Singa Itu Ternyata Raja Berkisah
SALAH satu acara menarik dalam Singaraja Literary Festival (SLF) yang diselenggarakan 29/9/2023 hingga 1/10/2023 adalah peluncuran buku kumpulan cerpen Singa Raja Berkisah, Setangkup Cerita dari Bali Utara.
Antologi setebal 280 halaman ini memuat 24 cerpen karya cerpenis muda berusia belum 25 tahun, sampai lansia menjelang 70 tahun. Penerbitnya Mahima Institute Indonesia, dengan kata pengantar kritikus sastra Made Sujaya.
Tak cuma rentang usia penulisnya yang variatif, latar belakang 24 cerpenisnya juga beraneka ragam: mahasiswa, guru, wartawan, pedagang, ibu rumah tangga, karyawati bank, dosen, dokter, penggiat lembaga swadaya masyarakat, orang patah hati, dan pengangguran.
Kalau ditimbang-timbang, antologi ini buku langka. Sejauh ini, baru dua antologi cerpen kota lahir di Bali. Maka peluncuran antologi cerpen saat SLF itu sesungguhnya bisa menjadi kerinduan agar kota-kota lain di Bali juga menerbitkan antologi cerita. Tahun 2015, terbit Denpasar Kota Persimpangan Sanur Tetap Ramai, 25 Cerpen Dalam 60 Tahun (324 halaman) dengan editor I Nyoman Darma Putra. Ini buku bersejarah, Walikota Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, meluncurkan buku itu.
Kendati buku kumpulan cerpen ini terkesan digarap diam-diam, tapi sepantasnya karya ini dibaca dengan seksama. Kita akan jadi tahu betapa kota Singaraja adalah sosok singa yang ternyata punya banyak kisah. Kisahnya beraneka macam, yang mengajak kita berkelana, sehingga kita jadi tahu, ternyata Singaraja itu, Bali Utara, sangat kaya dengan bentang cerita.
Kisah-kisah itu menjadi kian menarik karena ditulis kaum cerpenis bermacam latar belakang. Jadilah antologi ini semarak dengan kisah sendu, semangat, pasrah, pergolakan, protes, dan senda gurau. Ada juga cerita kriminal, kisah hantu, perbudakan, dagang kopi cantik yang bisa digerayangi dan diuyel-uyel, atau genitnya para waria. Khas, meriah, ramai. Semua kisah itu berangkat dari riwayat keberadaan Kota Singaraja dan Bali Utara.
Membaca kumcer ini kita akan semakin paham, betapa orang Buleleng lebih egaliter, lebih demokratis. Kendati mereka dikenal tidak bisa berbisik, karena sering bicara keras-keras seperti orang berkelahi, mereka bangga dengan perilaku itu. Mereka merasa lebih akrab antar-sesama, mengaku lebih karib dibanding rekan-rekan mereka dari Bali Selatan. Gaya bahasa lugas, langsung, menyodok, ini bisa dibaca dalam cerpen ‘Rok Mini Taman Limpit’ karya Luh Dian Ayu Lestari dalam antologi ini.
Secara tidak langsung kumpulan cerita ini mengingatkan kita tentang dinamika seni pertunjukan di Bali Utara dan Bali Selatan yang tak bisa dikatakan sama. Drama gong misalnya, orang-orang Bali Utara mengklaim pagelaran mereka punya gaya tersendiri, tak bisa dikatakan sama. Seniman Bali Selatan pun menjelaskan, bahwa mereka juga punya gaya tersendiri. Bali Utara dalam berkesenian, dalam seni tradisi maupun modern, lebih leluasa menggali, sehingga ciptaan-ciptaan dan karya pentas mereka lebih mengikuti suasana zaman dan lebih enerjik. Tari Teruna Jaya misalnya, yang diciptakan Pan Wadres, disempurnakan oleh Gede Manik, dalam bentuk kebyar legong, lebih mencerminkan gejolak menerima modernisasi gerak tabuh dan tari.
Ciri-ciri karya sebagai seniman dari Bali Utara itu juga sangat terasa ketika komunitas budaya Mahima dari Singaraja mementaskan drama panggung tentang biografi Nyoman Rai Srimben, ibu kandung Soekarno, proklamator RI, dalam Pesta Kesenian Bali (10/7/2018). Mereka memadukan teater, gerak, tari, lagu, dengan iringan musik tradisi dan modern. Ada narasi untuk mempertegas dan memperjelas cerita seperti yang disampaikan dalang dalam sendratari. Sebuah garapan panggung yang tak mudah bisa kita jumpai dikerjakan oleh seniman modern dari Bali Selatan.
Kenapa garapan seni Bali Utara beda dengan Bali Selatan? Karena tipikal manusianya memang beda. Seni itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perilaku para pelaku dan penikmatnya.
