Karya Disertai Upacara Nawur Denda
Keunikan di Pura Agung Pemulungan, Desa Adat Gobleg
SINGARAJA, NusaBali - Krama Desa Adat Gobleg, Desa Gobleg bersama 3 desa/adat lainnya atau Desa Adat Catur Desa Dalem Tamblingan (Gobleg, Munduk, Gesing dan Uma Jro) melaksanakan Karya Agung Ngayu-ayu.
Puncaknya, jelang Purnama Kalima, Saniscara Keliwon, Wuku Menail, Sabtu (28/10), Tempatnya, di Pura Agung Pemulungan, Desa Adat Gobleg.
Karya digelar untuk memohon kerahayuan dan kesejahteraan, alam lingkungan stabil dan harmonis. Lebih khusus lagi, pertanian sebagai sumber utama penghidupan warga sekitar tanpa gangguan dan panen dengan hasil bagus. Karya Agung Ngayu-Ayu merupakan puncak dari rangkaian dari pelaksanaan karya yang sudah mulai sebelumnya. “Diawali dengan Karya Dalu, dengan tahapan-tahapannya mulai Sasih Kasa (Pertama),” kata Jro Balian Tiga Sakti Gede Yasmara, salah satu balian (pemangku) pamuput Karya Agung Ngayu-Ayu, Sabtu(28/10).
Karya digelar untuk memohon kerahayuan dan kesejahteraan, alam lingkungan stabil dan harmonis. Lebih khusus lagi, pertanian sebagai sumber utama penghidupan warga sekitar tanpa gangguan dan panen dengan hasil bagus. Karya Agung Ngayu-Ayu merupakan puncak dari rangkaian dari pelaksanaan karya yang sudah mulai sebelumnya. “Diawali dengan Karya Dalu, dengan tahapan-tahapannya mulai Sasih Kasa (Pertama),” kata Jro Balian Tiga Sakti Gede Yasmara, salah satu balian (pemangku) pamuput Karya Agung Ngayu-Ayu, Sabtu(28/10).
Foto: Jro Balian Tiga Sakti Gede Yasmara (Kanan), Prajuru Kertha Sabha Munduk, I Ketut Edi Astana. -IST
Kemudian pada Sasih Karo (Agustus) dilanjutkan rentetan upacara yang secara keseluruhan disebut Bongkol Karya. Pelaksanaannya pada kembang sasih puncak) Purnama Karo. Bisa mundur atau maju, agar tidak bertepatan dengan Hari Pasah atau hari pertama dari Tri Wara(Pasah, Beteng, Kajeng). Salah satu banten atau upakara dari Bongkol Karya berupa aturan Sesayut Pitu. Maknanya, permohonan untuk menguatkan Perthiwi, dilambangkan dengan Sesayut Pitu, atau tujuh lapisan Perthiwi yang disebut Sapta Patala.
Selanjutnya pada Sasih Ketiga, upacara pembersihan di masing-masing merajan keluarga. Upacara pembersihan parahyangan Duur Capah(sekitar Danau Tamblingan) dilaksanakan pada Sasih Kapat. Masih di Sasih Kapat, yakni Hari Tilem (bulan mati) disebut Pengerem Kapat, merupakan madyaning karya. Salah satu ciri pokok upakaranya adalah banten Sasayut Sanga(9), persembahan kepada Dewata Nawa Sanga, memohon keseimbangan dan kerharmonisan alam. Pada Sasih Kapat ini juga dilaksanakan Melasti ke Segara Labuan Aji, Buleleng.
Puncak Karya yakni Karya Agung Ngayu-Ayu, dilaksanakan pada kembanging sasih Purnama Kalima, yakni pada Sukra Umanis Menail (27/10). Puncak Karya ditentukan agar ketemu dengan pada hari Beteng (hari kedua dari 3 hari pasaran; Pasah, Beteng dan Kajeng. “Beteng atau Kandengan ini bertalian dengan air,” terang Jro Balian Gede Yasmara. Bagi , masyarakat dCatur Desa Adat Dalem Tamblingan, air merupakan kebutuhan utama kehidupan bertani. Karena itulah, puncak karya diputuskan agar ketemu pada hari Beteng yang juga bermakna air.
Di penghujung puncak Karya Agung Ngayu-Ayu, dilaksanakan upacara Mapenawuran. Mapenawuran berarti membayar atau mengembalikan. Dalam konteks ini berarti melaksanakan upacara atau ritual untuk memenuhi kewajiban niskala. Upacara Mapenawuran di Pura Agung Mapulungn terdiri dari 3 jenis. Pertama, Nawur Denda atau Naur Pepamitan. Kedua, Nawur Sampelan dan ketiga Nawur Karangan.
Mapenawuran atau Nawur Denda maupun Nawur Pepamitan dilaksanakan oleh krama yang mulanya adalah warga Catur Desa, namun sudah menikah atau kawin keluar. Apakah itu ikut keluarga suami atau nyentana, yang laki menjadi keluarga istrinya. Karena menikah keluar, mereka berkewajiban mepanawuran denda atau mepamit. Banten Nawur Denda atau Pepamitan banten Penawuran jangkep dengan babi guling.
