MUTIARA WEDA: Tiga Fungsi Kekayaan
Dānam bhogo nāsastistro gatayo bhavanti vittasya, Yo na dadāti na bhunkte tasya trityā gatirbhavati. (Niti Sataka, 34).
ADA tiga fungsi kekayaan, yakni disumbangkan, dimanfaatkan, dan musnah. Seseorang yang tidak menyumbangkan kekayaan atau tidak dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan keluarga, kekayaan itu akan musnah.
Secara prinsip, orang mencari kekayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Mereka bekerja siang dan malam hanya untuk itu. Tetapi, sebagian dari mereka mampu memperoleh lebih dari yang dibutuhkan. Sehingga, kekayaan tersebut mereka simpan. Masalahnya, ada orang suka menyumbangkan kekayaannya itu kepada orang lain, apakah untuk tujuan prestise atau untuk kemanusiaan. Namun, tidak sedikit orang berpikir bahwa kekayaan yang dicari dengan simbah keringat mesti di-keep dengan baik. Orang berpikir, “enak saja dibagi kepada orang lain, kalau ingin kaya mesti kerja, jangan minta-minta.” Orang yang memiliki pemikiran seperti ini tidak akan pernah memiliki pemikiran untuk berbagi. Lalu, jika tiba-tiba gempa bumi, atau angin puting beliung atau kebakaran hebat melanda, kekayaan itu seketika musnah. Alam mengambilnya kembali dengan cara seperti itu.
Secara prinsip, orang mencari kekayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Mereka bekerja siang dan malam hanya untuk itu. Tetapi, sebagian dari mereka mampu memperoleh lebih dari yang dibutuhkan. Sehingga, kekayaan tersebut mereka simpan. Masalahnya, ada orang suka menyumbangkan kekayaannya itu kepada orang lain, apakah untuk tujuan prestise atau untuk kemanusiaan. Namun, tidak sedikit orang berpikir bahwa kekayaan yang dicari dengan simbah keringat mesti di-keep dengan baik. Orang berpikir, “enak saja dibagi kepada orang lain, kalau ingin kaya mesti kerja, jangan minta-minta.” Orang yang memiliki pemikiran seperti ini tidak akan pernah memiliki pemikiran untuk berbagi. Lalu, jika tiba-tiba gempa bumi, atau angin puting beliung atau kebakaran hebat melanda, kekayaan itu seketika musnah. Alam mengambilnya kembali dengan cara seperti itu.
Bentuk kemusnahan itu ada bermacam-macam. Di Palestina, Israel, dan Ukraina, kemusnahan terjadi lewat perang, di Aceh dua puluhan tahun yang lalu melalui Tsunami, sementara di berbagai belahan dunia lainnya karena gempa bumi, kebakaran, banjir bandang, dan angin puting beliung. Atau kemusnahan itu bisa dalam bentuk sistem perekonomian. Tiba-tiba harga saham anjlok yang menyebabkan barang-barang berharga yang dimiliki mendadak tanpa harga. Demikianlah kekayaan itu, selama hidup dicari, tetapi setelah terkumpul mesti dihabiskan, apakah untuk kebutuhan sendiri atau untuk disumbangkan kepada orang lain atau diambil kembali oleh alam secara paksa.
Demikianlah sifat kekayaan, selamanya demikian. Sehingga, untuk mengurangi rasa derita yang ditimbulkan dari kehilangannya, berbagai teknik pun diajarkan, seperti vairagya, dana punia, yadnya, dan yang lainnya. Semua itu penting dipelajari agar rasa keterikatan dan rasa derita darinya bisa diminimalisir. Seperti misalnya kitab suci mengajarkan tentang pentingnya vairagya, yakni tidak terikat terhadap benda apapun. Ajaran ini menekankan bahwa kemelekatan dan merasa satu identitas dengan kekayaan akan menimbulkan penderitaan tiada akhir. Jumlah kekayaan tidak menentukan orang bisa bahagia. Malah, orang kaya bisa lebih menderita dibandingkan orang biasa-biasa. Oleh karena itu, mengasah kecerdasan agar tidak terpengaruh dengan benda-benda duniawi menjadi sangat signifikan. Jika kaya, kita terima, demikian pula saat tidak punya, kita terima dengan rasa yang sama. Upaya untuk mencarinya harus tetap dilaksanakan, tetapi keterikatan akan hasilnya harus diminimalkan, bila perlu sampai pada titik nol.
Pelajaran tentang pentingnya dana punia juga menjadi penting, sebab rasa ikhlas bisa muncul di dalam hati saat orang melepaskan kekayaannya untuk kepentingan orang lain. Bahkan untuk menumbuhkan sikap berdana punia, tidak sedikit teks memberikan iming-iming lebih seperti mencapai surga atau diberi imbalan berlipat-lipat. “Jika engkau satu langkah melangkahkan kakimu menuju Tuhan, maka Tuhan sepuluh langkah mendekatimu”, seperti ini modelnya. Oleh karena secara naluri kita serakah, namun praktik dana punia sangat penting, maka mengakomodasi keserakahan kita itu sangat penting. Yang penting orang mau medana punia, apakah benar nanti mendapatkan surga atau Tuhan membalas berlipat-lipat itu masalah belakangan. Mengapa? Karena dampak dari adanya dana punia sangat besar. Pertama, untuk diri sendiri akan memunculkan rasa ikhlas sehingga kesadaran diri mengalami perkembangan. Kedua, uang yang terkumpul dari dana punia bisa dimanfaatkan baik untuk mengentaskan kemiskinan, membantu orang yang memerlukan atau untuk membangun bangunan umum.
Jika tidak dimanfaatkan untuk itu, kekayaan itu akan dikembalikan ke alam oleh alam sendiri. Melihat hal ini, kita dibuat sadar bahwa kekayaan hanyalah alat kehidupan, bukan penentu kebahagiaan. Dengan kekayaan kita bisa hidup sejahtera, berkecukupan. Semua hal yang dibutuhkan bisa dipenuhi. Hanya sekadar itu, tidak lebih. Kalaupun lebih, fungsi dari kekayaan hanyalah untuk pacuan urat saraf, apakah dalam politik atau aktualisasi diri, penumpukan ego. Pemahaman yang baik akan hal ini akan membuat kita lebih damai, lebih bahagia. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
Komentar