi. Terutama, kualitas pada komposisi dan karakteristik otot asli serta proses post-mortem (pemeriksaan dan pemilahan organ) untuk konversi otot menjadi daging.
Berdasarkan selera konsumen, lemak daging cenderung meningkatkan nafsu makan. Sebaliknya, banyak konsumen menghindari lemak tampak, terutama karena masalah kesehatan. Merujuk pola makan sehat di beberapa negara maju, otoritas kesehatan setempat meyakinkan kepada masyarakat bahwa lemak hewani, terutama lemak jenuh, harus dikurangi atau dihindari untuk menjaga pola makan sehat. Di lain sisi, daging rendah lemak atau tanpa lemak, cenderung memiliki kualitas dan rasa yang buruk hingga rendahnya penerimaan konsumen. Gaya konsumsi seperti itu tentu kurang menguntungkan bagi sistem produksi daging sapi bali. Persepsi konsumen, terutama orang asing, menggangap kualitas daging sapi bali kurang bagus, alot, dan keras.
Di balik kondisi imaje tersebut, nilai ekonomi daging sapi bali masih bisa tingkatkan. Citra positif untuk peningkatan penerimaan konsumen terhadap daging sapi bali masih terbuka lebar. Kunci utamanya pada strategi pasar, termasuk bagaimana cara mengemas dan mempromosikan produk. Karena umumnya, setiap konsumen cenderung kognitif, dalam arti punya pengetahuan, meskipun terbatas dan belum tentu objektif, tentang kualitas produk, termasuk pada daging sapi. Karena mereka pernah sekali atau beberapa mencicipi, hingga menjadi kesimpulan pilihan selera. Akibatnya, selera nirobjektif ini menjadi faktor paling dominan membentuk, yang seolah-olah produk yang dikonsumsi paling berkualitas. Lebih-lebih, konsumen yang fanatik dengan merek sebagai simbol kualitas dan gaya hidup.
Jika mengacu pada sistem pasar, merek produk dapat membantu dalam menguatkan asa calon konsumen hingga membeli daging sapi bali. Lebih-lebih, karena tingginya variabilitas biologis dalam kualitas daging sapi (komposisi, distribusi jaringan ikat, kandungan dan komposisi lipid lemak intramuscular).
Oleh karena itu, saatnya Bali membranding daging sapi bali agar menjadi pilihan utama konsumen. Misalnya, merek ‘Daging Sapi Bali Menyehatkan Jantung’, dan jargon lain dengan diksi dan frasa yang enak dilafalkan, namun penuh makna. Makna-makna ini tak hanya berbuah daya tarik, juga bernilai edukasi tentang daging sapi bali yang berkualitas, segar, dan menyehatkan.
Fungsi branding tentu tidak cukup untuk meningkatkan harapan konsumen terhadap kualitas daging sapi bali yang luar biasa tinggi. Informasi produk tentang komposisi kandungan juga penting menjadi daya saing mutu. Antara lain, asam lemak unggul, menyehatkan, perawatan sapi bali secara tradisional, organik dan berkearifan lokal, serta proses hiegenis. Branding dengan makna positif tentu tak cukup menyembulkan imaje unggul, namun dapat menciptakan rasa kemewahan, kesenangan hingga kepuasan nyata bagi konsumen.
Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi pasar, branding dengan segala bentuk pelabelan positif akan menjadi solusi berguna dan ampuh agar sapi Bali lebih bernilai ekonomi. Branding pula menjadi bagian dari siasat penting untuk meningkatkan sektor peternakan sapi bali di Bali. 7 Prof Dr Drh I Ketut Puja M Kes (Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Cabang Bali).
Komentar