Angkutan Wisata di Bali akan Dilabeli
Jaminan Pelayanan, Kategori Silver, Gold dan Platinum
DENPASAR, NusaBali - Kualitas angkutan wisata di Bali menjadi sorotan insan pariwisata, sebab mulai tergiring sistem pasar bebas dengan memainkan tarif harga.
Di samping itu, kualitas layanannya jomplang dan merusak pasar. Merespons hal ini, Pemprov Bali membentuk konsorsium Kreta Bali Smita untuk menstandarisasi angkutan wisata.
Konsorsium yang berbentuk Kerja Sama Opersional (KSO) ini dimotori Perumda Kerthi Bali Santhi sebagai wakil Pemprov Bali. Perumda yang bergerak di bidang pengembangan pariwisata digital ini lantas menggandeng auditor global PT TÜV Rheinland Indonesia, DPD Organda Bali, dan tech-enabler nasional yang sudah go
ASEAN, PT Indo Trans Teknologi (TransTRACK).
KSO empat perusahaan dan organisasi ini telah diresmikan melalui acara penandandatanganan perjanjian kerja sama di Aula ETNA, Kantor Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Jalan Letjen TNI Siswondo Parman, Niti Mandala Denpasar, Jumat (6/10). Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Provinsi Bali I Gde Wayan Samsi Gunarta menjelaskan, penataan angkutan wisata dipandang krusial menyusul Pergub Bali Nomor 28 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Pariwisata Bali. Di mana, keberadaan angkutan wisata di Bali harus diselamatkan dari pasar bebas dengan tata kelola yang lebih baik.
"Labeling ini dilakukan sebagai upaya agar tidak terjadi konflik angkutan wisata. Di mana, setiap wisatawan yang datang ke Bali itu memakai angkutan wisata yang legal, jelas tarifnya dan kualitas layanannya," beber Samsi Gunarta kepada awak media di sela acara. Alit Putra Christ Manuel Situmeang, Direktur Utama Perumda Kerthi Bali Santhi menuturkan setiap entitas yang terlibat dalam program labeling angkutan wisata ini memiliki tugas masing-masing. Kerthi Bali Santhi khususnya, bertugas menjembatani Pemprov Bali termasuk Dishub dengan KSO.
"Dishub bertugas menyusun petunjuk teknis (juknis) dan desain labeling. TÜV Rheinland bekerja sama dengan Dishub menyusun persyaratan, komponen, dan kriteria labeling. TransTRACK sebagai pihak pengadaan teknologi Fleet Management System (FMS). Kemudian, Organda bersama kami melakukan sosialisasi kepada anggota," jelas Alit Putra.
Proses labeling ini akan dilakukan secara sukarela dan bersifat bussiness-to-bussiness (B2B). Sebab, dilihat dari regulasi pemerintah daerah tidak berwenang mengatur angkutan wisata yang menjadi ranah Kementerian Perhubungan RI. Kemudian, labeling ini akan bersifat memaksakan apabila dijadikan kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, jalan tengahnya adalah model B2B. Perusahaan angkutan wisata yang ingin menstandardisasi angkutan mereka akan berhubungan bisnis dengan KSO Kreta Bali Smita. Selain lebih fleksibel, pola ini juga tidak membebankan APBD Provinsi Bali. Samsi Gunarta menegaskan, pada prinsipnya, aktivitas pariwisata adalah B2B dan pemerintah hanya sebagai regulator. Menyesuaikan model B2B ini, TransTRACK menawarkan skema langganan FMS yang mencakup labeling gratis. Kata Founder dan CEO TransTRACK, Anggia Meisesari perusahaan angkutan wisata yang berlangganan FMS akan dibantu proses labeling-nya secara gratis.
"Perusahaan yang berlangganan FMS TransTRACK senilai Rp 499.000 per bulan per unit di TransTRACK akan dibantu proses labeling secara gratis. Namun begitu, labeling ini tidak mutlak menggunakan FMS kami. Kami bisa bantu menyesuaikan apabila telah berlangganan FMS lain," ujar Anggia. FMS menjadi komponen dasar yang harus dimiliki perusahaan angkutan wisata untuk memenuhi juknis labeling. Di mana, secara sederhana, FMS ini terdiri dari GPS, sensor, dan kamera untuk mengetahui posisi kendaraan, memonitor penggunaan bahan bakar, dan memantau perilaku pengemudi angkutan wisata.
