DPD RI Tawarkan Lima Proposal Kenegaraan
Untuk Penyempurnaan dan Penguatan Sistem Bernegara
JAKARTA, NusaBali - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menawarkan lima proposal kenegaraan sebagai penyempurnaan dan penguatan sistem bernegara, sesuai rumusan pendiri bangsa.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, lima proposal kenegaraan tersebut mempunyai kepentingan lebih luas. Bukan hanya memperkuat lembaga DPD RI. Namun, memperkuat bangsa dan negara Indonesia dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks akibat ancaman dan perubahan situasi global yang tidak menentu.
Hal tersebut, disampaikan LaNyalla dalam dialog bertema Membedah Lima Proposal Kenegaraan DPD RI, Kamis malam (21/9). "Lima proposal kenegaraan DPD RI ini muncul dari hasil temuan dan aspirasi dari 34 Provinsi dan hampir di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Persoalan yang dihadapi, sama. Yaitu, ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan," kata LaNyalla.
Dalam penelaahan DPD RI, akar persoalannya adalah konstitusi hasil perubahan di tahun 1999 hingga 2002 telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi dan meninggalkan Pancasila sebagai identitas konstitusi. Atas kesadaran tersebut, DPD RI membahas hasil temuan dan aspirasi yang diterima.
Kemudian bersepakat untuk menawarkan gagasan perbaikan Indonesia yang lebih kuat, lebih bermartabat, lebih berdaulat dengan cara kembali menerapkan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa.
"Makanya kita harus kembali kepada Pancasila. Karena bangsa ini nyatanya masih bersepakat bahwa Pancasila adalah falsafah dasar bangsa dan negara ini. Wujud dari kembali kepada Pancasila itu, tentu dengan mengembalikan konstitusi negara ini kepada rumusan para pendiri bangsa," imbuh LaNyalla.
Untuk itu, lima proposal kenegaraan DPD RI berisikan mengembalikan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya diisi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga diisi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.
Kedua, membuka peluang anggota DPR RI berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. "Sehingga anggota DPR RI tidak hanya diisi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Melainkan juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi,” ujarnya.
Sehingga, kata LaNyalla, anggota DPD RI yang juga dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, sebagai bagian dari pembentuk Undang-Undang. LaNyalla menjelaskan, proposal kedua bukan merupakan gagasan baru. Menurut dia, dunia internasional sudah melakukan itu, termasuk 12 negara di Eropa. Terbaru adalah Afrika Selatan yang membuka pintu kamar DPR tidak hanya dari unsur partai politik, tetapi juga perseorangan berbasis wilayah atau provinsi.
Sedangkan Wakil Ketua DPD RI Mahyudin mengatakan, mengenai proposal kedua DPD RI agar anggota DPR RI juga berasal dari unsur perseorangan, bukan berarti membubarkan DPD RI. Menurut Mahyudin, DPD RI tetap ada sebagai perwakilan daerah. Lantaran daerah perlu diwakili agar tidak disparitas. "Untuk proposal anggota DPR RI bisa dari perorangan, bukan berarti membubarkan DPD RI. Melainkan, setiap orang yang dinilai mampu, berkualitas, integritas, memiliki ide, gagasan, nasionalisme dan berkomitmen untuk perbaikan bangsa ini, yang tidak bisa nyaleg dari parpol bisa maju melalui peserta pemilu perorangan. Termasuk para wartawan juga,” jelas Mahyudin.
Sementara mengenai proposal kenegaraan ketiga berbunyi, memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama di kepulauan nusantara, yaitu raja dan sultan nusantara, serta suku dan penduduk asli nusantara.
Dan Utusan Golongan yang bersumber dari organisasi sosial masyarakat dan organisasi profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan ideologi, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama bagi Indonesia. Keempat, memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang-Undang di DPR. Kelima, menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi lembaga negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila. K22
1
Komentar