Merantau dan Membentuk Perkampungan Baru Sejak Tahun 1930an
Menengok Ngaben Massal Gotong Royong Ikatan Warga Bugbug di Singaraja
SINGARAJA, NusaBali - Ratusan kepala keluarga (KK) warga rantau asal Desa Bugbug, Kecamatan/Kabupaten Karangasem di Buleleng sedang sibuk-sibuknya menyiapkan upacara ngaben leluhur dan keluarganya yang telah meninggal.
Mereka menamai ngaben massal dengan sebutan ‘ngaben kinembulan; yang berarti gotong royong. Tujuannya untuk meringankan beban keluarga yang ingin mengikutsertakan almarhum leluhur atau anggota keluarganya untuk diaben.
Panitia Ngaben yang diselenggarakan Ikatan Warga Bugbug (IWB) Singaraja berjumlah ratusan. Sebanyak 145 sawa (orang yang telah meninggal), 103 peserta ngerapuh (upacara penyucian jabang bayi yang keguguran) dan 5 orang ngelungah (upacara penyucian bayi dan balita yang meninggal dunia), dan 220 terdaftar mengikuti upacara nyekah.
Ketua IWB Singaraja I Gde Wisnaya Wisna ditemui di Gedung Serbaguna Kelurahan Kampung Anyar, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Minggu (15/10), mengatakan puncak ngaben kinembulan ini akan dilangsungkan pada Anggara Umanis Uye, Selasa (17/10) mendatang. Seluruh prosesi ngaben massal ini akan dilangsungkan di Setra Kayubuntil, Banjar Adat Kampung Anyar, Kelurahan Kampung Anyar, Buleleng.
Panitia Ngaben yang diselenggarakan Ikatan Warga Bugbug (IWB) Singaraja berjumlah ratusan. Sebanyak 145 sawa (orang yang telah meninggal), 103 peserta ngerapuh (upacara penyucian jabang bayi yang keguguran) dan 5 orang ngelungah (upacara penyucian bayi dan balita yang meninggal dunia), dan 220 terdaftar mengikuti upacara nyekah.
Ketua IWB Singaraja I Gde Wisnaya Wisna ditemui di Gedung Serbaguna Kelurahan Kampung Anyar, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Minggu (15/10), mengatakan puncak ngaben kinembulan ini akan dilangsungkan pada Anggara Umanis Uye, Selasa (17/10) mendatang. Seluruh prosesi ngaben massal ini akan dilangsungkan di Setra Kayubuntil, Banjar Adat Kampung Anyar, Kelurahan Kampung Anyar, Buleleng.
Foto: Ketua IWB Singaraja I Gde Wisnaya Wisna. -LILIK
Ngaben massal ini adalah yang ketiga kali. Pertama tahun 2013, lalu 2017 dan 2023 setelah pandemi Covid-19 berakhir. “Ngaben massal ini kami gelar karena warga Bugbug yang merantau di Buleleng sudah puluhan tahun tidak pernah ngaben, karena terbentur biaya. Bahkan ada yang satu keluarga punya 7-8 leluhur atau keluarga yang belum diaben,” ucap Wisnaya Wisna. Kondisi itu pun akhirnya menginisiasi ngaben gotong royong ini.
Sesuai dengan visi meringankan beban warga, satu sawa hanya dikenakan biaya Rp 3,5 juta sampai upacara nyekah (tahapan terakhir ngaben). Sedangkan untuk upacara ngelungah dan ngerapuh hanya dikenakan biaya Rp 250 ribu per peserta.
“Kami bergotong royong dari segi material, tenaga, pemikiran, ada juga sumbangan dan dukungan pihak-pihak ketiga dan juga Desa Adat Bugbug yang masih menganggap kami krama desanya sangat banyak membantu,” imbuh Wisnaya yang juga anggota DPRD Buleleng dari Fraksi Hanura ini.
Dalam pelaksanaan ngaben massal ini, panitia pun sudah memadukan antara tradisi dengan sastra. Sehingga upacara ngaben dilaksanakan secara sederhana tanpa mengurangi makna, namun lebih ekonomis.
