Ketika Manusia Berselimut Tri Guna
Filosofi ini memberi pesan agar manusia sadar bahwa musuh utama itu adalah dirinya sendiri.
Teater Sadewa Pentaskan ‘Tragedi Di Atas Ranjang’
DENPASAR, NusaBali
Pentas seni dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) tidak melulu bicara soal seni klasik dan tradisi. Dalam beberapa kesempatan, seni modern seperti teater juga mendapatkan ruang untuk berekspresi. Di antaranya, Teater Sadewa dari Kelurahan Kesiman, Denpasar Timur, Kota Denpasar, di Gedung Ksirarnawa, Art Centre, Denpasar, Kamis (29/6) malam.
Belakangan ini tentu pecinta teater makin jarang dapat menonton pementasan teater berkualitas di Denpasar. Kalaupun ada, pementasan teater anak muda di Denpasar lebih banyak sekadar operet-operetan. Tak heran, pementasan Teater Sadewa di Pesta Kesenian Bali XXXIX ini mengobati kerinduan menonton pementasan teater berkualitas.
Teater Sadewa mementaskan lakon ‘Tragedi Di Atas Ranjang’. Lakon ini menceritakan tentang kekuatan Tri Guna (Sattwam, Rajas, Tamas) yang menguasai diri seorang raja. Raja yang memiliki seorang permaisuri cantik dan sangat mencintai sang Raja. Itu tercermin dalam dialog sang permaisuri kepada sang raja yang akan berangkat menumpas kejahatan dan pemberontakan.
Sang permaisuri mengatakan, “seperti janji kita dulu saat akan menikah. Bila bli lebih dulu meninggal, saya rela menceburkan diri ke api pengabenan bli,” Sebuah cinta sejati. Cinta sejati ini kemudian dikombinasikan dengan intrik istana berupa aroma perebutan kekuasaan.
Aroma perebutan kekuasaan bermula saat sang Patih mengetahui raja memberi selembar saputangan sebagai tali pengikat cinta. Sang Patih memanfaatkan dan menipu istrinya yang tak lain dari dayang kesayangan permaisuri, untuk mendapatkan sapu tangan tersebut. Sapu tangan itu kemudian berpindah tangan kepada seorang pemuda bernama Apramana (keponakan sang Patih).
Saat Raja kembali ke istana ia melihat sapu tangan itu berada di tangan Apramana. Raja marah dan terbakar api cemburu. Tanpa bertanya sang Raja langsung membunuh permaisuri yang sedang tidur. Tetapi betapa terkejutnya Raja ketika mengetahui dari dayangnya bahwa sapu tangan itu berpindah tangan karena ia diminta oleh suaminya (Patih) untuk meminjam sapu tangan kepada permaisuri. Dengan harapan Permaisuri menjaga keselamatan Raja dan kerajaan. Raja pun menyesal dan bunuh diri di samping permaisurinya.
Dayang yang kecewa dengan suaminya juga bunuh diri. Patih yang merasa berhasil dengan tipu muslihatnya untuk menyingkirkan raja, akhirnya juga tewas di tangan para raksasa yang juga setia kepada raja. “Konsep dasar cerita ini (Tragedi Di Atas Ranjang, red) adalah saya sebenarnya mengambil dari filosofis Tri Guna atau musuh diri. Filosofi ini memberi pesan agar manusia sadar bahwa musuh utama itu adalah dirinya sendiri. Tetapi mereka tidak sadar. Itu yang ingin saya angkat pada sebuah pertunjukkan,” terang Jayendra.
Menurut Jayendra, ketika orang mengetahui tentang musuh diri yang dapat melupakan kesejatian sebagai manusia, yang akhirnya manusia kehilangan dirinya maka dia dapat melakukan apa saja. “Dia pun dapat melakukan tindakan pembunuhan kepada orang yang betul-betul dia cintai. Ini yang saya angkat dalam cerita ini,” imbuhnya.
Jayendra selaku penulis sekaligus sutradara merasa bahagia ketika ‘Tragedi Di Atas Ranjang’ berakhir dipentaskan. Ia bahagia karena begitu besar animo penonton yang datang menonton. Gedung Ksirarnawa, Kamis malam itu, benar-benar sesak oleh penonton. Sampai-sampai penonton harus rela duduk di lesehan hingga ke tepi panggung. Kebahagiaan lainnya, karena pemain mampu menampilkan akting yang prima sesuai tuntutan karakter di naskah. Mulai dari peran kecil hingga peran utama. *in
1
Komentar