Selanjutnya Upacara Nawur Sampelan. Bermakna pengembalian ‘sampelan’ (bagian-bagian khusus tertentu dari babi guling, antara lain sampelan(kikil depan). Nawur Sampelan ini dilakukan ahli waris atau keluarga dari dane jro balian(pemangku) yang sudah berpulang atau meninggal dunia.
Terus yang ketiga Nawur Karangan, juga dilaksanakan pihak keluarga dari mantan prajuru, antara mantan kelian adat dan perbekel(kepala desa). Karangan dimaksud semacam banten yang terdiri dari olahan lawar lengkap, yang dulu diperoleh prajuru karena jabatannya.
Upacara Nawur Sampelan dan Karangan memang dilaksanakan pihak keluarga. Hal itu karena mereka sebagai ahli waris atau keturunan mantan balian(pemangku) dan prajuru atau dulu ngayah (mengabdi) namun sudah berpulang atau almarhum.
Pada Karya Agung Ngayu-Ayu tahun 2023 ini, Upacara Mapenawuran diawali Upacara Atur Piuning di Jeroan Pura Agung Pemulungan, pada Kamis(26/10). Krama yang melaksanakan penawuran sudah hadir mulai petang hari . “Suami istri hadir nangkil,” lanjut Jro Balian Gede Yasmara. Ada 86 krama yang tercatat Mapenawuran Denda/Pepamitan, 3 Mapenawuran Sampelan dan Mapenawuran Karangan 2.
Puncak pelaksanaan pada Jumat(27/10)malam hingga memasuki dini hari Kamis(28/10). Pokok ritual adalah ngaturan dan natab banten penawuran pada laapan(semacam altar) palinggih. Pasutri dan keluarga mapenawuran secara bergiliran melaksanakan aci penawuran dan dipuncaki persembahyangan memohon pengampunan atur piuning sudah sidha mapenawuran. Upacara dipuput para jro balian.
Sebagai upasaksi antara lain Dane Pengrajeg Karya(Pimpinan/Ketua Umum), Pangenter (Pemimpin upakara), Pengengengeng(juru bicara), Mangku Agung, Narita(Bidang Kesenian), Perbekel Catur Desa, Kelian Adat Catur Desa, Pada Kelian Subak, baik Subak Basah maupun Subak Kering.“Untuk memastikan secara sekala, yang bersangkutan sudah melaksanakan penawuran,” terang Jro Balian Gede Yasmara.
Rangkaian Upacara Mapenawuran Denda/Pepamitan, Sampelan dan Karangan diakhiri dengan Upacara Megat Saet(memutus ikatan), Sabtu(28/10). Maknanya yang bersangkutan sudah menunaikan kewajibannya secara niskala, sehingga tidak lagi kaelingan(tercatat).
I Ketut Edi Astana, salah seorang prajuru Kerta Desa dari Desa Adat Munduk, salah satu dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, menyampaikan hal senada. “Itulah salah satu keunikan kami di Catur Desa Dalem Tamblingan. Setelah pujawali atau karya agung setiap dua tahun sekali diakhir pujawali purnama kalima, orang-orang mapenawuran. Ada yang naur denda, ada juga nawur sampelan, karena dulu mendapat jabatan atau tugas di Adat Dalem Tamblingan,” ucapnya.
Kata Edi Astana, pantang bagi krama tidak melaksanakan Mepenawuran tersebut. Krama percaya, jika abai akan berpengaruh pada kehidupan keseharian. Tanda atau gejalanya bisa bermacam-macam. Seperti kondisi keluarga yang bisa saja mengalami gangguan.7k17
Kemudian pada Sasih Karo (Agustus) dilanjutkan rentetan upacara yang secara keseluruhan disebut Bongkol Karya. Pelaksanaannya pada kembang sasih puncak) Purnama Karo. Bisa mundur atau maju, agar tidak bertepatan dengan Hari Pasah atau hari pertama dari Tri Wara(Pasah, Beteng, Kajeng). Salah satu banten atau upakara dari Bongkol Karya berupa aturan Sesayut Pitu. Maknanya, permohonan untuk menguatkan Perthiwi, dilambangkan dengan Sesayut Pitu, atau tujuh lapisan Perthiwi yang disebut Sapta Patala.
Selanjutnya pada Sasih Ketiga, upacara pembersihan di masing-masing merajan keluarga. Upacara pembersihan parahyangan Duur Capah(sekitar Danau Tamblingan) dilaksanakan pada Sasih Kapat. Masih di Sasih Kapat, yakni Hari Tilem (bulan mati) disebut Pengerem Kapat, merupakan madyaning karya. Salah satu ciri pokok upakaranya adalah banten Sasayut Sanga(9), persembahan kepada Dewata Nawa Sanga, memohon keseimbangan dan kerharmonisan alam. Pada Sasih Kapat ini juga dilaksanakan Melasti ke Segara Labuan Aji, Buleleng.
