Konjen Australia Pamerkan Instalasi Digital Berkisah Leluhur Suku Aborigin di Bali
MANGUPURA, NusaBali.com - Kosulat Jenderal Australia untuk Bali, NTB, dan NTT di Denpasar menggelar pameran imersif tentang kisah leluhur atau nenek moyang penduduk asli Negeri Kanguru di Discovery Mall Bali hingga Senin (30/10/2023).
Penduduk asli Australia atau suku-suku Aborigin memiliki warisan kisah dari nenek moyang mereka. Kisah ini dalam Bahasa Inggris disebut Songlines.
Secara sederhana, Songlines bisa dilihat sebagai peta lisan yang mengisahkan daratan Benua Australia. Disebut peta lisan lantaran kekayaan, fitur, dan penampakan alam negara benua ini tersurat dalam bait nyanyian.
Di masa lampau, penduduk asli Australia bisa menavigasi perjalanan mereka dengan mengikuti apa yang disuratkan dalam nyanyian Songlines. Kini, Songlines menjadi koridor pengetahuan budaya Suku Aborigin yang diwariskan turun temurun.
Songlines terdiri dari beberapa bagian. Bagian dari Songlines yang dipamerkan Konjen Australia di Bali ini adalah 'The Seven Sisters'. Songline ini mencakup daratan Australia dari Central Desert menuju pesisir barat.
"Seven Sisters berkisah tujuh saudara perempuan dan pengejaran melintasi negeri. Orang yang mengejar berubah wujud menjadi hal-hal yang sangat diperlukan untuk bertahan hidup di gurun," tutur Jo Stevens, Konsul Jenderal Australia di Bali.
Lanjut Jo, kisah ini mewariskan praktik dan nilai budaya penduduk asli Australia dari generasi ke generasi. Bagian dari kisah ini dikemas melalui instalasi digital multisensor 'Walking through a Songline'.
Instalasi digital ini dikurasi oleh Museum Nasional Australia bersama Mosster Studio. Dan, merupakan bagian dari karya utama yang telah diakui dunia, 'Songlines: Tracking the Seven Sisters'.
Pameran imersif ini menggunakan sensasi multisensor, seakan-akan pengunjung ada di dalam kisah itu sendiri. Dalam ruangan tertutup, terdapat projector yang memetakan gambar dan pengalaman audio yang nyata.
Pengalaman tujuh menit itu dimulai dengan video narasi pembuka oleh sesepuh penduduk asli Australia melalui layar di luar ruangan. Kemudian, di dalam ruangan, pengunjung diajak merasakan apa yang dialami The Seven Sisters selama pengejaran.
Sebelum sampai di Bali pada Jumat (27/10/2023) dan diluncurkan pada Senin (30/10/2023) sore, pameran imersif ini telah menyambangi Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Gelaran perdananya dihelat langsung oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Virdia Arissma, 12, salah satu pengunjung pameran mengaku instalasi digital yang menggunakan multisensor ini berhasil membawanya ke alam nenek moyang penduduk asli Australia. Kata siswi SD Nomor 1 Jimbaran ini, pengalaman tujuh menit itu terasa seperti di dunia nyata.
"Seru dan menyenangkan, rasanya seperti di dunia nyata," ujar Virdia. Namun, dara asal Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung ini berpendapat bahwa instalasi digital ini masih memerlukan objek yang bisa disentuh untuk menyempurnakan pengalaman pengunjung.
Sementara itu, Prof Dr I Gede Arya Sugiartha, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali turut hadir menjajal instalasi digital yang ia sebut sebagai museum 3D. Katanya, opsi museum semacam ini memang mampu menarik perhatian segmen anak muda.
"Bali rencananya mau buat seperti ini juga tetapi biayanya perlu diperhatikan," beber Sugiartha di sela mewakilkan Pj Gubernur Bali menghadiri pameran di mal Jalan Kartika Plaza Kuta, Badung itu bersama Kepala Dinas Pariwisata, Tjokorda Bagus Pemayun.
Sejalan dengan hal ini, Konjen Australia juga menargetkan lebih banyak kalangan muda untuk berkunjung. Sebab, generasi muda merupakan penghubung budaya kedua negara di masa depan.
"Hubungan antara Indonesia dan Australia sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam ketika Suku Bugis di Makassar menjalin hubungan dagang dengan Suku Yolngu di Northern Territory," imbuh Jo, Konsul Jenderal Australia.
