Tradisi Turun Temurun, Sebagai Simbol Panglukatan Ida Bhatari Gangga
Pengantin di Banjar Dentiyis, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar Lestarikan Kembali Tradisi Mandi di Sungai
Tradisi ini di era modern mengalami pergeseran, mempelai yang awalnya harus jalan kaki menuju sungai, kini cukup membersihkan diri di kamar mandi atau nunas tirta
GIANYAR, NusaBali
Empat pasang pengantin baru melangsungkan perkawinan di Banjar Dentiyis, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Rabu (20/9) dan Jumat (22/9) lalu. Dua pasang di antaranya melestarikan kembali tradisi pengantin mandi di sungai. Keduanya, yakni pasangan Wayan Eka Pratama-Ni Wayan Aristyani dan pasangan I Wayan Bastina-Ni Wayan Tryana Pertiwi.
Mempelai harus terjun ke sungai dan rela basah-basahan. Aksi mandi para pengantin ini pun menarik perhatian warga. Di era modern, tradisi mandi di sungai ini sudah mulai ditinggalkan. Pertama karena alasan efektivitas waktu, kedua karena kondisi sungai yang tercemar. Namun sungai di Banjar Dentiyis dijaga kebersihannya, sehingga aman digunakan untuk tradisi mandi ini. Dalam keseharian, sungai-sungai ini biasa didatangi warga untuk mandi dan berendam.
Mangku Ketut Suandika,54, menjelaskan tradisi mandi di sungai ini diwarisi secara turun temurun berdasarkan kuna dresta.
Empat pasang pengantin baru melangsungkan perkawinan di Banjar Dentiyis, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Rabu (20/9) dan Jumat (22/9) lalu. Dua pasang di antaranya melestarikan kembali tradisi pengantin mandi di sungai. Keduanya, yakni pasangan Wayan Eka Pratama-Ni Wayan Aristyani dan pasangan I Wayan Bastina-Ni Wayan Tryana Pertiwi.
Mempelai harus terjun ke sungai dan rela basah-basahan. Aksi mandi para pengantin ini pun menarik perhatian warga. Di era modern, tradisi mandi di sungai ini sudah mulai ditinggalkan. Pertama karena alasan efektivitas waktu, kedua karena kondisi sungai yang tercemar. Namun sungai di Banjar Dentiyis dijaga kebersihannya, sehingga aman digunakan untuk tradisi mandi ini. Dalam keseharian, sungai-sungai ini biasa didatangi warga untuk mandi dan berendam.
Mangku Ketut Suandika,54, menjelaskan tradisi mandi di sungai ini diwarisi secara turun temurun berdasarkan kuna dresta.
Foto: Jro Mangku Ketut Suwandika. -IST
Tradisi ini kaya makna mengenai tahapan hidup dari Brahmacari menuju Grhasta Asrama. Bertujuan untuk membersihkan mempelai secara sekala niskala. "Mandi ke Tukad (sungai) bagi mempelai itu wajib sebenarnya. Nunas panglukatan Ida Bhatari Gangga untuk menyucikan mempelai secara lahir batin, dengan harapan mendapat momongan anak suputra," jelas Pamangku Pura Dalem Sukaluwih ini saat ditemui, Selasa (26/9).
Namun tak dipungkiri, seiring berjalannya waktu memang ada pergeseran. Mempelai yang awalnya harus jalan kaki menuju sungai, kini cukup membersihkan diri di kamar mandi. Bahkan ada yang lebih efektif dilakukan dengan nunas tirta saja. "Ya memang mulai ada pergeseran-peegeseran. Itu karena Hindu di Bali sifatnya fleksibel," jelas Ketua Bidang Upakara PSN Gianyar ini. Namun Jro Mangku berharap tradisi ini tetap lestari. Mengingat ada banyak makna yang terkandung dalam tradisi ini.
Salah satu misalnya ketika mempelai pria menghanyutkan pakaian kemudian ditangkap oleh mempelai wanita. Hal ini dimaknai bahwa pasangan ini sudah siap menapaki hidup baru, hidup berumahtangga. Selain itu, pelestarian tradisi ini juga secara tidak langsung telah mengajarkan generasi muda untuk menjaga kebersihan sungai. "Jadi ada niat dari warga setempat untuk menjaga sungai tetap bersih, sebab akan dijadikan lokasi mandi oleh pengantin," jelasnya. Selain pengantin, upacara Megedong-gedongan juga secara turun temurun diwarisi bahwa digelar di sungai. 7 nvi
Tradisi ini kaya makna mengenai tahapan hidup dari Brahmacari menuju Grhasta Asrama. Bertujuan untuk membersihkan mempelai secara sekala niskala. "Mandi ke Tukad (sungai) bagi mempelai itu wajib sebenarnya. Nunas panglukatan Ida Bhatari Gangga untuk menyucikan mempelai secara lahir batin, dengan harapan mendapat momongan anak suputra," jelas Pamangku Pura Dalem Sukaluwih ini saat ditemui, Selasa (26/9).
Namun tak dipungkiri, seiring berjalannya waktu memang ada pergeseran. Mempelai yang awalnya harus jalan kaki menuju sungai, kini cukup membersihkan diri di kamar mandi. Bahkan ada yang lebih efektif dilakukan dengan nunas tirta saja. "Ya memang mulai ada pergeseran-peegeseran. Itu karena Hindu di Bali sifatnya fleksibel," jelas Ketua Bidang Upakara PSN Gianyar ini. Namun Jro Mangku berharap tradisi ini tetap lestari. Mengingat ada banyak makna yang terkandung dalam tradisi ini.
Salah satu misalnya ketika mempelai pria menghanyutkan pakaian kemudian ditangkap oleh mempelai wanita. Hal ini dimaknai bahwa pasangan ini sudah siap menapaki hidup baru, hidup berumahtangga. Selain itu, pelestarian tradisi ini juga secara tidak langsung telah mengajarkan generasi muda untuk menjaga kebersihan sungai. "Jadi ada niat dari warga setempat untuk menjaga sungai tetap bersih, sebab akan dijadikan lokasi mandi oleh pengantin," jelasnya. Selain pengantin, upacara Megedong-gedongan juga secara turun temurun diwarisi bahwa digelar di sungai. 7 nvi
1
Komentar