Kopi Kejapa, Kopi Premium dari Buleleng
SINGARAJA, NusaBali - Kabupaten Buleleng dikenal sebagai salah satu sentra produksi kopi terbesar di Indonesia. Tak heran jika banyak petani kopi di Buleleng yang berlomba-lomba untuk mengembangkan bisnis kopi mereka.
Salah satunya adalah Gede Widarma, 49, petani kopi asal Banjar Wanasari, Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar. Bisnis kopi bubuk dengan brand kopi Kejapa ini meneruskan usaha ayahnya yang berproses sejak tahun 1980an. Namun produk kopi bubuknya baru berkembang setelah pandemi Covid-19 melanda.
“Kopi Kejapa memiliki keunggulan rasa yang konsisten dan tidak terlalu pahit. Hal ini karena biji kopi yang digunakan adalah biji kopi petik merah, yang memiliki kualitas lebih baik,” kata Widarma.
Nama ‘Kejapa’ diterjemahkan ‘mau kemana’. Tetapi secara implisit Kejapa ternyata adalah singkatan dari nama anak-anak Widarma yakni Kembar Jaya Paramita.
Awal produksi kopi bubuk hanya satu varian saja, yakni Kopi Kejapa. Serbuk Kopi Kejapa berasal dari kopi robusta yang tumbuh di lahan keluarga. “Keunggulan kopi kami baik yang robusta maupun arabika, rasanya konsisten, tidak terlalu pahit. Karena memang dari pengolahan green bean berbeda, selalu menggunakan biji kopi petik merah,” terangnya.
Widarma mulai mengembangkan produksi kopi bubuknya saat pariwisata mati suri saat pandemi Covid-19. Dia pun akhirnya melebarkan sayap memproduksi bubuk kopi dengan berbagai varian. Mulai dari Kopi Kejapa sebagai cikal bakal sejak tahun 1980 an, kopi arabika full wash, arabica natural, robusta golden honey dan robusta blend.
Untuk varian Arabica Natural dibanderol dengan harga Rp 235 ribu per kilogram. Arabica Full Wash dengan harga Rp 210 ribu per kilogram, Robusta Blend Rp 170 ribu per kilogram, Robusta Golden Honey Rp 130 ribu per kilogram dan Kopi Kejapa Rp 90 ribu per kilogram.
Dari lima varian kopinya yang paling laris adalah Kopi Kejapa yang diminati oleh warga lokal Bali. Omzet penjualan per bulannya pun menyentuh angka Rp 30 juta dengan serapan biji kopi 1 ton per bulan.
Namun produk spesialnya adalah Robusta Golden Honey. Varian ini disebut Widarma melalui tahapan fermentasi selama tiga hari sebelum dikeringkan dan di-roasting, sehingga ada rasa dan aroma madu saat bubuk kopi diseduh. “Robusta Golden Honey ini memang perlakuannya khusus dan prosesnya lebih panjang. Selain memang memakai biji kopi premium petikan merah dan disortir selektif sebelum difermentasi dan dikeringkan,” kata dia.
Sejauh ini pemasaran produk Kopi Kejapa hanya dari mulut ke mulut. Khusus untuk kopi premium biasanya dibeli oleh ekspatriat yang tinggal di daerah Lovina. Widarma pun menyebut kopi bubuknya baru akan diproses saat ada pesanan untuk menjaga kualitas dan kesegaran produk. 7k23
“Kopi Kejapa memiliki keunggulan rasa yang konsisten dan tidak terlalu pahit. Hal ini karena biji kopi yang digunakan adalah biji kopi petik merah, yang memiliki kualitas lebih baik,” kata Widarma.
Nama ‘Kejapa’ diterjemahkan ‘mau kemana’. Tetapi secara implisit Kejapa ternyata adalah singkatan dari nama anak-anak Widarma yakni Kembar Jaya Paramita.
Awal produksi kopi bubuk hanya satu varian saja, yakni Kopi Kejapa. Serbuk Kopi Kejapa berasal dari kopi robusta yang tumbuh di lahan keluarga. “Keunggulan kopi kami baik yang robusta maupun arabika, rasanya konsisten, tidak terlalu pahit. Karena memang dari pengolahan green bean berbeda, selalu menggunakan biji kopi petik merah,” terangnya.
Widarma mulai mengembangkan produksi kopi bubuknya saat pariwisata mati suri saat pandemi Covid-19. Dia pun akhirnya melebarkan sayap memproduksi bubuk kopi dengan berbagai varian. Mulai dari Kopi Kejapa sebagai cikal bakal sejak tahun 1980 an, kopi arabika full wash, arabica natural, robusta golden honey dan robusta blend.
Untuk varian Arabica Natural dibanderol dengan harga Rp 235 ribu per kilogram. Arabica Full Wash dengan harga Rp 210 ribu per kilogram, Robusta Blend Rp 170 ribu per kilogram, Robusta Golden Honey Rp 130 ribu per kilogram dan Kopi Kejapa Rp 90 ribu per kilogram.
Dari lima varian kopinya yang paling laris adalah Kopi Kejapa yang diminati oleh warga lokal Bali. Omzet penjualan per bulannya pun menyentuh angka Rp 30 juta dengan serapan biji kopi 1 ton per bulan.
Namun produk spesialnya adalah Robusta Golden Honey. Varian ini disebut Widarma melalui tahapan fermentasi selama tiga hari sebelum dikeringkan dan di-roasting, sehingga ada rasa dan aroma madu saat bubuk kopi diseduh. “Robusta Golden Honey ini memang perlakuannya khusus dan prosesnya lebih panjang. Selain memang memakai biji kopi premium petikan merah dan disortir selektif sebelum difermentasi dan dikeringkan,” kata dia.
Sejauh ini pemasaran produk Kopi Kejapa hanya dari mulut ke mulut. Khusus untuk kopi premium biasanya dibeli oleh ekspatriat yang tinggal di daerah Lovina. Widarma pun menyebut kopi bubuknya baru akan diproses saat ada pesanan untuk menjaga kualitas dan kesegaran produk. 7k23
1
Komentar