Dengan pameran gratis ini, Jo berharap hubungan sejak ratusan tahun silam itu bisa terus dipelihara dengan pertukaran budaya. Begitu pula khususnya dengan Bali yang menjadi tetangga dekat dan rumah kedua bagi orang Australia. *rat
Secara sederhana, Songlines bisa dilihat sebagai peta lisan yang mengisahkan daratan Benua Australia. Disebut peta lisan lantaran kekayaan, fitur, dan penampakan alam negara benua ini tersurat dalam bait nyanyian.
Di masa lampau, penduduk asli Australia bisa menavigasi perjalanan mereka dengan mengikuti apa yang disuratkan dalam nyanyian Songlines. Kini, Songlines menjadi koridor pengetahuan budaya Suku Aborigin yang diwariskan turun temurun.
Songlines terdiri dari beberapa bagian. Bagian dari Songlines yang dipamerkan Konjen Australia di Bali ini adalah 'The Seven Sisters'. Songline ini mencakup daratan Australia dari Central Desert menuju pesisir barat.
"Seven Sisters berkisah tujuh saudara perempuan dan pengejaran melintasi negeri. Orang yang mengejar berubah wujud menjadi hal-hal yang sangat diperlukan untuk bertahan hidup di gurun," tutur Jo Stevens, Konsul Jenderal Australia di Bali.
Lanjut Jo, kisah ini mewariskan praktik dan nilai budaya penduduk asli Australia dari generasi ke generasi. Bagian dari kisah ini dikemas melalui instalasi digital multisensor 'Walking through a Songline'.
Instalasi digital ini dikurasi oleh Museum Nasional Australia bersama Mosster Studio. Dan, merupakan bagian dari karya utama yang telah diakui dunia, 'Songlines: Tracking the Seven Sisters'.
Pameran imersif ini menggunakan sensasi multisensor, seakan-akan pengunjung ada di dalam kisah itu sendiri. Dalam ruangan tertutup, terdapat projector yang memetakan gambar dan pengalaman audio yang nyata.
Pengalaman tujuh menit itu dimulai dengan video narasi pembuka oleh sesepuh penduduk asli Australia melalui layar di luar ruangan. Kemudian, di dalam ruangan, pengunjung diajak merasakan apa yang dialami The Seven Sisters selama pengejaran.
Sebelum sampai di Bali pada Jumat (27/10/2023) dan diluncurkan pada Senin (30/10/2023) sore, pameran imersif ini telah menyambangi Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Gelaran perdananya dihelat langsung oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Virdia Arissma, 12, salah satu pengunjung pameran mengaku instalasi digital yang menggunakan multisensor ini berhasil membawanya ke alam nenek moyang penduduk asli Australia. Kata siswi SD Nomor 1 Jimbaran ini, pengalaman tujuh menit itu terasa seperti di dunia nyata.
"Seru dan menyenangkan, rasanya seperti di dunia nyata," ujar Virdia. Namun, dara asal Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung ini berpendapat bahwa instalasi digital ini masih memerlukan objek yang bisa disentuh untuk menyempurnakan pengalaman pengunjung.
Sementara itu, Prof Dr I Gede Arya Sugiartha, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali turut hadir menjajal instalasi digital yang ia sebut sebagai museum 3D. Katanya, opsi museum semacam ini memang mampu menarik perhatian segmen anak muda.
"Bali rencananya mau buat seperti ini juga tetapi biayanya perlu diperhatikan," beber Sugiartha di sela mewakilkan Pj Gubernur Bali menghadiri pameran di mal Jalan Kartika Plaza Kuta, Badung itu bersama Kepala Dinas Pariwisata, Tjokorda Bagus Pemayun.
Sejalan dengan hal ini, Konjen Australia juga menargetkan lebih banyak kalangan muda untuk berkunjung. Sebab, generasi muda merupakan penghubung budaya kedua negara di masa depan.
"Hubungan antara Indonesia dan Australia sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam ketika Suku Bugis di Makassar menjalin hubungan dagang dengan Suku Yolngu di Northern Territory," imbuh Jo, Konsul Jenderal Australia.
Dengan pameran gratis ini, Jo berharap hubungan sejak ratusan tahun silam itu bisa terus dipelihara dengan pertukaran budaya. Begitu pula khususnya dengan Bali yang menjadi tetangga dekat dan rumah kedua bagi orang Australia. *rat
Komentar