Keberadaan warga Bugbug di Buleleng sendiri sudah ada sejak tahun 1930an. Kini ada 1.600 KK warga Bugbug yang tergabung dalam IWB, yang tinggal di beberapa wilayah di Buleleng. Namun terbanyak bermukim di Kelurahan Kampung Anyar dan Kampung Baru, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Menurut Wisnaya, leluhur mereka datang ke Buleleng untuk mengadu nasib dari tanah di Karangasem yang tandus. Tanpa keterampilan dan pengetahuan warga Bugbug mengadu nasib di Buleleng yang lebih dulu berkembang, karena memiliki pelabuhan tua. Warga Bugbug ini pun memilih pesisir Buleleng yang dekat dengan pusat kota dan pusat perdagangan di Buleleng.
Lambat laun semakin banyak warga Bugbug yang mengadu nasib di Buleleng hingga mereka menjadi cikal bakal terbentuknya Kelurahan Kampung Anyar. “Kami di sini sudah generasi keempat. Dari leluhur kami yang dulu datang untuk mencari pekerjaan sebagai kuli apa saja ada yang jadi kuli di pelabuhan, di toko di pasar, karena mereka ke sini tanpa skill dan pengetahuan,” tutur Wisnaya Wisna.
Bahkan menurut penuturan tetua mereka, perjalanan dari Karangasem ke Buleleng ditempuh dengan berjalan kaki dua hari dua malam. Rutinitas ini pun selalu dilalui saat datang upacara besar di Desa Adat Bugbug seperti upacara ngusaba gumang, mereka akan pulang kampung dengan berjalan kaki.
Meski sudah menetap dan masuk sebagai krama desa adat Buleleng, warga Bugbug juga masih beradat di Desa Adat Bugbug. Mereka masih memiliki ikatan emosional dan tetap pulang kampung saat upacara besar keagamaan. 7k23
Sesuai dengan visi meringankan beban warga, satu sawa hanya dikenakan biaya Rp 3,5 juta sampai upacara nyekah (tahapan terakhir ngaben). Sedangkan untuk upacara ngelungah dan ngerapuh hanya dikenakan biaya Rp 250 ribu per peserta.
“Kami bergotong royong dari segi material, tenaga, pemikiran, ada juga sumbangan dan dukungan pihak-pihak ketiga dan juga Desa Adat Bugbug yang masih menganggap kami krama desanya sangat banyak membantu,” imbuh Wisnaya yang juga anggota DPRD Buleleng dari Fraksi Hanura ini.
Dalam pelaksanaan ngaben massal ini, panitia pun sudah memadukan antara tradisi dengan sastra. Sehingga upacara ngaben dilaksanakan secara sederhana tanpa mengurangi makna, namun lebih ekonomis.
Keberadaan warga Bugbug di Buleleng sendiri sudah ada sejak tahun 1930an. Kini ada 1.600 KK warga Bugbug yang tergabung dalam IWB, yang tinggal di beberapa wilayah di Buleleng. Namun terbanyak bermukim di Kelurahan Kampung Anyar dan Kampung Baru, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Menurut Wisnaya, leluhur mereka datang ke Buleleng untuk mengadu nasib dari tanah di Karangasem yang tandus. Tanpa keterampilan dan pengetahuan warga Bugbug mengadu nasib di Buleleng yang lebih dulu berkembang, karena memiliki pelabuhan tua. Warga Bugbug ini pun memilih pesisir Buleleng yang dekat dengan pusat kota dan pusat perdagangan di Buleleng.
Lambat laun semakin banyak warga Bugbug yang mengadu nasib di Buleleng hingga mereka menjadi cikal bakal terbentuknya Kelurahan Kampung Anyar. “Kami di sini sudah generasi keempat. Dari leluhur kami yang dulu datang untuk mencari pekerjaan sebagai kuli apa saja ada yang jadi kuli di pelabuhan, di toko di pasar, karena mereka ke sini tanpa skill dan pengetahuan,” tutur Wisnaya Wisna.
Bahkan menurut penuturan tetua mereka, perjalanan dari Karangasem ke Buleleng ditempuh dengan berjalan kaki dua hari dua malam. Rutinitas ini pun selalu dilalui saat datang upacara besar di Desa Adat Bugbug seperti upacara ngusaba gumang, mereka akan pulang kampung dengan berjalan kaki.
Meski sudah menetap dan masuk sebagai krama desa adat Buleleng, warga Bugbug juga masih beradat di Desa Adat Bugbug. Mereka masih memiliki ikatan emosional dan tetap pulang kampung saat upacara besar keagamaan. 7k23
1
Komentar