Dijelaskan I Nyoman Susila, Direktur Utama TÜV Rheinland Indonesia, proses labeling terdiri dari beberapa tahap. Beberapa di antaranya ada registrasi, penyesuaian kendaraan terhadap juknis, asesmen mandiri, pengajuan pelabelan, audit, dan penerbitan label. Pertama, perusahaan angkutan wisata dapat mendaftarkan diri lebih dulu di situs https://www.kbsmita.id untuk mendapat informasi labeling lebih lanjut. Kemudian, berdasarkan juknis labeling, perusahaan lebih dulu memastikan dan melengkapi persyaratan, komponen, dan kriteria labeling.
Setelah memenuhi apa-apa saja yang dipedomani oleh juknis, perusahaan diperkenankan melakukan asesmen mandiri. Hal ini guna memastikan, perusahaan dan kendaraan mereka telah memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam juknis. Kemudian, perusahaan dapat mengajukan pelabelan apabila perusahaan sudah percaya diri dengan kepatuhan mereka terhadap juknis. "Kami akan memastikan kesesuaian persyaratan, komponen, dan kriteria labeling itu telah dipenuhi. Audit akan dilakukan secara on-site (langsung di lokasi) untuk memverifikasi kesesuaian terhadap juknis. Baru kemudian dari audit itu kami menerbitkan label, apakah itu kategori Silver, Gold, atau Platinum," ungkap Susila.
Angkutan wisata berkategori Silver mengacu kepada kriteria dasar angkutan wisata seusai Peraturan Menteri Perhubungan RI dan telah mengaplikasikan FMS dasar. Untuk kategori Gold, kendaraan yang sudah memenuhi kriteria Silver telah dilengkapi komponen FMS yang lebih lengkap, ISO 9000, dan fasilitas lainnya di dalam kabin kendaraan.
Untuk kategori Platinum, kendaraan yang sudah memenuhi kriteria Gold harus memiliki komitmen terhadap manajemen lingkungan. Dalam hal ini, angkutan wisata berkategori Platinum harus ramah lingkungan, menggunakan energi baru dan terbarukan. Misalnya angkutan wisata bertenaga baterai atau listrik. "Audit tahunan akan dilakukan untuk memonitor perkembangan dari kendaraan yang sudah terlabeli. Apakah mereka konsisten, perlu di-upgrade kategorinya, atau justru menurun kategorinya. Label ini berlaku hingga tiga tahun," tutur Susila.
Lanjut Susila, kendaraan yang sudah melakukan labeling akan ditempeli stiker berlogo Jalak Bali dari Kreta Bali Smita. Dalam stiker ini juga berisi kategori kendaraan dan QR Code. Kode ini dicantumkan agar pengguna kendaraan, dalam hal ini wisatawan, bisa mengetahui legalitas, kualitas, dan track record kendaraan juga pengemudinya.
Kadis Pariwisata Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, selaku user dari program labeling menerangkan, kenyamanan dan keselamatan wisatawan bisa dijamin dengan pelabelan angkutan kendaraan ini. Hal ini dinilai akan mempengaruhi peningkatan kualitas dan standar jasa transportasi kepariwisataan di Bali. "Jadi para wisatawan itu tidak hanya mendapatkan pelayanan yang baik di airport dan hotel, tetapi juga saat mereka menggunakan transportasi darat di Bali. Labeling ini menjamin kendaraan angkutan wisata memiliki izin dan sertifikasi sehingga meminimalisir angkutan wisata bodong," tegas Tjok Pemayun.