Agaknya Buleleng penting punya pesta kesenian tersendiri, selain festival sastra, agar kekayaan dan kejayaan seni Bali Utara lebih leluasa dipanggungkan. 7
Tak cuma rentang usia penulisnya yang variatif, latar belakang 24 cerpenisnya juga beraneka ragam: mahasiswa, guru, wartawan, pedagang, ibu rumah tangga, karyawati bank, dosen, dokter, penggiat lembaga swadaya masyarakat, orang patah hati, dan pengangguran.
Kalau ditimbang-timbang, antologi ini buku langka. Sejauh ini, baru dua antologi cerpen kota lahir di Bali. Maka peluncuran antologi cerpen saat SLF itu sesungguhnya bisa menjadi kerinduan agar kota-kota lain di Bali juga menerbitkan antologi cerita. Tahun 2015, terbit Denpasar Kota Persimpangan Sanur Tetap Ramai, 25 Cerpen Dalam 60 Tahun (324 halaman) dengan editor I Nyoman Darma Putra. Ini buku bersejarah, Walikota Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, meluncurkan buku itu.
Kendati buku kumpulan cerpen ini terkesan digarap diam-diam, tapi sepantasnya karya ini dibaca dengan seksama. Kita akan jadi tahu betapa kota Singaraja adalah sosok singa yang ternyata punya banyak kisah. Kisahnya beraneka macam, yang mengajak kita berkelana, sehingga kita jadi tahu, ternyata Singaraja itu, Bali Utara, sangat kaya dengan bentang cerita.
Kisah-kisah itu menjadi kian menarik karena ditulis kaum cerpenis bermacam latar belakang. Jadilah antologi ini semarak dengan kisah sendu, semangat, pasrah, pergolakan, protes, dan senda gurau. Ada juga cerita kriminal, kisah hantu, perbudakan, dagang kopi cantik yang bisa digerayangi dan diuyel-uyel, atau genitnya para waria. Khas, meriah, ramai. Semua kisah itu berangkat dari riwayat keberadaan Kota Singaraja dan Bali Utara.
Membaca kumcer ini kita akan semakin paham, betapa orang Buleleng lebih egaliter, lebih demokratis. Kendati mereka dikenal tidak bisa berbisik, karena sering bicara keras-keras seperti orang berkelahi, mereka bangga dengan perilaku itu. Mereka merasa lebih akrab antar-sesama, mengaku lebih karib dibanding rekan-rekan mereka dari Bali Selatan. Gaya bahasa lugas, langsung, menyodok, ini bisa dibaca dalam cerpen ‘Rok Mini Taman Limpit’ karya Luh Dian Ayu Lestari dalam antologi ini.
Secara tidak langsung kumpulan cerita ini mengingatkan kita tentang dinamika seni pertunjukan di Bali Utara dan Bali Selatan yang tak bisa dikatakan sama. Drama gong misalnya, orang-orang Bali Utara mengklaim pagelaran mereka punya gaya tersendiri, tak bisa dikatakan sama. Seniman Bali Selatan pun menjelaskan, bahwa mereka juga punya gaya tersendiri. Bali Utara dalam berkesenian, dalam seni tradisi maupun modern, lebih leluasa menggali, sehingga ciptaan-ciptaan dan karya pentas mereka lebih mengikuti suasana zaman dan lebih enerjik. Tari Teruna Jaya misalnya, yang diciptakan Pan Wadres, disempurnakan oleh Gede Manik, dalam bentuk kebyar legong, lebih mencerminkan gejolak menerima modernisasi gerak tabuh dan tari.
Ciri-ciri karya sebagai seniman dari Bali Utara itu juga sangat terasa ketika komunitas budaya Mahima dari Singaraja mementaskan drama panggung tentang biografi Nyoman Rai Srimben, ibu kandung Soekarno, proklamator RI, dalam Pesta Kesenian Bali (10/7/2018). Mereka memadukan teater, gerak, tari, lagu, dengan iringan musik tradisi dan modern. Ada narasi untuk mempertegas dan memperjelas cerita seperti yang disampaikan dalang dalam sendratari. Sebuah garapan panggung yang tak mudah bisa kita jumpai dikerjakan oleh seniman modern dari Bali Selatan.
Kenapa garapan seni Bali Utara beda dengan Bali Selatan? Karena tipikal manusianya memang beda. Seni itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perilaku para pelaku dan penikmatnya.
Agaknya Buleleng penting punya pesta kesenian tersendiri, selain festival sastra, agar kekayaan dan kejayaan seni Bali Utara lebih leluasa dipanggungkan. 7
Pengarang
Aryantha Soethama
1
Komentar