Puncak Karya yakni Karya Agung Ngayu-Ayu, dilaksanakan pada kembanging sasih Purnama Kalima, yakni pada Sukra Umanis Menail (27/10). Puncak Karya ditentukan agar ketemu dengan pada hari Beteng (hari kedua dari 3 hari pasaran; Pasah, Beteng dan Kajeng. “Beteng atau Kandengan ini bertalian dengan air,” terang Jro Balian Gede Yasmara. Bagi , masyarakat dCatur Desa Adat Dalem Tamblingan, air merupakan kebutuhan utama kehidupan bertani. Karena itulah, puncak karya diputuskan agar ketemu pada hari Beteng yang juga bermakna air.
Di penghujung puncak Karya Agung Ngayu-Ayu, dilaksanakan upacara Mapenawuran. Mapenawuran berarti membayar atau mengembalikan. Dalam konteks ini berarti melaksanakan upacara atau ritual untuk memenuhi kewajiban niskala. Upacara Mapenawuran di Pura Agung Mapulungn terdiri dari 3 jenis. Pertama, Nawur Denda atau Naur Pepamitan. Kedua, Nawur Sampelan dan ketiga Nawur Karangan.
Mapenawuran atau Nawur Denda maupun Nawur Pepamitan dilaksanakan oleh krama yang mulanya adalah warga Catur Desa, namun sudah menikah atau kawin keluar. Apakah itu ikut keluarga suami atau nyentana, yang laki menjadi keluarga istrinya. Karena menikah keluar, mereka berkewajiban mepanawuran denda atau mepamit. Banten Nawur Denda atau Pepamitan banten Penawuran jangkep dengan babi guling.
Selanjutnya Upacara Nawur Sampelan. Bermakna pengembalian ‘sampelan’ (bagian-bagian khusus tertentu dari babi guling, antara lain sampelan(kikil depan). Nawur Sampelan ini dilakukan ahli waris atau keluarga dari dane jro balian(pemangku) yang sudah berpulang atau meninggal dunia.
Terus yang ketiga Nawur Karangan, juga dilaksanakan pihak keluarga dari mantan prajuru, antara mantan kelian adat dan perbekel(kepala desa). Karangan dimaksud semacam banten yang terdiri dari olahan lawar lengkap, yang dulu diperoleh prajuru karena jabatannya.
Upacara Nawur Sampelan dan Karangan memang dilaksanakan pihak keluarga. Hal itu karena mereka sebagai ahli waris atau keturunan mantan balian(pemangku) dan prajuru atau dulu ngayah (mengabdi) namun sudah berpulang atau almarhum.
Pada Karya Agung Ngayu-Ayu tahun 2023 ini, Upacara Mapenawuran diawali Upacara Atur Piuning di Jeroan Pura Agung Pemulungan, pada Kamis(26/10). Krama yang melaksanakan penawuran sudah hadir mulai petang hari . “Suami istri hadir nangkil,” lanjut Jro Balian Gede Yasmara. Ada 86 krama yang tercatat Mapenawuran Denda/Pepamitan, 3 Mapenawuran Sampelan dan Mapenawuran Karangan 2.
Puncak pelaksanaan pada Jumat(27/10)malam hingga memasuki dini hari Kamis(28/10). Pokok ritual adalah ngaturan dan natab banten penawuran pada laapan(semacam altar) palinggih. Pasutri dan keluarga mapenawuran secara bergiliran melaksanakan aci penawuran dan dipuncaki persembahyangan memohon pengampunan atur piuning sudah sidha mapenawuran. Upacara dipuput para jro balian.
Sebagai upasaksi antara lain Dane Pengrajeg Karya(Pimpinan/Ketua Umum), Pangenter (Pemimpin upakara), Pengengengeng(juru bicara), Mangku Agung, Narita(Bidang Kesenian), Perbekel Catur Desa, Kelian Adat Catur Desa, Pada Kelian Subak, baik Subak Basah maupun Subak Kering.“Untuk memastikan secara sekala, yang bersangkutan sudah melaksanakan penawuran,” terang Jro Balian Gede Yasmara.
Rangkaian Upacara Mapenawuran Denda/Pepamitan, Sampelan dan Karangan diakhiri dengan Upacara Megat Saet(memutus ikatan), Sabtu(28/10). Maknanya yang bersangkutan sudah menunaikan kewajibannya secara niskala, sehingga tidak lagi kaelingan(tercatat).
I Ketut Edi Astana, salah seorang prajuru Kerta Desa dari Desa Adat Munduk, salah satu dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, menyampaikan hal senada. “Itulah salah satu keunikan kami di Catur Desa Dalem Tamblingan. Setelah pujawali atau karya agung setiap dua tahun sekali diakhir pujawali purnama kalima, orang-orang mapenawuran. Ada yang naur denda, ada juga nawur sampelan, karena dulu mendapat jabatan atau tugas di Adat Dalem Tamblingan,” ucapnya.
Kata Edi Astana, pantang bagi krama tidak melaksanakan Mepenawuran tersebut. Krama percaya, jika abai akan berpengaruh pada kehidupan keseharian. Tanda atau gejalanya bisa bermacam-macam. Seperti kondisi keluarga yang bisa saja mengalami gangguan.7k17
1
Komentar