Pembangunan Akomodasi Wisata di Bali Membabi-Buta, Desa Adat Tenganan Pegringsingan Menjawab Melalui Dresta
Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata
Penulis: I Ketut Aditya Prayoga
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Perwakilan tim PKM-RSH UGM
Sebuah adagium yang memiliki arti desa mempunyai adat istiadat sendiri, begitu pula negara yang mempunyai hukumnya tersendiri. Berdasarkan penelitian dari pageh dan Pardi (2021) menyatakan seiring berkembangnya zaman kedudukan desa berada di bawah hegemoni asing maupun nasional yang membuat negara mawa tata mendominasi desa mawa cara. Adanya dominasi tersebut mengaburkan eksistensi adat istiadat desa yang mengancam kedaulatannya.
Hal ini pula yang terjadi pada sektor pariwisata di Bali dimana berdasarkan data BPS Provinsi Bali, terjadi peningkatan jumlah hotel sebesar 23,6% dari tahun 2021 ke 2022. Selain itu, pembangunan akomodasi wisata sering membawa sebuah hegemoni dari pemerintah dan investor asing yang tak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat.
Ketidaksesuain pengembangan akomodasi wisata dengan kearifan lokal di desa adat akan mengancam kedaulatan masyarakat adat dalam menegakkan hak-hak mereka. Selain itu, kondisi ini mengancam lingkungan desa adat karena adanya alih fungsi lahan. Kasus tolak reklamasi Teluk Benoa serta penolakan pembangunan resort mewah di Desa Bugbug karena mengeksploitasi kawasan suci desa menjadi contoh ancaman pembangunan akomodasi wisata yang masih bagi lingkungan. Pada praktiknya, penyerapan tenaga kerja lokal hanya sebatas pekerja kelas menengah ke bawah. Kondisi ini menjadikan adanya peluang kebocoran ekonomi yang begitu tinggi.
Foto: Tim Peneliti PKM-RSH UGM. -IST
Namun, menariknya di Desa Adat Tenganan Pegringsingan terdapat sebuah dresta atau aturan adat tak tertulis yang melarang adanya pembangunan akomodasi wisata di kawasan desa. Keunikan budaya tersebut kemudian yang melatarbelakangi mahasiswa Universitas Gadjah Mada yakni I Ketut Aditya Prayoga (Pariwisata, 2021), Luh Putu Sintadewi Jayaswari (Psikologi, 2021), Ida Ayu Purnama Novanka Larasati (Antropologi, 2022), dan Ni Luh Feby Riveranika (Sosiologi, 2021) yang tergabung dalam tim PKM-RSH untuk meneliti lebih jauh dresta larangan akomodasi wisata di Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tersebut, ditemukan bahwasannya nilai-nilai yang terkandung dalam dresta larangan akomodasi wisata dilandasi filosofi Tri Hita Karana yang meliputi nilai Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Selain itu, dresta larangan akomodasi wisata di Desa Adat Tenganan Pegringsingan menjadi poros bersama awig-awig (aturan adat tertulis) dalam membentuk perilaku dan upaya kerja sama masyarakat adat setempat. Namun, dalam pembentukan perilaku masyarakat adat tersebut, dresta dibantu dengan adanya sistem sosial, regenerasi, otoritas desa adat, dan punishment and reward. Oleh karena itu, model dresta larangan akomodasi wisata di Desa Adat Tenganan Pegringsingan mampu menjadi referensi pelaksanaan budaya yang menjaga kelangsungan serta kedaulatan masyarakat adat.
Desa adalah cerminan sebuah negara, maka dari itu mari kita bersama-sama perkuat kedaulatan desa guna membangun negara yang digdaya.
1
Komentar