KSO Kreta Bali Smita mengincar sekitar 12.000 potensi angkutan wisata di Organda Bali bisa ter-labeling. Dengan begitu, wisatawan ada jaminan ketika mereka menggunakan transportasi darat di Bali. Dan, pemerintah pun bisa memberikan jaminan bermodal label yang dimiliki angkutan wisata. "Kami melihat kualitas angkutan pariwisata kita memang kurang karena asal kendaraan masuk bisa jadi (angkutan wisata). Nah, bagaimana sekarang angkutan pariwisata kita bisa memberikan melayanan yang bagus dengan adanya grade. Hal ini memberikan kegembiraan tersendiri bagi kami," tukas Ketua DPD Organda Bali I Ketut Eddy Dharma Putra. 7 ol1
Konsorsium yang berbentuk Kerja Sama Opersional (KSO) ini dimotori Perumda Kerthi Bali Santhi sebagai wakil Pemprov Bali. Perumda yang bergerak di bidang pengembangan pariwisata digital ini lantas menggandeng auditor global PT TÜV Rheinland Indonesia, DPD Organda Bali, dan tech-enabler nasional yang sudah go
ASEAN, PT Indo Trans Teknologi (TransTRACK).
KSO empat perusahaan dan organisasi ini telah diresmikan melalui acara penandandatanganan perjanjian kerja sama di Aula ETNA, Kantor Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Jalan Letjen TNI Siswondo Parman, Niti Mandala Denpasar, Jumat (6/10). Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Provinsi Bali I Gde Wayan Samsi Gunarta menjelaskan, penataan angkutan wisata dipandang krusial menyusul Pergub Bali Nomor 28 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Pariwisata Bali. Di mana, keberadaan angkutan wisata di Bali harus diselamatkan dari pasar bebas dengan tata kelola yang lebih baik.
"Labeling ini dilakukan sebagai upaya agar tidak terjadi konflik angkutan wisata. Di mana, setiap wisatawan yang datang ke Bali itu memakai angkutan wisata yang legal, jelas tarifnya dan kualitas layanannya," beber Samsi Gunarta kepada awak media di sela acara. Alit Putra Christ Manuel Situmeang, Direktur Utama Perumda Kerthi Bali Santhi menuturkan setiap entitas yang terlibat dalam program labeling angkutan wisata ini memiliki tugas masing-masing. Kerthi Bali Santhi khususnya, bertugas menjembatani Pemprov Bali termasuk Dishub dengan KSO.
"Dishub bertugas menyusun petunjuk teknis (juknis) dan desain labeling. TÜV Rheinland bekerja sama dengan Dishub menyusun persyaratan, komponen, dan kriteria labeling. TransTRACK sebagai pihak pengadaan teknologi Fleet Management System (FMS). Kemudian, Organda bersama kami melakukan sosialisasi kepada anggota," jelas Alit Putra.
Proses labeling ini akan dilakukan secara sukarela dan bersifat bussiness-to-bussiness (B2B). Sebab, dilihat dari regulasi pemerintah daerah tidak berwenang mengatur angkutan wisata yang menjadi ranah Kementerian Perhubungan RI. Kemudian, labeling ini akan bersifat memaksakan apabila dijadikan kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, jalan tengahnya adalah model B2B. Perusahaan angkutan wisata yang ingin menstandardisasi angkutan mereka akan berhubungan bisnis dengan KSO Kreta Bali Smita. Selain lebih fleksibel, pola ini juga tidak membebankan APBD Provinsi Bali. Samsi Gunarta menegaskan, pada prinsipnya, aktivitas pariwisata adalah B2B dan pemerintah hanya sebagai regulator. Menyesuaikan model B2B ini, TransTRACK menawarkan skema langganan FMS yang mencakup labeling gratis. Kata Founder dan CEO TransTRACK, Anggia Meisesari perusahaan angkutan wisata yang berlangganan FMS akan dibantu proses labeling-nya secara gratis.
"Perusahaan yang berlangganan FMS TransTRACK senilai Rp 499.000 per bulan per unit di TransTRACK akan dibantu proses labeling secara gratis. Namun begitu, labeling ini tidak mutlak menggunakan FMS kami. Kami bisa bantu menyesuaikan apabila telah berlangganan FMS lain," ujar Anggia. FMS menjadi komponen dasar yang harus dimiliki perusahaan angkutan wisata untuk memenuhi juknis labeling. Di mana, secara sederhana, FMS ini terdiri dari GPS, sensor, dan kamera untuk mengetahui posisi kendaraan, memonitor penggunaan bahan bakar, dan memantau perilaku pengemudi angkutan wisata.
