nusabali

Pertunjukan Bali Gaduh dan Bising

  • www.nusabali.com-pertunjukan-bali-gaduh-dan-bising

Seorang  pensiunan guru, dari Banjar Titih Denpasar, bernama Nyoman Wirata. Ia guru gambar di SMP 5 Denpasar, yang dulu di Jalan Surapati, pindah ke Ubung sana.

Aryantha Soethama

Pengarang

Nyoman dikenal sebagai pelukis, juga cerpenis, novelis, dan yang terpenting dia itu penyair. Sesungguhnya dia seniman lengkap, mengerti banyak hal ihwal seni pertunjukan klasik dan kontemporer. Karena itu, pendapatnya tentang seni dan budaya tak cuma pantas didengar, juga layak disimak.

Karena sudah pensiun, Nyoman punya waktu senggang. Tentu ia memanfaatkan waktu itu untuk melukis. Ia senang sekali melukis singa. Banyak kanvasnya ia penuhi dengan gurat yang bersumber dari wayang kulit, melampiaskannya dengan warna merah gelap, biru, hijau, yang membuat kanvas jadi meriah, berdenyar, dan penuh wibawa, karena ia banyak mengambil dari petualangan ke ranah tradisi yang sangat ia gemari.

Punya banyak waktu di masa pensiun, acap pula dimanfaatkan Nyoman untuk datang ke pementasan seni. Ia sering bisa ditemui di antara kerumunan anak muda yang menonton musikalisasi puisi. Nyoman bisa dipergoki menonton pertunjukan teater. Ketika Pesta Kesenian Bali (PKB) berlangsung, ia rajin ke Taman Budaya, menonton bermacam peristiwa kesenian, siang-malam.

Suatu malam Nyoman menonton pertunjukan wayang kulit, dalangnya masih belia, remaja bahkan. Sebagai penekun seni kriya, Nyoman suntuk menonton, namun ia gelisah karena tidak bisa terpusat menonton. Di halaman Facebook-nya kemudian ia menulis, tadi malam ke PKB nonton pertunjukan wayang. Penontonnya banyak dan merumput santai seperti nonton wayang di bale banjar dan dengan tertib mengikuti pertunjukan. Ujaran MC cukup menjanjikan tontonan akan menarik. Namun sayang sekali acara dengan gamelan dan tembang yang ritmis terganggu oleh suara dari pertunjukan di Arda Chandra yang keras dan membuyarkan penonton.

Nyoman mempertanyakan dengan santun, apakah tidak sebaiknya pertunjukan semacam itu digelar tertutup agar tak terpengaruh oleh bising dari pertunjukan lain? Jika PKB pernah disiniskan seperti pasar malam penuh pedagang asongan, bukan hanya itu masalahnya, tapi kebisingan satu pertunjukan dengan sound menggelegar campur aduk dengan suara di pertunjukan lainnya. Kasihanilah dalang wayang yang masih remaja, agar bisa lebih konsentrasi menjalankan tugasnya. Partisipasi penonton menikmati pertunjukan seni tradisional ini menggembirakan. Menjaga kenyamanan penonton terhadap kesenian juga seyogyanya jadi pertimbangan panitia.

Seni pertunjukan Bali memang sering tampil bising. Kalau tidak bising bukan seni pertunjukan Bali namanya. Seni kemasan yang dipertontonkan buat wisatawan pun tak sedikit yang berdenyar-denyar. Seperti lawar, kalau tidak pedas bukan lawar namanya. Lawar disantap enak justru karena pedas. Tapi, tak semua orang senang pedas. Lawar itu ibarat rujak, sedap kalau pedas.

Seni pertunjukan Bali mirip begitu. Dinilai bagus kalau meriah, bising. Generasi Bali tahun 70-80an seangkatan Nyoman Wirata, pasti sering suntuk menikmati seni pertunjukan Bali yang hening, sehingga tampil elegan. Wayang kulit tampil di tengah malam nan sunyi menggunakan damar blencong, tidak listrik. Arja atau prembon digelar di depan pura yang tenang, dibelai angin semilir di bawah beringin, sehingga penonton, yang wanita, perlu handuk melilit leher agar tidak masuk angin, terhindar dari selesma.

Generasi Nyoman tentu mengalami evolusi seni pertunjukan yang teduh menjadi bising. Generasi ini mengalami seni pertunjukan yang tampil dalam upacara-upacara adat dan keagamaan, tatkala sebuah upacara digelar di pura banjar, misalnya. Topeng Sidakarya digelar, wayang kulit lemah ditampilkan, ada orang makekawin, dan pendeta memuja, semua berlangsung berbarengan. Dalam satu waktu bersamaan terdengar olah vokal dari orang makekawin, terdengar mantra dan denting genta dari pendeta, berbarengan dengan narasi dalang diiringi gender. Saat itu pertunjukan topeng berlangsung, diiringi gamelan kekebyaran yang berdenyar-denyar. Kulkul pun dipukul, anjing menggonggong dan menjerit nyaring berebut daging-tulang di halaman luar pura. Tiba-tiba bayi-bayi menangis meminta susu dari tetek ibunya. Ada anak balita menjerit-jerit minta dibeliin balon dan boneka Power Rangers. Semua bunyi itu beraduk dengan berbagai suara dari bermacam sumber.

Orang Bali sangat menikmati kegaduhan dan kebisingan itu. Semua kemudian terhenti ketika pendeta selesai dengan mantra dan denting genta menghaturkan sesaji. Topeng Sidakarya berakhir, wayang lemah selesai. Entah kenapa, anjing-anjing yang tadi berebut tulang duduk damai kalem terengah-engah dengan lidah terjulur. Bayi-bayi terlelap dalam pangkuan ibunya. Anak-anak teduh dalam dekapan sang ayah. Semua tenang dan hening menghaturkan sembah bakti dipimpin pendeta. Klining genta terdengar jelas bulat penuh, menyatu dengan mantra-mantra. Setelah tadi gaduh, kini sangat hening.

Begitulah orang Bali memperlakukan suara dan bunyi-bunyian melalui seni pertunjukan. Meriah, bising, bersamaan, gaduh, namun suatu ketika tiba-tiba semua berakhir serentak, sehingga suasana menjadi khusuk hening, sunyi sepi tak terkatakan. *

Komentar