MDA Denpasar Sepakat Ikut Sosialisasi HIV-AIDS
DENPASAR, NusaBali - Majelis Desa Adat (MDA) Kota Denpasar menyatakan sepakat untuk turut bersinergi dalam mensosialisasikan pencegahan HIV-AIDS, dan menghapus stigma bagi orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) agar tidak sampai putus pengobatan antiretroviral.
“Desa adat siap saja bekerja sama, mari kita mensosialisasikan bersama dan diupayakan dibuat pararem,” kata Bendesa Madya MDA Denpasar Anak Agung Ketut Sudiana dalam diskusi di Denpasar, Sabtu (16/9/2023).
Diskusi bertajuk Penanganan HIV-AIDS di Desa Adat, itu juga menghadirkan perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar, Ketua Pengurus Forum Peduli AIDS (FPA) dr Made Oka Negara, perwakilan komunitas atau relawan Forum Peduli AIDS, dan undangan lainnya.
Sudiana berpandangan sosialisasi mengenai pencegahan HIV-AIDS ini penting dan sangat relevan untuk melindungi masyarakat di desa adat supaya hidupnya sehat.
Demikian pula para prajuru (pengurus) di desa penting untuk lebih proaktif, sehingga terbangun kesadaran masyarakat untuk senantiasa melakukan pencegahan.
“Kita banyak punya nilai kearifan lokal, salah satunya vasudhaiva kutumbakam yang maknanya kita semua bersaudara apapun kondisinya,” kata Sudiana.
Menurut dia, jika nilai kearifan lokal dimasukkan dalam sosialisasi diharapkan bisa mengurangi stigma terhadap ODHIV dan terbangun sikap saling menghormati.
Demikian pula dengan keterlibatan adat diyakini lebih mudah mensosialisasikan, karena konsepnya sekala niskala (jasmani rohani) dan akan lebih berhasil dengan peran pentahelix (akademisi, pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan media) secara bersama-sama.
Ketua Pengurus Forum Peduli AIDS (FPA) Kota Denpasar dr Made Oka Negara mengatakan jika stigma soal ODHIV masih terus terjadi, maka mereka yang ODHIV akan semakin tidak berani membuka diri dan menjadi takut untuk mengakses layanan kesehatan.
“Padahal bagi yang ODHIV itu obatnya sudah ada, tinggal rutin untuk dikonsumsi. Desa adat juga sangat fleksibel, bisa pula upaya pencegahan HIV-AIDS ini dimasukkan dalam pararem,” ucapnya.
Dia juga sempat menyinggung mengenai target Indonesia Bebas AIDS tahun 2030 dengan Program Three Zero, haruslah melibatkan berbagai pihak dan komponen masyarakat.
Three Zero yakni Zero New HIV Infection (nol infeksi infeksi HIV baru), Zero AIDS Related Death (nol kematian karena AIDS), dan Zero Discrimination (nol stigmatisasi).
Ni Wayanti Sriwiyanti dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar mengakui selama ini koordinasi lebih banyak dilakukan dengan perbekel dibandingkan dengan pihak desa adat.
Sedangkan sosialisasi yang pernah dilakukan dengan desa adat terkait cara pemulasaran jenazah bagi mereka yang ODHIV. “Stigma ODHIV masih tinggi di masyarakat sehingga akhirnya banyak yang menyembunyikan statusnya,” kata Sriwiyanti. 7 ant
Diskusi bertajuk Penanganan HIV-AIDS di Desa Adat, itu juga menghadirkan perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar, Ketua Pengurus Forum Peduli AIDS (FPA) dr Made Oka Negara, perwakilan komunitas atau relawan Forum Peduli AIDS, dan undangan lainnya.
Sudiana berpandangan sosialisasi mengenai pencegahan HIV-AIDS ini penting dan sangat relevan untuk melindungi masyarakat di desa adat supaya hidupnya sehat.
Demikian pula para prajuru (pengurus) di desa penting untuk lebih proaktif, sehingga terbangun kesadaran masyarakat untuk senantiasa melakukan pencegahan.
“Kita banyak punya nilai kearifan lokal, salah satunya vasudhaiva kutumbakam yang maknanya kita semua bersaudara apapun kondisinya,” kata Sudiana.
Menurut dia, jika nilai kearifan lokal dimasukkan dalam sosialisasi diharapkan bisa mengurangi stigma terhadap ODHIV dan terbangun sikap saling menghormati.
Demikian pula dengan keterlibatan adat diyakini lebih mudah mensosialisasikan, karena konsepnya sekala niskala (jasmani rohani) dan akan lebih berhasil dengan peran pentahelix (akademisi, pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan media) secara bersama-sama.
Ketua Pengurus Forum Peduli AIDS (FPA) Kota Denpasar dr Made Oka Negara mengatakan jika stigma soal ODHIV masih terus terjadi, maka mereka yang ODHIV akan semakin tidak berani membuka diri dan menjadi takut untuk mengakses layanan kesehatan.
“Padahal bagi yang ODHIV itu obatnya sudah ada, tinggal rutin untuk dikonsumsi. Desa adat juga sangat fleksibel, bisa pula upaya pencegahan HIV-AIDS ini dimasukkan dalam pararem,” ucapnya.
Dia juga sempat menyinggung mengenai target Indonesia Bebas AIDS tahun 2030 dengan Program Three Zero, haruslah melibatkan berbagai pihak dan komponen masyarakat.
Three Zero yakni Zero New HIV Infection (nol infeksi infeksi HIV baru), Zero AIDS Related Death (nol kematian karena AIDS), dan Zero Discrimination (nol stigmatisasi).
Ni Wayanti Sriwiyanti dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar mengakui selama ini koordinasi lebih banyak dilakukan dengan perbekel dibandingkan dengan pihak desa adat.
Sedangkan sosialisasi yang pernah dilakukan dengan desa adat terkait cara pemulasaran jenazah bagi mereka yang ODHIV. “Stigma ODHIV masih tinggi di masyarakat sehingga akhirnya banyak yang menyembunyikan statusnya,” kata Sriwiyanti. 7 ant
1
Komentar