Dijelaskan I Nyoman Susila, Direktur Utama TÜV Rheinland Indonesia, proses labeling terdiri dari beberapa tahap. Beberapa di antaranya ada registrasi, penyesuaian kendaraan terhadap juknis, asesmen mandiri, pengajuan pelabelan, audit, dan penerbitan label. Pertama, perusahaan angkutan wisata dapat mendaftarkan diri lebih dulu di situs https://www.kbsmita.id untuk mendapat informasi labeling lebih lanjut. Kemudian, berdasarkan juknis labeling, perusahaan lebih dulu memastikan dan melengkapi persyaratan, komponen, dan kriteria labeling.
Setelah memenuhi apa-apa saja yang dipedomani oleh juknis, perusahaan diperkenankan melakukan asesmen mandiri. Hal ini guna memastikan, perusahaan dan kendaraan mereka telah memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam juknis. Kemudian, perusahaan dapat mengajukan pelabelan apabila perusahaan sudah percaya diri dengan kepatuhan mereka terhadap juknis. "Kami akan memastikan kesesuaian persyaratan, komponen, dan kriteria labeling itu telah dipenuhi. Audit akan dilakukan secara on-site (langsung di lokasi) untuk memverifikasi kesesuaian terhadap juknis. Baru kemudian dari audit itu kami menerbitkan label, apakah itu kategori Silver, Gold, atau Platinum," ungkap Susila.
Angkutan wisata berkategori Silver mengacu kepada kriteria dasar angkutan wisata seusai Peraturan Menteri Perhubungan RI dan telah mengaplikasikan FMS dasar. Untuk kategori Gold, kendaraan yang sudah memenuhi kriteria Silver telah dilengkapi komponen FMS yang lebih lengkap, ISO 9000, dan fasilitas lainnya di dalam kabin kendaraan.
Untuk kategori Platinum, kendaraan yang sudah memenuhi kriteria Gold harus memiliki komitmen terhadap manajemen lingkungan. Dalam hal ini, angkutan wisata berkategori Platinum harus ramah lingkungan, menggunakan energi baru dan terbarukan. Misalnya angkutan wisata bertenaga baterai atau listrik. "Audit tahunan akan dilakukan untuk memonitor perkembangan dari kendaraan yang sudah terlabeli. Apakah mereka konsisten, perlu di-upgrade kategorinya, atau justru menurun kategorinya. Label ini berlaku hingga tiga tahun," tutur Susila.
Lanjut Susila, kendaraan yang sudah melakukan labeling akan ditempeli stiker berlogo Jalak Bali dari Kreta Bali Smita. Dalam stiker ini juga berisi kategori kendaraan dan QR Code. Kode ini dicantumkan agar pengguna kendaraan, dalam hal ini wisatawan, bisa mengetahui legalitas, kualitas, dan track record kendaraan juga pengemudinya.
Kadis Pariwisata Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, selaku user dari program labeling menerangkan, kenyamanan dan keselamatan wisatawan bisa dijamin dengan pelabelan angkutan kendaraan ini. Hal ini dinilai akan mempengaruhi peningkatan kualitas dan standar jasa transportasi kepariwisataan di Bali. "Jadi para wisatawan itu tidak hanya mendapatkan pelayanan yang baik di airport dan hotel, tetapi juga saat mereka menggunakan transportasi darat di Bali. Labeling ini menjamin kendaraan angkutan wisata memiliki izin dan sertifikasi sehingga meminimalisir angkutan wisata bodong," tegas Tjok Pemayun.
KSO Kreta Bali Smita mengincar sekitar 12.000 potensi angkutan wisata di Organda Bali bisa ter-labeling. Dengan begitu, wisatawan ada jaminan ketika mereka menggunakan transportasi darat di Bali. Dan, pemerintah pun bisa memberikan jaminan bermodal label yang dimiliki angkutan wisata. "Kami melihat kualitas angkutan pariwisata kita memang kurang karena asal kendaraan masuk bisa jadi (angkutan wisata). Nah, bagaimana sekarang angkutan pariwisata kita bisa memberikan melayanan yang bagus dengan adanya grade. Hal ini memberikan kegembiraan tersendiri bagi kami," tukas Ketua DPD Organda Bali I Ketut Eddy Dharma Putra. 7 ol1
Komentar